Oleh: Prof. Muhammad Ali, M.Sc.,Ph.D. (Profil)
Associate Professor, Religious Studies Department & Chair, Middle East and Islamic Studies Program, University of California, Riverside
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang keyakinan agama menimbulkan ketegangan dan konflik intra dan antarpenganut agama, serta menghambat hubungan sosial yang toleran, damai, dan berkeadilan. Dalam kebijakan pemerintah, keyakinan menjadi faktor persekusi dan intoleransi, selain toleransi dan kerja sama.
Untuk mencegah persekusi dan intoleransi, setiap kita perlu memahami keyakinan agama. Keyakinan merupakan penilaian subyektif yang kuat dan dalam, yang dianggap lebih daripada akal ataupun sains empiris.
Keyakinan agama (religious belief) dianggap berbeda dari keyakinan-keyakinan bukan agama karena keyakinan agama tidak dibuktikan cara-cara biasa (Daniel Lopez Jr, Belief, 1998). Masalah terjadi ketika penilaian keagamaan subyektif ini diarahkan kepada keyakinan lain yang berbeda dan dihukumi sebagai menyimpang dan mengganggu ketertiban umum.
Penilaian dan penghukuman keyakinan agama bermula dari cara pandang tunggal dan baku, tanpa memahami apa itu keyakinan agama, dan mengapa keyakinan agama begitu majemuk dan dinamis. Tidak dipahami bahwa orang lain yang dicap sesat, menyimpang, dan mengganggu ketertiban umum itu, sebetulnya meyakini apa yang mereka yakini sebagai lurus dan tidak membahayakan ketertiban. Keyakinan yang berbeda tidak dengan sendirinya mengganggu ketertiban.
Menjaga keyakinan agama agar tidak menyimpang membuat banyak pihak, termasuk otoritas keagamaan seperti majelis-majelis dan organisasi-organisasi agama, dan bahkan aparatur negara, melakukan berbagai upaya pencegahan dan bahkan sangsi kepada orang-orang yang dianggap menyimpang dari keyakinan dan pemahaman arus utama.
Bagi banyak pemuka dan umat beragama, keyakinan tidak boleh dipertanyakan dan tidak boleh terpengaruh keyakinan-keyakinan lain. Tidak boleh ada keraguan, apalagi penolakan.
Keyakinan tidak hanya untuk membedakan dari keyakinan-keyakinan lain, tetapi demi menyatukan komunitas agama. Tidak disadari bahwa pemahaman seperti ini juga ada dalam penganut keyakinan yang dianggap menyimpang itu.
Enam agama besar dan ratusan agama lokal di Indonesia, dan ribuan agama di dunia, merupakan bukti nyata bahwa suatu keyakinan tidaklah muncul tiba-tiba. Keyakinan hidup dan berkembang dalam ruang dan waktu.
Keyakinan-keyakinan agama juga saling memengaruhi. Ada keyakinan yang merupakan kelanjutan keyakinan sebelumnya, dan ada yang baru dan berkembang. Ada yang menjadi arus utama, dan ada yang berkomunitas kecil dan terpinggirkan.
Terhadap orang dan kelompok agama yang dianggap berbeda itu, atau ”orang asing beragama” (Paul Griffiths, The Religious Alien, 2011), ada pilihan-pilihan sikap.
Pertama domestikasi, ketika kita membuat orang lain menjadi anggota agama kita, dengan ajakan, rayuan, atau paksaan.
Kedua shunning, atau menutup dan menolak berhubungan atau kontak dengan siapa pun.
Ketiga toleransi, ketika membiarkan yang lain dan membuat atau mendukung hukum yang membiarkan mereka itu hidup dan berkembang sambil membangun hubungan yang rukun.
Keempat, mencintai (love’s embrace), ketika kita mencintai yang lain seperti mencintai dirinya sendiri.
Sikap ketiga dan keempat tampaknya cukup tepat dijaga dan dikembangkan.
Menghormati keyakinan
Bangsa Indonesia patut bersyukur, negara tidak menjatuhkan hukuman bagi warga yang masuk dan keluar dari suatu agama, dibandingkan dengan beberapa negara lain. Keyakinan agama tidak bisa dipaksakan. Bukan hanya tidak boleh ada paksaan dalam meyakini suatu agama, keyakinan yang terpaksa adalah keyakinan yang tidak tulus.
Sikap toleransi terwujud ketika kita menghormati keyakinan lain, seperti tidak mengolok-olok keyakinan dan sembahan orang lain. Memaki-maki atau merendahkan sembahan orang lain berpotensi membuat orang lain ikut memaki sembahan kita sendiri. Akibatnya, saling memaki menjadi fenomena beragama yang membuat orang beragama merendahkan keyakinan agama lain dan orang yang tidak atau belum beragama makin tidak suka atau menjauh dari agama.
Kita menunjukkan toleransi pasif ketika membiarkan keyakinan orang lain hidup dan berkembang. Ada toleransi aktif ketika mau memahami keyakinan orang lain sebagaimana orang lain itu meyakininya. Toleransi aktif berbuah inklusifisme dalam arti menjadikan mereka mitra sejajar dan bahkan pluralisme positif dan proaktif dalam bentuk saling mendengarkan, berdialog dan kerja sama dalam berbagai bidang kehidupan.
Memahami yang lain memudahkan kita menerima yang lain sebagai teman, mitra, pendamping, dan bahkan saudara. Lebih jauh, seseorang bisa juga mengalami keberagamaan sehingga lebih kaya dan dalam.
Memang ada hambatan dan tantangan: hambatan psikologis ketika melihat orang berkeyakinan berbeda sebagai asing yang harus dijauhi. Kita cenderung berada dalam zona aman dan nyaman dengan komunitas penganut agama yang sama.
Ada hambatan ketika kita berpikir tidak punya cukup pengetahuan tentang keyakinan orang lain untuk bisa memahaminya. Tentang keyakinan agama sendiri saja masih terus belajar, mengapa perlu belajar keyakinan orang lain? Begitu kira-kira alasannya.
Namun, ketidaktahuan tentang keyakinan agama lain tidak dengan sendirinya negatif. Meminjam frase dari Nicholas Cusanus (1440), yang dikutip James Heft et al dalam buku Learned Ignorance: Intellectual Humility among Jews, Christians, and Muslims, 2011), ada learned ignorance atau de docta ignorantia, yakni ketidaktahuan kita tentang hakikat Tuhan, manusia, dan alam semesta, membuat kita rendah hati (humility) secara intelektual dan spiritual, dan menghindari diri dari menghakimi keyakinan agama lain yang berbeda sebagai pasti sesat, menyimpang, dan mengganggu ketertiban umum.
Dalam hubungan masyarakat dan oleh negara, kalaupun kita tidak suka orang atau kelompok agama lain karena suatu sebab, ketidaksukaan kita itu janganlah membuat kita bersikap dan berbuat tidak adil. Dalam konteks ini, perlakukan yang lain itu sebagaimana diri kita ingin diperlakukan, ”What you wish done to yourself, do to others.” Atau, jangan perlakukan orang lain dengan cara yang kita sendiri tidak mau diperlakukan, ”What you do not wish done to yourself, do not do to others”.
Dengan memahami keyakinan agama diri sendiri dan setidaknya sadar akan keterbatasan diri sendiri tentang berbagai keyakinan orang lain yang sangat majemuk dan dinamis, kita lebih introspeksi diri, mengukur keyakinan dan cara beragama kita sendiri: sejauh mana keyakinan kita itu terwujud dalam kata-kata, sikap, dan perilaku yang tulus, baik, dan adil kepada sesama.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/12/memahami-keyakinan-agama