Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)
Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb.
Bapak Imam Besar Masjid Istiqlal yang terhormat.
Saya salah satu mahasiswa di perguruan tinggi umum di Surabaya, pada suatu ketika mengikuti seminar tentang pluralisme agama, para pembicara yang diundang banyak mengemukakan pentingnya keberagaman dalam berbangsa dan bernegara. Sampai pada masakah pernikahan antara muslim dan non muslim, mereka secara jelas memperbolehkan. Alasannya karena menjunjung asas kebersamaan dan persamaan. Pertanyaan saya, apakah ada dalil dari al-Qur’an maupun Hadis tentng kebolehan tersebut? Apakah boleh pertimbangan akal dijadikan landasan dalam mengambil sebuah produk hukum? Demikian, atas jawaban Pak Kiyai saya haturkan terima kasih.
M. Nurcholis Zein
Sidoarjo Jawa Timur
Jawaban:
Cak Nurcholis Zein yang berbahagia, yak nopo kabare!
Pada dasarnya pernikahan yang anda tanyakan lazim disebut nikah campuran atau nikah beda agama. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1980 telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini. Karena permasalahan ini masih selalu aktual dan menjadi polemik di tengah masyarakat kita sampai sekarang, maka ada baiknya kitab membahas kembali.
Secara umum, pernikahan beda agama terbagi menjadi dua: (1) pernikahan pria muslim dengan wanita non muslim, dan (2) pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim. Di dalam al-Qur’an dan Hadis, penganut Nasrani (Katolik/Protestan) dan yahudi disebut Ahli Kitab (penganut agama yang memiliki kitab Samawi). Terminologi lainnya dalam al-Qur’an dan Hadis adalah Majusi, Shabi’in, dan Musyrikin. Tetapi Indonesia, adapula Hindu, Budha dan Konghucu.
Disini terdapat dua permasalahan yang perlu diperhatikan. Pertama, soal istilah Ahli Kitab. Kedua, soal pernikahan muslim dengan Ahli Kitab.
Mengenai istilah Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat, semua orang Nasrani dan Yahudi, termasuk mereka yang tinggal di Indonesia, disebut Ahli Kitab, namun ada yang berpendapat bahwa Ahli Kitab adalah mereka yang sejak nenek moyangnya dahulu yaitu keturunan Bani israil – ketika al-Quran diturunkan – sudah memeluk agama Nasrani. Jadi, orang-orang Kristen Indonesia, berdasarkan pendapat kedua ini, tidak termasuk Ahli Kitab.
Mengenai pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, para ulama sepakat memperbolehkannya, berdasarkan firman Allah swt.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ (المائدة:5)
Terjemahnya:
“(dan dihalalkan menikahi) Perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan orang-orang yang beriman dan kaum perempuan yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli Kitab”. (QS. al-Maidah: 5)
Senada dengan maksud ayat di atas, terdapat beberapa hadis, diantaranya dari Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir, dan sahabat lainnya, semuanya membolehkan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab. Bahkan Thalhah dan Hudzaifah mempraktikannya. Dengan demikian kebolehan ini sudah merupakan ijma’ sahabat. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa jika ada riwayat dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut di atas, maka riwayat itu dinilai tidak sahih.
Bahwa Umar ra menyuruh beberapa sahabat menceraikan istri mereka yang Ahli Kitab, hal itu harus difahami sebagai suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan Umar kalau perilaku mereka akan menjadi fitnah bagi umat Islam. Umar pun sebatas menyuruh, bukan mengharamkannya.
Demikian fatwa MUI (1 Juni 1980) tentang haramnya perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Meskipun fatwa itu diusung dengan merujuk kepada beberapa dalil naqli, tetap saja tidak menghapus kebolehan pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab sebagaimana disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 5 di atas. Dan rupanya fatwa itu dikeluarkan karena didorong oleh keinsafan akan adanya persaingan keagamaan. Para ulama menganggap bahwa persaingan tersebut telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat muslim.
Memang ada beberapa ulama yang secara mutlak mengharamkan pernikahan antara lelaki muslim dengan Ahli Kitab tersebut. Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221 yang melarang pria muslim menikahi wanita musyrik,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة: 221)
Terjemahnya:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke nereka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (al-Baqarah: 221)
Di samping itu, mereka juga mengacu kepada perkataan Abdullah bin umar bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari pada wanita yang meyakini Isa bin Maryam sebagai Tuhannya.
Menurut Ibnu Abbas, hukum pernikahan dalam surah al-Baqarah ayat 221 di atas telah dihapus (mansukh) oleh surah al-Maidah ayat 5. Karenanya yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab. Demikian keterangan yang terdapat dalam kitab al-Mughni (IX/545) karya Imam Ibnu Qudamah.
Adapun pernikahan pria Ahli Kitab dengan wanita muslimah, para ulama bersepakat atas keharamannya. Dasarnya sama, yakni firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 5 bahwa Allah hanya membolehkan pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, tidak sebaliknya. Seandainya perikahan semacam ini dibolehkan, maka Allah pasti menegaskannya. Karenanya, berdasarkan mafhum mukhalafah juga berdasarkan firman Allah, surah al-Mumtahanah ayat 10 Allah melarang pernikahan tersebut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ (الممتحنة: 10)
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. al-Mumtahanah: 10)
Imam Ibnu Hajar al-Tabari dalam kitabnya, Tafsir al-Tabari, menuturkan hadis riwayat Jabir bin Abdullah bahwa Nabi saw bersabda: Kami (kaum muslim) menikahi wanita Ahli Kitab, tetapi mereka (pria Ahli Kitab) tidak boleh menikahi wanita kami. Masih dari Imam al-Tabari, ada hadis lain dari Zaid bin Wahhab bahwa khalifah Umar ra berpesan : Seorang muslim boleh menikahi wanita Nasrani, tetapi pria Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah.
Menurut al-Tabari, meskipun sanad-sanad hadis tersebut agak sedikit bermasalah, maknanya telah disepakati oleh kaum muslimin, maka kehujjahannya dapat dipertanggungjawabkan. Bila dibandingkan dengan hadis riwayat Syahr bin Hausyab yang menuturkan bahwa Umar menyuruh Thalhah dan Hudzaifah menceraikan istri-istri mereka yang Ahli Kitab, maka kualitas hadis-hadis yang disebutkan belakangan, menurut al-Tabari lebih baik.
Cak Nurcholis yang baik!
Sebuah kaidah mengatakan; La ijtihad fi Maurid al-Nash (tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya).
Dengan demikian asumsi rasio yang membolehkan pernikahan pria Ahli Kitab dengan wanita muslim atas dasar persamaan hak dan kebersamaan, tidak bisa dibenarkan.
Perlu pula ditegaskan di sini, masalah pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagi perintah. Karenanya, pernikahan yang paling ideal dan lebih aman untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, adalah pernikahan dengan orang yang seagama. Wallahu a’lam.
Sumber: Ali Mustafa Ya’qub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Edisi 2 (Cet. V; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 401-405.