Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, Lc., MA. (Profil)
(Mengkhatamkan Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Al Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah/Dosen Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta/Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi ‘Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi’)
Salah satu pemahaman yang berkembang di kalangan umat Islam adalah keyakinan terhadap keutamaan meninggal pada malam atau hari Jumat. Begitu juga pujian terhadap kesucian orang yang meninggal pada saat-saat tersebut. Setelah dipelajari secara seksama, ternyata pemahaman ini bersumber dari sebuah hadis berikut.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malamnya, melainkan Allah melindunginya dari fitnah kubur”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, al-Tirmidzi Sunan al-Tirmidzi, dan al-Thabrani dalam al-Mu‘jam. Imam Ahmad menyebutkan riwayat ini pada bagian Musnad ‘Abdullah bin ‘Amr. Imam al-Tirmidzi menukilnya pada bagian al-Jana’iz bab man mata yawm al-jum‘ah (keutamaan meninggal hari Jumat).
Imam Ahmad memperoleh hadis ini dari Abu ‘Amir al-‘Aqdi. Adapun Imam al-Tirmidzi memperolehnya dari dua orang, yaitu Muhammad bin Basyar dan Abu ‘Amir al-‘Aqdi. Ini menunjukkan bahwa sanad Imam al-Tirmidzi bertemu pada jalur Abu ‘Amir al-‘Aqdi. Tokoh yang disebutkan terakhir memperoleh hadis dari Hisyam bin Sa‘ad, lalu dari Sa‘id bin Abu Hilal, lalu dari Rabi‘ah bin Sayf, lalu dari ‘Abdullah bin ‘Amr.
Untuk mengetahui kualitas hadis ini, maka minimal harus diteliti ketersambungan sanad dan kualitas rawi. Apabila sanadnya berkesinambungan dan rawinya terpercaya, maka hadisnya akan dapat dijadikan sumber keyakinan. Namun, jika tidak maka hadis ini tidak pemahaman berdasarkan hadis ini dapat ditolak.
Sanad Terputus
Permasalan dalam sanad ini terdapat pada Rabi‘ah bin Sayf. Belum ada bukti bahwa Rabi‘ah pernah belajar dan mendengar hadis dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Berdasarkan itu, Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa selain sanad hadis ini tunggal (gharib), juga terdapat keterputusan geneologi periwayatan yaitu antara Rabi‘ah bin Sayf dan ‘Abdullah bin ‘Amr. Rabi‘ah bin Sayf tidak mungkin memperoleh hadis ‘Abdullah bin ‘Amr kecuali melalui Abu ‘Abdurrahman al-Hubali.
Setelah dibandingkan dengan periwayatan Imam Ahmad, ternyata tidak ada perbedaan jalur periwayatan yang menjelaskan siapakah rawi antara Rabi‘ah bin Sayf dan ‘Abdullah bin ‘Amr.
Tetapi terdapat informasi yang menarik dari Imam al-Thabrani dalam al-Mu‘jam dan al-Bazzar dalam al-Musnad bahwa rawi antara Rabi‘ah dan ‘Abdullah bin ‘Amr adalah ‘Iyyadh bin ‘Uqbah al-Fihri. Periwayatan Imam al-Thabrani dan al-Bazzar ini dapat dinilai membantu menghubungkan geneologi yang terputus tersebut. Namun, di sisi lain ini dapat mendatangkan masalah baru, karena Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa Rabi‘ah bin Sayf terhubung ke ‘Abdullah bin ‘Amar hanya melalui Abu ‘Abdurrahman al-Hubali. Ungkapan al-Tirmidzi ini dibenarkan oleh Ibn Abu Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta‘dil bahwa nama ‘Abdullah bin ‘Amr memang tidak termasuk ke dalam daftar guru Rabi‘ah bin Sayf. Oleh karena itu, tambahan nama ‘Iyyadh bin ‘Uqbah al-Fihri pada sanad Imam al-Thabrani tergolong syadz (ganjil).
Berdasarkan ini, Imam Abu Zur‘ah al-‘Iraqi di dalam Tuhfat al-Tahshil fi Ruwwat al-Marasil menyimpulkan bahwa periwayatan Rabi‘ah bin Sayf memang terputus. Ungkapan terputus tersebut dapat dikatakan dengan mursal atau munqathi‘.
Kontradiksi Seputar Kredibilitas Rabi‘ah bin Sayf
Selain permasalahan kesinambungan sanad, Rabi‘ah bin Sayf juga mempunyai permasalahan dalam kualitas periwayatannya. Ini terlihat dari catatan Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir bahwa Rabi‘ah bin Sayf meriwayatkan manakir (hal-hal yang aneh) sehingga diingkari oleh ahli hadis. Adapun Imam Ibn Hibban di dalam al-Tsiqat menilai periwayatan Rabi‘ah bin Sayf memiliki banyak kekeliruan (katsir al-khatha’). Inilah yang membuat masalah sanad hadis ini menjadi lebih rumit. Terutama ketika Ibn Hibban memasukkan Rabi‘ah bin Sayf ke dalam daftar orang-orang yang tsiqah (terpercaya), tetapi pada saat yang sama menilainya punya banyak kesalahan. Ini sedikit berbeda dengan Imam al-‘Ijli dalam kitab al-Tsiqat yang menyebut Rabi‘ah bin Sayf sebagai tokoh tabi‘in di kota Madinah yang periwayatannya tergolong dapat dipercaya, tanpa menyebutkan bahwa ia mempunyai banyak kesalahan. Meskipun disebutkan tabi‘in kota Madinah, tetapi yang lebih tepat adalah tabi‘in dari Mesir. Barangkali Rabi‘ah memang pernah tinggal di Madinah.
Tetapi perbedaan yang lebih kontras adalah penilaian Imam Ibn al-Jauzi yang mengategorikan Rabi‘ah bin Sayf ke dalam kitab al-Dhu‘afa wa al-Matrukin. Ini artinya Ibn al-Jauzi menilai kualitas periwayatan Rabi‘ah adalah lemah. Ibn al-Jauzi berkesimpulan seperti itu karena ungkapan Imam al-Bukhari bahwa Rabi‘ah meriwayatkan hal-hal yang aneh (manakir). Pendapat Ibn al-Jauzi sesuai dengan ungkapan Imam ‘Abd al-Haq al-Azdi yang mengatakan bahwa Rabi‘ah bin Sayf adalah dha‘if al-hadits. Imam al-Dzahabi memperkuat kritik tersebut dengan menyertakan nama Rabi‘ah dalam daftar periwayat bermasalah, sebagaimana disebutkannya dalam al-Mughni fi al-Dhu‘afa.
Di sisi lain, ulama mutakhirin yang ahli dalam hal ini seperti Imam Ibn Hajar memilih lebih berhati-hati dalam Taqrib al-Tahdzib –karya akhirnya mengenai jarh wa ta‘dil (kredibilitas rawi)- dengan berkata: “Rabi‘ah bin Sayf al-Mu‘afiri al-Iskandari tergolong shaduq la hu manakir (jujur tetapi mempunyai riwayat yang aneh-aneh). Ungkapan shaduq merupakan salah satu ungkapan ta‘dil (pujian)satu tingkatan di bawah tsiqah. Adapun la hu manakir adalah ungkapan jarh.
Dalam hal ini, ketika para ulama jarh wa ta’dil cenderung kepada sebuah kaidah, “Apabila terjadi jarh (kritik) dan ta‘dil (pujian) pada saat yang bersamaan pada seorang rawi, maka didahulukan jarh apabila mempunyai bukti”. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn al-Shalah dalam Muqaddimah, al-Nawawi dalam Tadrib al-Nawawi, dan al-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi.
Berdasarkan kaidah tersebut, kritik terhadap Rabi‘ah bin Sayf terlihat jelas bahwa ia meriwayatkan hadis-hadis yang aneh. Imam al-Dzahabi menyebutkan dalam Mizan al-I‘tidal bahwa di antara keanehan riwayat-riwayatnya adalah hadis mengenai keutamaan meninggal pada malam atau hari Jumat. Oleh karena itu, kualitas periwayatan Rabi‘ah bin Sayf dalam konteks ini adalah dha‘if atau lemah, tapi kelemahannya tidak disebabkan oleh kebohongan.
Kesimpulan Kualitas Hadis
Setelah paparan di atas, terdapat dua indikasi yang membuat sanad hadis ini bermasalah adalah, pertama keterputusan sanad antara Rabi‘ah bin Sayf dengan ‘Abdullah bin ‘Amr, kedua kualitas periwayatan Rabi‘ah bin Sayf yang bermasalah. Dua indikasi tersebut cukup untuk menilai kualitas hadis keutamaan meninggal pada malam atau hari Jumat, bahwa sanad hadisnya dha‘if. Oleh karena itu, pujian terhadap orang yang meninggal pada hari tersebut atau harapan agar meninggal di hari yang sama adalah tidak mempunyai dasar yang kuat. Semua hari adalah baik, karena hari adalah masa, dan Allah menamakan diri-Nya Masa (al-Dahr).
Sumber: https://ribathnouraniyyah.com/hadis/keutamaan-meninggal-pada-hari-jumat/