Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an
KELOMPOK moderat sebagai kekuatan utama NKRI harus dipertahankan. Tidak boleh kelompok ini tergerus ke arah radikal atau liberal. Fenomena terakhir ada kecenderungan kelompok moderat terdegradasi ke kelompok kanan dan kelompok kiri, sehingga keberadaan kelompok moderat terkesan melemah. Indikatornya bisa kita lihat dengan semakin menyusutnya “suara moderat” di media, khususnya di media-media sosial. Bahkan tidak sedikit situs di media sosial mengalirsesatkan kelompok moderat. Contoh ada media yang terang-terangan menuding Nahdlatul Ulama sebagai aliran sesat. Padahal selama ini NU dianggap sebagai roh kelompok moderat.
Namun di sini perlu ditegaskan, apa yang dimaksud kelompok Islam moderat. Orang sering salah persepsi tentang Islam Moderat (baca: Muslim Moderat). Ada kesan orang yang selalu berkostum menyerupai model Timur-Tengah seperti jilbab, cadar, gamis, memelihara jenggot dan cambang, menggunakan potongan celana di atas mata kaki, dan atribut ketimur-tengahan lainnya, dianggap bukan muslim moderat. Mereka dikonotasikan dengan muslim garis keras. Apalagi kalau mereka selalu hidup bergerombol atau berjamaah dan sering meneriakkan yel-yel jihad. Islam moderat dianalogikan dengan sosok figur yang berkostum nasional, cukup menggunakan selendang atau kerudung yang menutupi sebagian kepala, batik, atau baju koko standar. Pola ibadah biasa-biasa, tidak rutin menjalankan seluruh ibadah-ibadah sunnah yang tidak penting (gair mu’akkad). Pikiran mereka nasionalis, tidak pernah ikut-ikutan berbicara tentang isu sensitif seperti ideologi Islam, Perda-perda syari’ah, dan atribut-atribut keislaman lainnya. Mereka juga yang sering ikut-ikutan mencela konsep jihad, dan membatasi seolah-olah Islam hanya sebagai agama individu yang sangat personal. Seolah-olah Islam tidak pantas diajak berbicara tentang dunia publik.
Asumsi yang demikian itu tidak benar. Moderat-tidaknya seorang muslim tidak diukur semata-mata dalam penampilan fisik. Moderat lebih ditentukan oleh pikiran dan sikap seseorang terhadap agamanya. Jika pemahaman seseorang terhadap ajaran Islam mendalam dan holistik, maka dengan sendirinya mereka akan bersikap moderat. Islam sesuai dengan namanya. Islam secara harfiah berarti moderat, jalan tengah, tunduk dengan kritis, dan pasrah dengan dalil-dalil ajaran. Islam tidak disebut salam yang cukup hanya memelihara nilai-nilai luhur (values) tetapi juga berisi norma ajaran (values). Islam juga tidak disebut istislam (bentuk khumasi) yang mengisyaratkan kesempurnaan ketaatan, karena bagaimanapun manusia tetap manusia, bukan malaikat yang bebas dari kekhilafan dan kekurangan. Islam ialah islam (bentuk ruba’i) yang menegaskan kejalan-tengahan (moderate system). Ini sesuai dengan penegasan nabi: Khairul umuri ausathuha (sebaik-baik urusan ialah menempuh jalan tengah).
Islam moderat tidak identik dengan Islam liberal, yaitu mereka menoleransi segala segi kehidupan modern tanpa pernah mengupayakan sikap kritis. Bukan juga mereka yang identik dengan “setengah muslim”, yang hanya mau menjalankan sebagian ajaran Islam dan meninggalkan ajaran lainnya. Bukan juga mereka yang menjaga jarak dengan muslim garis keras sambil mengamankan diri dengan KTP sebagai muslim dan menjalankan kesalehan secara individual. Bukan juga jika mereka memegang tampuk kekuasaan pemerintahan mengeliminir kebijakan pro-Islam dan mengedepankan kebijakan-kebijakan pluralisme dan tidak mempermasalahkan kebijakan sinkretisme. Bukan juga mereka yang termasuk Islam phobi, yang takut terkontaminasi dengan simbol-simbol Islam. ***
Sumber: https://rmol.id/read/2017/01/13/276183/mempertahankan-kelompok-moderat