Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, Lc., M.A. (Profil)
(Mengkhatamkan Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Al Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah/Dosen Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta/Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi ‘Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi’)
Ibn Taymīyah merupakan nama populer dari Aḥmad Ibn ‘Abd al-Ḥalīm Ibn Taymīyah al-Ḥarrānī. Ibn al-‘Imād dan al-Shawkānī menyebut Ibn Taymīyah sebagai al-mujtahid al-muṭlaq.[Ibn al-‘Imād, Shadharāt al-Dhahab, 6/79; al-Shawkānī, al-Badr al-Ṭali‘, 1/57.]
Di kalangan murid-muridnya, Ibn Taymīyah lebih sering disebut dengan Shaykh al-Islām. Ibn Qayyim al-Jawzīyah dan Ibn Kathīr adalah murid-muridnya yang paling berjasa dalam mempopulerkan gelar tersebut. Ibn Qayyim al-Jawzīyah menyebut gelar Syaykh al-Islām di dalam ī‘lām al-Muwaqqi‘īn sebanyak tigapuluh satu kali. Ia hanya dua kali menyebut nama Ibn Taymīyah tanpa sebutan gelar tersebut.[Ibn Qayyim al-Jawzīyah, I‘lām al-Muwaqqi‘īn, 3/72 dan 3/234.]
Di dalam kitab yang lebih kecil seperti Ighāthat al-Lahafān, Ibn Qayyim al-Jawzīyah menyebut gelar tersebut untuk Ibn Taymīyah sebanyak duabelas kali. Adapun dalam Madārij al-Sālikīn yang merupakan kompilasi doktrin tasawuf versi Salafi, maka Ibn Qayyim al-Jawzīyah menyebut gelar tersebut sebanyak delapan puluh lima (85) kali. Ini mengindikasikan bahwa murid-murid Ibn Taymīyah memang sangat berhasil mempopulerkan gelar tersebut terhadap dirinya.
Ibn Taymīyah terhubung dengan para pendahulu Ḥanābilah dari banyak tokoh. Di antara mereka terpenting adalah Ibn ‘Abd al-Dā’īm, Shaykh al-Islam Ibn Abū ‘Amr, al-Fakhr Ibn al-Bukhārī, dan lainnya.
Ibn ‘Abd al-Dā’im berstatus sama sebagai pendatang seperti Ibn Taymīyah di Damaskus. Perbedaannya, Ibn Taymīyah berasal dari Ḥarrān, sedangkan Ibn ‘Abd al-Dā’im berasal dari Maqdis sama seperti Ibn Qudāmah. Sebagaimana Ibn Qudamah, Ibn ‘Abd al-Dā’im pernah belajar kepada Ibn al-Jawzī di Baghdad. Sanad Hadisnya yang ‘alī dan beragam menyebabkan dirinya terkenal dengan gelar musnid al-Shām (ahli sanad di Syam). Ibn Taymīyah belajar kepadanya setahun sebelum Ibn ‘Abd al-Dā’im wafat, pada tahun 667 H. Ini menunjukkan bahwa Ibn Taymīyah belajar kepadanya saat masih sangat muda, yaitu enam tahun. Oleh karena itu, Ibn Taymīyah menyebutkan riwayat dari Ibn ‘Abd al-Dā’im pada urutan pertama dalam Arba‘īnnya. [Ibn Taymīyah, Majmū‘ al-Fatāwá, 18/77; Abū al-Ṭayyib al-Fāsī, Dhayl al-Taqyīd, 327.]
Adapun Ibn Abū ‘Amr dan Ibn al-Bukhārī lebih banyak menghubungkan Ibn Taymīyah kepada fiqh Ḥanbalī dan tasawuf. Rekaman sanad yang mengejutkan mengenai Ibn Abū ‘Amr oleh Muḥammad Ibn Sulaymān al-Rawdānī pengarang Jam‘ al-Fawā’id min Jāmi‘ al-Uṣūl wa-Majma‘ al-al-Zawā’id. Ibn Taymīyah terhubung melalui Ibn Abū ‘Amr dengan genealogi tasawuf kepada Ibn Qudāmah dari ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, pendiri tarekat Qādirīyah. Jalur “aneh” ini dikemukakan oleh Muḥammad Ḥāfiẓ al-Tijānī dalam ijazahnya kepada murid-muridnya. Muḥammad Ḥāfiẓ al-Tijānī menyebutkan sumber sanad ini dari kompilasi sanad yang ditulis oleh Muḥammad Ibn Sulaymān al-Rawdānī sediri, yaitu Ṣilat al-Salaf bi-Mawṣūl al-Khalaf. [Muḥammad ‘Abd al-Ḥayy al-Kattānī, “Asānīd Shaykh Muḥammad al-Ḥāfiẓ al-Tijānī” dalam Ṭarīq al-Haqq, 1972, vol. 11, 26.]
Terlepas dari itu, Ibn Taymīyah tidak memandang dirinya sebagai muqallid dalam pemikiran teologis, hukum, apalagi tasawuf. Ia, sebagaimana diakui oleh Ibn Qayyim al-Jawzīyah, menilai dirinya seperti Abū Yūsuf dan Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-Shaybānī di kalangan Ḥanafīyah. Mereka berdua adalah orang yang paling mengerti mazhab Abū Ḥanīfah, tetapi mereka juga banyak berbeda dengan imam pendiri mazhab. [Ibn Qayyim al-Jawzīyah, A‘lām al-Muwaqqi‘īn, 2/242.]
Ibn Taymīyah dianggap sangat mumpuni dalam banyak bidang keilmuan, sehingga al-Dhahabī merasa sangat kagum dengan sosok gurunya tersebut. al-Dhahabī pernah menyebutkan bahwa apabila Ibn Taymīyah membicarakan suatu topik keilmuan, maka seakan semua referensi ada di depannya. Meskipun al-Dhahabī menyatakan berbeda dalam banyak hal dengan Ibn Taymīyah, ia mengakui bahwa belum ada tokoh sehebat Ibn Taymīyah. [Al-Dhahabī, Mu‘jam al-Dhahabī, 25; Ibn Ḥajar, al-Durar al-Kāminah tahqiq: Muḥammad ‘Abd al-Mu‘īd Ḍān (India: Majlis Dā’irat al-Ma‘ārif al-‘Uthmānīyah, 1972 ),1/175.]
Akan tetapi, Ibn Taymīyah mengalami cobaan yang lebih lama dan berat dibandingkan Aḥmad Ibn Ḥanbal (241 H). Ibn Taymīyah selalu diadili dan dieksekusi setiap kali menyampaikan pemikiran teologis atau fiqh yang dianggap berbeda dengan mazhab-mazhab “resmi”. Selain itu, Ibn Taymīyah memang sangat gemar dalam memberikan kritikan tajam terhadap sesuatu yang diyakininya menyimpang, baik dari kalangan ahli kalam, fiqh, tasawuf, dan filsafat. Setelah selesai suatu peradilan dan eksekusi, ia diadili dan dieksekusi dengan perkara baru, dan seterusnya.
Dari pihak pengikut Ibn Taymīyah, orang-orang yang mengritisi, mengadili dan mengeksekusi syaykh al-Islām tersebut disebut sebagai a’dā’ (musuh-musuh) atau ḥussād (para pendengki). Namun dari pihak yang berseberangan dengannya, maka mereka menyebut kritik, peradilan dan eksekusi terhadap Ibn Taymīyah sebagai sesuatu yang pantas didapatkannya.
Ketokohan Ibn Taymīyah memang sangat penting dalam perdebatan teologi dan fiqh. Sebenarnya, sosoknya sebagai teolog lebih dominan daripada sosoknya sebagai ahli fiqh. Ini terlihat dari karya-karya mengenai teologi lebih banyak daripada fiqh sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Pengaruhnya dalam ranah teologis tidak hanya kepada kalangan Ḥanābilah, tetapi juga kepada pengikut mazhab lainnya, bahkan mereka yang berteologi Ash‘arīyah. Sebagai contoh, dari kalangan pengikut al-Shāfi‘īyah dan Ash‘arīyah terdapat Ibn Kathīr pengarang tafsīr Ibn Kathīr.
Ibn Ḥajar menyebutkan di dalam al-Durar al-Kāminah mengenai perseteruan yang menggelikan antara Ibn Kathīr dengan Ibrāhīm anak Ibn Qayyim al-Jawzīyah. Ibn Kathīr menuduh Ibrāhīm al-Jawzīyah membencinya karena cenderung kepada teologi Ash‘arīyah. Setelah itu, Ibrāhīm al-Jawzīyah menanggapinya dengan mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang mempercayai Ibn Kathīr cenderung Ash‘arīyah. Ini disebabkan Ibn Kathīr berguru kepada Ibn Taymīyah.
Ibn Ḥajar, al-Durar al-Kāminah, 1/17. Teksnya adalah:
قال له ابن كثير أنت تكرهني لأنني أشعري فقال له لو كان من رأسك إلى قدمك شعر ما صدقك الناس
في قولك أنك أشعري وشيخك ابن تيمية
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa siapa pun yang pernah berguru kepada Ibn Taymīyah, maka akan diasumsikan identik dengan teologinya. Namun demikian, Ibn Kathīr tidak dapat digolongkan kepada penerus genealogi ajaran teologi Ibn Taymīyah, karena—sebagaimana diakuinya sendiri—masih cenderung kepada Ash‘arīyah.
Sumber: Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi (Tangerang Selatan: Darus-Sunnah, 2019). h. 124-126.