Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, Lc., M.A. (Profil)
(Mengkhatamkan Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Al Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah/Dosen Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta/Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi ‘Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi’)
Hidup di zaman serba instan seperti saat ini memang menyenangkan. Namun tidak sedikit kesenangan karena serba instan tersebut membuat seseorang lupa dengan sejarah masa lalu dari para pendahulunya. Penggunaan wewangin yang menggunakan botol kecil atau besar, baik berupa cairan yang dioleskan maupun yang disemprotkan (spray) memang terkesan lebih elegan. Ini biasa disebut saat ini dengan parfum. Pada zaman dulu, apabila seseorang mau menggunakan wewangian maka ada yang melakukannya dengan membakar secara langsung bahan-bahan yang mengandung keharuman. Hal demikian juga terjadi pada penggunaan kemenyan. Kemenyan merupakan “parfum” tradisional sebagaimana kasturi, za‘faran, melati, dan lainnya. Dalam bahasa Arab, semua itu termasuk kepada kategori thīb (wewangian).
Di sebagian daerah di Indonesia, tradisi menggunakan wewangian dengan “parfum” tradisional tersebut masih dilestarikan dalam acara-acara keagamaan. Ini terlihat dari pembakaran kemenyan ketika zikir berjamaah, yasinan, ziarah, tasyakuran ataupun lainnya. Namun, tradisi ini sering disalah artikan oleh sebagian orang yang tidak memahami teks dan sejarah keagamaan secara komprehensif. Tidak jarang terdengar mereka menganggapnya sebagai khurafat dan bid‘ah. Lebih menggelikan lagi, dalam suatu salawat berjamaah yang pernah dilaksanakan di Sumatera Barat, kami mendengar ada orang yang dianggap “ustadz” –karena bisa meruqyah- mengatakan bahwa pembakaran kemenyan tidak boleh karena karena termasuk ritual pemberian makan kepada jin. Sangat disayangkan ustadz ruqyah ini telah mengatakan sesuatu perkara ghaib yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasulullah Saw. Mungkin ia terlalu semangat memberantas khurafat dan bid‘ah, tetapi melupakan ayat, “Janganlah kamu berpegang kepada sesuatu yang tidak mengetahuinya”. (QS. al-Isra:). Di dalam hadis, tidak pernah ditemukan bahwa jin memakan wewangian seperti kemenyan. Nabi Saw hanya mengatakan bahwa, “Janganlah kamu beristinja’ dengan tulang, karena itu adalah makanan saudara (seiman)-mu dari kalangan jin”. (HR. Muslim).
Tidak jarang juga yang beranggapan bahwa membakar kemenyan hanya akan mengundang makhluk halus yang jahat seperti syetan dan jin kafir. Tentu semua anggapan ini keliru, karena yang menyukai wewengian –termasuk kemenyan- bukanlah syetan dan jin kafir. Namun yang menyukainya adalah para malaikat dan Nabi Saw. Nabi Saw bersabda:
“Aku diberikan kecenderungan menyukai wewangian dan istri, serta salat sebagai pelipur laraku”. (HR. al-Nasa’i, kualitas hasan).
Para malaikat akan menghadiri tempat-tempat yang harum dan dipenuhi oleh zikir. Ini berbeda dengan syetan dan jin kafir yang menyenangi tempat-tempat kotor dan bau. Oleh karena itu, Nabi Saw mengajarkan agar seseorang membaca doa khusus ketika masuk ke toilet.
“Ya Allah aku berlindung dari khubuts (syetan jantan) dan khaba’its (syetan betina)”.
Nabi Saw menyebut khubuts dan khaba’its sebagai nama lain dari syetan. Dua kata ini pada dasarnya berarti “kotoran dan bau”. Berdasarkan hal tersebut, tidak mungkin syetan dan jin kafir menyukai tempat yang dipenuhi wewengian, termasuk kemenyan.
Namun demikian, kita harus mengakui bahwa praktik pembakaran kemenyan belakangan ini memang sering dikaitkan dengan mistis, perdukunan, dan kebatinan. Namun tidak seharusnya kita menutup mata, bahwa panggunaan kemenyan juga masih dilestarikan di banyak wilayah di indonesia. menariknya,sebagian mereka telah menggunakan bahan yang berbeda sehingga tidak terkesan “mistis”. Ini seiring dengan produk parfum alami seperti kasturi (misk) dan za‘faran yang banyak diimpor ke dalam negeri. Sungguh aneh, umat di negeri ini. Ketika ada yang memakai bahan lokal dianggap ketinggalan, parahnya lagi dianggap khurafat dan bid‘ah. Namun jika menggunakan botol yang dapat dioleskan ke baju dan tangan, maka dianggap syar‘i. Apalagi wewewangian dalam kemasan botol tersebut bermerek kearab-araban.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ و أبي هريرة قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خَيْرَ طِيبِ الرَّجُلِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَخَيْرَ طِيبِ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ. وزاد الترمذي: وَنَهَى عَنْ مِيثَرَةِ الْأُرْجُوَانِ. وقال حسن غريب من هذا الوجه.
. (رواه الترمذي، 2712 والنسائي، 5028-29).
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: “Wewangian lelaki adalah yang keharumannya jelas dan berwarna samar. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang berwarna jelas dan keharumannya samar”. (HR. Al-Tirmidzi dan al-Nasa’i, Imam al-Tirmidzi menilai hadis ini hasan).[1]
Kualitas hadis
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari dua jalur, pertama melalui Abu Hurairah dan kedua ‘Imran bin al-Husain. Adapun Imam al-Nasa’I meriwayatkan dari Abu Hurairah saja. Apabila diperhatikan jalur riwayat pada Abu Hurairah terdapat masalah. Ini dikarenakan ada tiga orang yang tidak dikenal identitasnya. Di dalam ilmu hadis, periwayat yang tidak dikenal disebut dengan mubham. Mereka adalah al-Thafawi, Abu Nadhrah, dan al-Juwairi. Tetapi tampaknya al-Tirmidzi mengenai siapa Abu Nadhrah dan al-Juwairi, karena ia hanya menyebutkan bahwa kami tidak mengenal siapa al-Thafawi. Tetapi al-Tirmidzi menilai bahwa hadis ini hasan. Padahal terdapat mubham pada sanad menyebabkan hadis dihukumi munqathi‘ (sanad terputus). Oleh karena itu, sanad hadis dari Abu Hurairah pada dasarnya adalah dha‘if.
Namun demikian, hadis dari ‘Imran bin Hushain tidak mempunyai masalah. Ini dikarenakan semua periwayat dalam sanadnya tergolong tsiqqah (terpercaya). Oleh karena itu, riwayat kedua mempunyai kualitas sanad shahih. Oleh karena itu, riwayat pertama yang pada dasarnya adalah dha‘if karena mubham, menjadi meningkat kepada kualitas hasan li ghairihi (baik karena ada hadis lain yang mendukunnya).
Fiqih Hadis
Hadis ini menunjukkan anjuran dari Nabi Saw agar laki-laki dari kalangan sahabat menggunakan wewangian yang jelas keharumannya dan berwarna samar. Berbeda dengan perempuan yang diperintahkan agar menggunakan hal sebaliknya, yaitu berwarna jelas dan keharumannya tidak bergitu keras. Anjuran Nabi Saw tersebut merupakan tanggapan terhadap gejala sosial yang terjadi pada masa tersebut.
Di dalam hadis lain disebutkan sebagaimana berikut:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خَيْرَ طِيبِ الرَّجُلِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَخَيْرَ طِيبِ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ. (رواه الترمذي).
‘Imran bin Hushain menceritakan, Nabi Saw bersabda kepadaku: Sesungguhnya wewangian terbaik untuk laki-laki adalah yang jelas keharumannya dan samar warnanya. Sedangkan wewangian terbaik bagi perempuan adalah yang jelas warnanya dan samar keharumannya. (HR. Al-Tirmidzi, hadis hasan).
Pada hadis kedua ini disebutkan kalimat “wewangian terbaik” yang menunjukkan anjuran Nabi Saw agar kaum laki-laki dan perempuan memakai wewangian sesuai dengan anjuran di atas.
Adapun hadis yang dijadikan pegangan untuk mengharamkan perempuan menggunakan wewangian adalah riwayat Imam al-Hakim, sebagaimana berikut:
أَيمُّاَ امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لَيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ. (رواه الحاكم).
“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati suatu kaum, sehingga mereka merasakan semerbak keharumannya, maka perempuan itu adalah (seperti) pezina.” (HR. Al-Hakim).
Hadis ketiga ini merupakan hadis yang sering dijadikan dasar argumen pengharaman pemakaian wewangian bagi perempuan. Namun ketika diteliti, ternyata hadis ini bermasalah pada periwayatnya yang bernama Tsabit bin ‘Ammarah. Tsabit tidak diterima kredibilitas hafalannya di kalangan ahli hadis sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abi Hatim. Hal ini menyebabkan hadis tersebut menjadi dha‘if (lemah). Oleh karena itu, hadis tersebut tidak memenuhi syarat untuk dijadikan dalil pengharaman wewangian bagi perempuan.
Di samping itu, dua kriteria wewangian pada hadis-hadis sebelumnya dianjurkan Nabi Saw adalah bertujuan untuk menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan sesuai dengan hadis riwayat Imam al-Thabrani. Hadis tersebut menjelaskan keengganan Nabi Saw membai‘at seseorang yang tidak menggunakan wewangian, karena hal itu mengaburkan perbedaan identitas antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Nabi Saw menganjurkan wewangian bagi laki-laki dan perempuan dengan kriteria tertentu.
[1] Sanadnya adalah
قال الإمام الترمذي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِيُّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ
Sumber: https://ribathnouraniyyah.com/hadis/cara-tepat-memahami-kemenyan-wewangian/