Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, Lc., M.A. (Profil)
(Mengkhatamkan Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Al Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah/Dosen Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta/Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi ‘Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi’)
Salah satu tradisi sebagian ulama terdahulu yang masih terlihat, baik di Indonesia maupun di sebagian wilayah Timur Tengah adalah membaca surat Yasin terhadap orang yang sedang sakaratul maut atau orang yang telah meninggal. Amalan ini dianggap lumrah dan biasa oleh sebagian orang, mungkin karena ikut-ikutan terhadap tradisi atau memang mengetahui dasar yang menjadi pijakan beramal. Namun, Allah selalu menakdirkan perbedaan agar ada kedinamisan dalam hidup. Ini terlihat dari beberapa kalangan yang meneliti hadis yang menjadi pijakan. Hasilnya mengejutkan, bahwa ternyata hadisnya –bagi mereka- dianggap berkualitas lemah. Namun yang menjadi pertanyaan apakah semua hadis yang lemah harus ditinggalkan, sehingga tidak pantas dijadikan untuk landasan beramal. Ini akan terjawab pada pembahasan di bawah ini.
Sumber dan Teks Hadis
Hadis tersebut adalah riwayat Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah, Abu Dawud, al-Nasa’i, dan Ibn Majah. Semua riwayatnya melalui satu jalur sanad, sehingga kami memilih riwayat Abu Dawud saja di dalam kitab Sunan Abu Dawud, karena kitab ini lebih populer dari yang lain. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud pada bab al-qira’ah ‘inda al-mayyit (bacaan di sisi orang yang mati). Sanad dan matan hadisnya adalah sebagaimana berikut:
قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَكِّىٍّ الْمَرْوَزِىُّ – الْمَعْنَى – قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِىِّ عَنْ أَبِى عُثْمَانَ – وَلَيْسَ بِالنَّهْدِىِّ – عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « اقْرَءُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ ». وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ الْعَلاَءِ.
Abu Dawud berkata: Muhammad bin al-‘Ala’ dan Muhammad bin Makki al-Marwazi –secara maknawi- meriwayatkan dari Ibn al-Mubarak, dari Sulaiman al-Taimi, dari Abu ‘Utsman –bukan al-Nahdi-, dari ayahnya, dari Ma‘qil bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda: “Bacakanlah surat Yasin terhadap mawta kamu”. Ini redaksi Muhammad bin al-‘Ala’. (HR. Abu Dawud/3132)
Lafaz mawta merupakan jama’ dari mayyit yang memiliki dua makna, yaitu orang yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut) dan orang yang telah mati. Pemaknaan ini diketahui dari beberapa hadis mengenai talqin sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim “Talqinkanlah mawta dari kamu La ilaha illa Allah”. mawta dalam hadis Muslim tersebut lebih sering diartikan bimbingan (talqin) melafazkan kalimat tahlil terhadap orang yang sedang menghadapi kematian.
Kualitas Hadis
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud tersebut secara lahiriah memang tidak ada persoalan. Tetapi, apabila diperhatikan nama-nama periwayat yang terdapat di dalam sanadnya, maka akan ditemukan masalah. Di dalam sanadnya terdapat dua tokoh yang tidak populer, yaitu “dari Abu ‘Utsman –bukan al-Nahdi-, dari ayahnya”. Ungkapan “bukan al-Nahdhi” menunjukkan bahwa Abu ‘Utsman yang ada dalam sanad ini bukan Abu ‘Utsman al-Nahdhi yang terkenal sebagai salah satu imam dari kalangan Tabi‘in.
Imam al-‘Ayni menukil penjelasan Imam Ibn al-Madini bahwa tidak ada yang meriwayatkan dari Abu ‘Utsman melainkan Sulaiman al-Taimi, begitu juga Abu ‘Utsman dari ayahnya. Ini menunjukkan periwayat (Abu ‘Utsman dan ayahnya) adalah orang yang majhul (tidak populer). Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat majhul tergolong berkualitas lemah.
Namun Imam Ibn Hibban menilai hadis ini shahih, sehingga ia menyertakan hadis ini di dalam Shahih Ibn Hibban pada bab al-fashl fi al-muhtadhar (pasal tentang orang yang sedang menghadapi kematian). Redaksi hadisnya sama, tetapi Ibn Hibban menyebutkan sanadnya “dari Abu ‘Utsman dari Ma’qil bin Yasar” tanpa menyebutkan “ayahnya” di antara Abu ‘Utsman dan Ma’qil bin Yasar. Artinya, sanad yang diperoleh Ibn Hibban tersebut munqathi‘ (keterputusan jalur periwayatan). Barangkali keterputusan tersebut bukan berasal dari Ibn Hibban, tetapi dari penyalin naskah.
Penilaian Imam Ibn Hibban terhadap hadis ini dinilai keliru bagi sebagian orang, seperti al-Arnaout yang melakukan tahqiq terhadap kitabnya. Namun sebenarnya, pandangan Ibn Hibban dapat dipertimbangkan, karena ia memang mempunyai standar penilaian yang berbeda dengan ulama lain dalam mengritik periwayat. Kritikan tersebut dalam ilmu hadis disebut dengan jarah. Ibn Hibban menilai bahwa seorang periwayat yang diketahui namanya namun tidak dikenal seluk beluk kehidupannya, maka dapat dinilai sebagai periwayat yang baik (‘adl). Ini dikarenakan, pada dasarnya seorang Muslim itu baik.
Adapun Imam Abu Dawud sendiri tidak memberikan komentar. Dalam hal ini, Abu Dawud pernah mengirim surat ke ulama Makkah (al-Risalah ila Ahl Makkah) bahwa hadis-hadis yang tidak dikomentarinya berarti shalih (dapat diamalkan). Abu Dawud berkata:
ما لم أذكر فيه شيئا فهو صالح
Hadis yang tidak aku komentari adalah shalih.
Selain itu, terdapat suatu amalan sebagian sahabat Nabi Saw dan ulama tabi‘in yang meminta orang-orang di sekitarnya untuk membaca surat Yasin ketika mereka menghadapi sakaratul maut. Ini sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dengan tahqiqan Syu’aib al-Arnaout.
قال حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ، حَدَّثَنِى الْمَشْيَخَةُ أَنَّهُمْ حَضَرُوا غُضَيْفَ ابْنَ الْحَارِثِ الثُّمَالِىَّ حِينَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ، فَقَالَ: هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس؟ قَالَ: فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السَّكُونِىُّ، فَلَمَّا بَلَغَ أَرْبَعِينَ مِنْهَا قُبِضَ. قَالَ: فَكَانَ الْمَشْيَخَةُ يَقُولُونَ: إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا. قَالَ صَفْوَانُ: وَقَرَأَهَا عِيسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ ابْنِ مَعْبَدٍ
تعليق شعيب الأرنؤوط : أثر إسناده حسن وإبهام المشيخة لا يضر
Imam Ahmad berkata: Abu al-Mughirah meriwayatkan dari Shafwan, dari para ulama dari kalangan Tabi‘in. Mereka hadir ketika Ghudaif bin al-Harits al-Tsumali mengalami sakit berat. Lalu ia berkata kepada mereka, “Apakah ada di antara kamu yang dapat membacakan surat Yasin?”. Lalu Shalih bin Syuraih al-Sakuni (tabi‘in) membacakannya. Ketika Shalih sampai ke ayat empat puluh, Ghudaif bin al-Harits meninggal (dengan mudah). Lalu Shafwan berkata: “Apabila dibacakan di sisi mayit, maka ia akan mendapatkan keringanan azab. Shafwan menambahkan bahwa ‘Isa bin al-Mu‘tamir juga membacakan surat Yasin di sisi Ibn Ma‘bad. (HR. Ahmad/17010)
Sanad hadis ini dinilai hasan oleh Syu‘aib al-Arnaout. Ia mengatakan bahwa ibham (tanpa penyebutan nama) para ulama tabiin tidak berpengaruh. Maksudnya adalah tidak berpengaruh kepada kualitas sanad. Penilaian al-Arnaout ini tidaklah berlebihan, karena di dalam matan disebutkan nama Shalih bin Syuraih, seorang tabi‘in. Ini berarti sanadnya tidak mubham dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu ketidaktahuan terhadap nama atau keadaan periwayat. Riwayat ini dapat memperkuat keshalihan riwayat Abu Dawud untuk diamalkan.
Kesimpulan
Berdasarkan keterangan ini, maka dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
- Hadis ini diperdebatkan oleh ahli hadis kualitasnya. Abu Dawud menilainya shalih, Ibn Hibban menilainya shahih. Tetapi ahli hadis mutaakhirin menilainya lemah, seperti al-Arnaout dan Albani.
- Sebagai bentuk husn al-zhan kepada sesama Muslim, kita katakan bahwa mungkin ulama yang mengamalkan hadis ini mengikuti penilaian Abu Dawud dan Ibn Hibban.
- Adapun berdasarkan riwayat Ahmad, maka pembacaan surat Yasin bagi orang yang sakarat dan telah mati merupakan salah satu tradisi sahabat Nabi Saw yang bernama Ghudaif Ibn Malik al-Tsumali, lalu dilanjutkan oleh para tabi‘in. Ini berarti pembacaan Yasin sesuai dengan keadaan di atas adalah amalan ulama salaf.
Sumber: https://ribathnouraniyyah.com/hadis/hadis-yasinan-untuk-orang-mati-dan-keutamaannya/