Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an
XINJIANG adalah propinsi yang dihuni mayoritas muslim di RRC. Penduduknya banyak menggunakan bahasa Oighur, yang sangat berbeda dengan bahasa China. Propinsi ini berbatasan langsung dengan sejumlah Negara seperti India, Pakistan, Afganistan, dan Tajikistan. Postur dan wajah mereka juga lebih mirip atau paling tidak kelihatan blasterannya dengan Negara-negara Asia Barat Daya. Hidung mereka mancung, postur tubuh rata-rata lebih tinggi, rambut hitam. Budaya lokal setempat juga lebih dekat kepada tetangganya ketimbang budaya China daratan lainnya. Kekayaan alam mereka sangat mendukung, yaitu pertanian dan pertambangan. Jumlah penduduk yang besar juga merupakan aset penting, apalagi dengan SDM yang lebih terampil.
Kalangan warga propinsi ini sering merepotkan pemerintah RRC dengan besarnya jumlah angka “kriminal” menurut istilah pemerintah RRC. Kelompok radikal di sana menurut pemerintah ada dua macam, yaitu kelompok separatis, yang berusaha membebaskan diri dari RRC, dan radikalisme kedua yaitu kelompok yang mendukung gerakan ISIS. Kedua kelompok ini seringkali melancarkan gerakan secara bersamaan, meskipun antara satu sama lain tidak identik. Sasaran-sasaran kelompok di wilayah ini ialah pemerintah yang berdaulat. Mereka meminta merdeka atau memisahkan diri dengan pemerintah pusat dan pada saat bersamaan mereka menuntut diberlakukan syari’ah Islam. Fenomena radikalisme di Xinjiang mirip dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1960-an, ketika sejumlah kelompok radikal dan separatis menyatu untuk mengusung sebuah ideologi tersendiri. Kita pernah mengenal pemberontakan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Aceh dan Daud Beureuh di Aceh. Tuntutan mereka berduplikasi antara tuntutan ideologi agama dan separatis.
Penduduk Oighur banyak meninggalkan negerinya lalu meminta suaka politik dengan alasan di negerinya mengalami ancaman keselamatan. Akan tetapi sembari meminta suaka politik, ditemukan juga beberapa komunitas Oighur menjadi anggota ISIS dan ikut aktif mencari pengaruh ke Negara tujuan. Di Indonesia sudah ada empat orang warga Oighur yang ditangkap di wilayah Poso, Sulawesi Tengah untuk bergabung dengan kelompok Santoso dan Daeng Koro. Namun mereka keburu ditangkap sebelum bergabung dengan mereka.
Yang perlu diwaspadai ialah jangan sampai muncul kelompok radikal yang mempunyai jualan ganda, yaitu ideologi agama dan separatism. Kedua hal ini bisa menjadi isu, dengan adanya kenyataan bahwa pertama, ISIS sedang mencari para pejuang yang akan berjuang untuk membentuk Khilafah Islamiyah dan kedua isu ketimpangan pendapatan pusat dan daerah sering diangkat sebagai kekuatan logika untuk membangkitkan emosi massa untuk bergolak. Media publik yang sedemikian bebas berbanding lurus dengan fenomena melemahnya rasa nasionalisme kebangsaan, bisa saja memicu persoalan dengan skala besar.
Angka-angka distribusi pembagian kue pembangunan per wilayah dibuka di media publik. Kelihatan secara transparan bahwa ada propinsi penghasil devisa sangat tinggi tetapi daerah tersebut menikmati kurang dari 10 persen pendapatan daerahnya. Sementara daerah lain dengan berlindung di bawah otonomi khusus bisa menikmati lebih dari 20 persen penghasilan daerahnya.
Angka-angka ekstrem seperti ini bisa dipicu dengan kecemburuan sosial antara wilayah tertentu di Indonesia dengan wilayah Indonesia di bagian Barat, khususnya Pulau Jawa. Bahaya radikalisme perlu dilihat dari berbagai aspek, bukan hanya dari aspek kelompok minoritas muslim yang selalu turun ke jalan. Ketidakadilan yang terpampang di hadapan mata publik bisa memicu persoalan yang tak kalah bahayanya dengan masalah radikalisme agama. Kalangan pemerintah perlu mencermati kemungkinan lahirnya gerakan separatisme.
Sumber: https://rmol.id/read/2017/07/20/299777/spiritual-contemplations-radikalisme-murakkab