Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo/Komisioner Komnas Perempuan)
Al Qur’an dan Sunnah Nabi banyak mengkisahkan beberapa bentuk bentuk kekerasan seksual yang terjadi di zaman Jahiliah dan memerintahkan untuk dihapuskan. Bentuk bentuk kekerasan seksual sebagaimana digambarkan Al Qur’an dan As Sunnah terjadi akibat adanya hubungan atau relasi yang timpang antara pelaku dan korban yang menyebabkan korban tidak mampu memberikan persetujuan.
Ayat An Nur 33, menggambarkan bagaimana seorang budak perempuan yang bernama Musaikah “disewakan” dan “dipaksa” untuk melakukan perzinahan dan hasil dari perbuatan itu dinikmati oleh tuanya, Abdulla bin Salul, seorang yang terkenal munafik. Suatu hari Musaikah menolak eksploitasi Seksual yang dilakukan tuannya dan ahirnya Musaikah mengadukannya kepada Rasulullah. Berdasar pengaduannya itu, turunlah ayat An Nur, 33, yang menyatakan “janganlah kalian paksa budak budak mu itu untuk melacurkan diri ketika ia sendiri telah menginginkan menjadi pribadi yang baik. Dan barang siapa memaksa mereka, maka setelah pemaksaan itu, Allah maha welas asih dan pengampun.
Ayat An Nur 33 ini menegaskan dua hal, pertama melarang pemaksaan pelacuran oleh siapapun kepada siapapun, dan kedua Allah memaafkan kepada korban pemaksaan itu. Ayat ini juga menggambarkan bahwa kekerasan seksual itu terjadi akibat adanya relasi kuasa antara tuan dan budaknya sehingga sang budak tidak dapat memiliki kebebasan untuk memilih.
Dalam Kitab Al Muwattha’ karya imam Malik bin Anas Ra, juga mengkisahkan beberapa bentuk kekerasan seksual, antara lain kisah tentang “Al Mugtashaba” artinya perempuan yang di “ghasab”. Gashab artinya penguasaan secara paksa milik orang lain tanpa persetujuan dan sepetahuannya. Perempuan yang dighasab kehormatannya, adalah perempuan yang dipaksa dan tidak memiliki kehendak bebas untuk menolak. Rasulullah membebaskan perempuan yang ghasab itu, karena Rasulullah tentu menyakini bahwa ia adalah korban. Dan disaat yang sama Rasulullah memerintahkan agar pelakunya dicari dan dihukum.
Di dalam kitab kitab kaidah fiqih dan juga fiqih dikisahkan, bahwa sayyidina Umar pernah akan merajam seorang perempuan yang mengaku berzina. Namun Sayyidina Ali kemudian datang dan meminta agar Umar Ra tidak serta Merta merajamnya, sebelum ia mengetahui mengapa perempuan itu berzina. Atas dasar permintaan Aly Ra, ahirnya Umar Ra bertanya pada perempuan itu, “mengapa ia berzina”.
Maka bercerita lah perempuan itu. Suatu hari, ucapnya, kami mengadakan perjalanan panjang bersama dua rombongan besar lengkap dengan pembekalannya. Di tengah perjalanan ternyata bekal yang dibawanya habis. Ahirnya perempuan itu meminta sekantong susu pada rombongan yang lain. Ternyata rombongan yang lain tidak mau memberikannya secara cuma cuma. Awalnya perempuan itu menolak, tetapi karena sudah pada tingkat keterpaksaan maka ia pun menyerah, memberikan tubuhnya, untuk sekantong susu.
Mendengar kisah perempuan itu, ahirnya sayyidina mencabut keputusannya dan membebaskan perempuan itu dari hukuman. Keputusan Umar Ra yang luar biasa ini tentu didasarkan karena perempuan itu dalam keadaan terdesak sehingga tidak memiliki pilihan bebas. Itulah relasi kuasa dan situasi keterdesakan sehingga menyebabkan perempuan tidak bisa memilih.
Sesungguhnya di dalam kitab kitab qawaid fiqih ketika membahas kaidah “ad dharuratu tubihu Al mahdhurat-al hajah qad tunzalu manzilata ad dharurah” banyak ditemukan kisah kisah seperti di atas.
Jika dianalisis dengan seksama, mengapa Allah, Rasulullah dan juga sayyina Umar Ra tidak menghukum perempuan yang “mukrahah ala Al bigha”, “al mugtashabah”, dan juga “al mathguthah-terdesak”? ya jawabannya karena hakikatnya mereka adalah korban? Kenapa disebut korban? Karena mereka dipaksa, digiring pada situasi terdesak sehingga tidak dapat memilih atau tidak dapat memberi persetujuan. Jadi pemaksaan dan kondisi memilih itu hakikatnya untuk membedakan apakah ia pelaku atau korban.
Apa bisa dipahami jika ia bisa memilih (bersetuju) berarti zina halal? Pertanyaan ini tidak akan muncul dari seorang yang belajar Islam (usul fiqih) dengan baik. Sebab hal hal di atas tidak sedang membicarakan halal haramnya zina. Melainkan bicara soal pemaksaan, penguasaan, dan eksploitasi seksual. Beda wadah. Kecuali jika dikatakan begini “perzinahan yang haram adalah perzinahan yang dilakukan tanpa persetujuan dan pilihan”, ya maka bisa diambil mafhum mukhalafah “oh berarti jika dengan persetujuan halal dong”. Mamfhum seperti ini bisa diterima. Tapi, kita tidak sedang bicara halal haramnya zina. Karena haramnya zina sudah mujma’ alaihi. Kafir orang yang menghalalkannya.
Yang dibicarakan dalam hal hal diatas adalah pemaksaan zina, penguasaan tubuh perempuan, yang menyebabkan perempuan tidak memiliki pilihan untuk menolak. Sehingga perempuan yang seperti itu tidak bisa dihukum, karena ia korban, bukan pelaku.
Dengan penjelasan ini dapat dimengerti mengapa “kata hubungan yang tidak seimbang/relasi kuasa, dan juga kehendak bebas penting dalam definisi kekerasan seksual, yaitu antara lain untuk membedakan siapa pelaku dan siapa korban.
Relasi Kuasa dan kehendak bebas (halatal ikhtiyar) menjadi pembeda antara kekerasan seksual dan perzinahan
Hingga hari ini, perdebatan soal frasa “relasi kuasa dan persetujuan bebas” menjadi tema diberbagai diskusi publik. Sebagian memandang bahwa kedua frasa itu penting ada untuk menjelaskan fakta kekerasan seksual yang memang terjadi karena adanya relasi kuasa dan tidak adanya persetujuan korban, dan juga untuk membedakan antara kekerasan seksual dengan perzinahan yang memang dilakukan suka sama suka. Sebagian yang lain menyatakan bahwa kedua frasa itu berbahaya karena berarti bisa dipahami sebaliknya sebagai penghalalan perzinahan.
Kedua kelompok itu sesungguhnya tidak berbeda dalam substansi, melainkan berbeda dalam memaknai kedua frasa itu. Sebab kedua kelompok itu sepakat bahwa “perzinahan adalah haram”. Dalil keharaman zina sudah “Qhat’iyu ad dalalah, jelas dan terang benderang, tidak ada perbedaan sedikitpun dikalangan ulama.
Perdebatannya kemudian apakah “seluruh perzinahan” boleh dihukum (had) atau justru sebaliknya ada perzinahan yang justru tidak boleh dihukum? Bagi yang membaca kitab kitab fiqih, tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan ini, karena memang tidak semua perzinahan bisa dihukum. Ada syarat syarat yang sangat berat untuk menjatuhkan hukuman zina.
Saya secara pribadi, sejauh pengetahuan saya, membedakan antara kekerasan seksual dengan perzinahan. Beda yang sangat jelas adalah ” bahwa dalam perzinahan kedua pelakunya bisa dihukum”, artinya kedua duanya sebagai pelaku yang bisa bahkan wajib dihukum jika terpenuhi semua prasyaratnya”. Sedangkan dalam kekerasan seksual “pelakunya dihukum dan korbannya wajib dibebas dan selamatkan”, artinya dalam kekerasan seksual ada pelaku dan ada korban.
Yang menjadi basis perbedaan itu adalah dua frasa itu, yaitu “relasi kuasa dan persetujuan”, jika dalam perzinahan dilakukan suka sama suka yang artinya ada persetujuan dan kehendak bebas, maka dalam kekerasan seksual tidak ada persetujuan dan kehendak bebas itu disebabkan karena ada relasi kuasa atau sebab lainnya, seperti karena disabilitas atau anak anak.
Di dalam ajaran Islam ada beberapa kasus kasus kekerasan seksual yang terjadi karena relasi kuasa sehingga korban tidak dapat memberikan persetujuan dan tidak memiliki kehendak bebas.
Pertama : المكرمة على البغاء (perempuan budak yang dipaksa melacurkan diri), sebagaimana digambarkan dalam surat an Nur, 33 “janganlah kalian memaksa budak budak mu itu (Fatayat) untuk melakukan perzinahan…..” Ayat ini menggambarkan dengan jelas adanya relasi kuasa yaitu antara majikan dan budaknya sehingga sang budak tidak bisa memberikan persetujuan atau tidak memiliki pilihan bebas. Dalam kasus ini Al Qur’an menyelamatkan dan membebaskan perempuan yang dipaksa melacur karena ia sebagai korban.
Kedua : المغتصبة (perempuan yang ghasab atau dikuasi tubuhnya) sehingga ia tidak memiliki pilihan dan melakukannya secara terpaksa. المغتصبة ini dikisahkan dalam beberapa hadist, seperti kitab hadist Al Muwattha’ karya Imam Malik. Di dalam kitab itu dikisahkan ada seorang perempuan yang dikuasi tubuhnya dan terjadilah pemaksaan perzinahan. Setelah itu perempuan itu menghadap Rasulullah , dan Rasul pun menyelamatkan dan membebaskan perempuan itu. Dan Rasulullah memerintahkan agar pelakunya dicari dan dihukum . Rasulullah membebaskan perempuan itu karena hakikatnya ia bukanlah pelaku namun ia adalah korban. Disebut korban karena ia tidak memiliki pilihan atau kehendak bebas untuk memilih.
Ketiga: المضغوطة ( perempuan yang diletakkan dalam satu kondisi terdesak sehingga ia tidak memiliki pilihan atau persetujuan). Kasus seperti ini banyak ditemukan di dalam kitab kitab fiqih, khusus dalam kitab kitab fiqih madzhab Hanafiyah dan Malikiyyah. Dikisahkan, bahwa sayyidina Umar bin Khattab Ra membebaskan perempuan yang berzina karena dalam situasi terdesak, dimana ia telah sampai pada situasi kehausan yang luar biasa (dharurat), sementara tidak ada yang bisa memberikan minum kecuali dengan syarat menyerahkan tubuhnya. Sehingga perempuan itu terpaksa berzina karena untuk menyelamatkan nyawanya. Sayyidina membebaskan perempuan itu, karena beliau tahu bahwa perempuan itu dalam situasi terdesak sehingga ia tidak memiliki pilihan atau kehendak bebas.
Terakhir. Jika kita membaca kitab kitab fiqih khususnya “bab az zina”, maka dengan jelas terlihat perbedaan antara “kondisi terpaksa” dengan “kondisi suka sama suka”. Abu Hanifah mislanya mendefinisikan perzinahan dengan mencantumkan frasa “haalata Al ikhtiyar”, yang secara bahasa bermakna “dalam kondisi pilihan- bebas”. Artinya perzinahan yang bisa dihukum atau di had ialah jika dilakukan dalam kondisi “ikhtiyar”, memang ada pilihan untuk melakukannya. Mafhum mukhalafahnya (makna sebaliknya), jika ia dilakukan dalam keadaan terpaksa baik oleh kedua keduanya atau salah satunya, maka pihak yang terpaksa atau dipaksa tidak boleh dihukum. Jadi menurut kitab kitab fiqih tidak semua perzinahan bisa dihukum. Yang membedakan apakah ia bisa dihukum atau tidak adalah apakah dalam kondisi ada pilihan (حالة الاختيار)atau dalam kondisi tidak ada pilihan (حالة الاضطرار).
Semoga bisa setidaknya memberikan sedikit penjelasan tentang dua frasa itu, sehingga tidak lagi membuka tafsir yang menyudutkan yang lain, sebab kita sepakat bahwa perzinahan adalah haram dan bahwa korban kekerasan haruslah diselamatkan dan dipulihkan.
Allahu Akbar
Yokyakarta 181221
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10223873897789555