Oleh: Dr. Arrazy Hasyim, Lc., MA. (Profil)
(Mengkhatamkan Kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Al Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah/Dosen Tafsir Hadis Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta/Doktor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi ‘Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi’)
Ungkapan radical dalam konteks keindonesiaan didefinisikan dengan baik oleh Greg Fealy, seorang peneliti dari Australia. Ia menilai bahwa kata “radical” pada dasarnya digunakan terhadap sesuatu yang bersifat negatif, yaitu ejekan. Ia menyadari bahwa term radical menjadi sepi dari makna jika tidak dirangkai dengan kata-kata lain. Berdasarkan itu, pada kasus Indonesia, Greg Fealy mempermudah pendefinisian dengan merangkainya dalam beberapa kata, seperti radical islamic group. Berdasarkan gabungan tersebut ia menemukan definisi radical secara lebih tepat. Suatu kelompok disebut radikal, tambah Greg Fealy, memiliki beberapa karakter. Dalam hal ini, ia menyebutkan dua karakter utama. Pertama, kelompok tersebut meyakini bahwa teks al-Qur’an dan Sunnah dapat diimplementasikan secara utuh dan tekstual. Kecenderungan ini lebih banyak terfokus kepada aspek hubungan sosial, ritual, dan sanksi pelanggaran hukum. Kedua, kelompok radikal terlihat sangat reaktif dalam bahasa, ide, kekerasan fisik terhadap sesuatu yang dianggap sekuler, materialis, dan penyimpangan ajaran agama. [Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, Southeast Asian Affairs, (2004), 104-121.]
Berdasarkan pendefenisian ini, Greg Fealy mengungkapkan bahwa fenomena radical mesti dipahami dalam konteks islamic group secara umum. Oleh karena itu, ia menilai keliru jika term ini dianggap terpisah dari kelompok moderat atau liberal. Ia meyakinkan bahwa justru radikal tersebut ada dalam lingkaran kelompok moderat. Greg Fealy menyontohkan realita ini dalam tubuh organisasi Muhammadiah. Walaupun dianggap sebagai organisasi moderat, tetapi Muhammadiah memiliki kerumitan tersendiri. Dalam hal ini, ia menyebutkan realita lain dari sosok Ahmad Syafii Maarif yang dianggap liberal, tetapi pernah dipercaya mempimpin Muhammadiah. Tokoh ini disebut Greg Fealy sebagai a prominent advocate of religious tolerance karena sikapnya yang luarbiasa memperjuangkan toleransi beragama. Tetapi, di sisi lain Muhammadiah dinilai sangat mendukung beberapa ide radikal, bahkan terkadang bersuara seperti mereka. Berdasarkan ini, Greg Fealy lebih cenderung menilai radical sebagai perkembangan dari pemahaman keislaman, bukan menjadi ciri khas organisasi tertentu. [Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, 105.]
Hal yang sama juga ditemukan Mariya Y. Malicheva ketika meneliti gerakan radikal di Asia Tengah. Ideologi radikal terasosiasi dalam organisasi sosial keagamaan. Tetapi Mariya Y. Malicheva meyakini bahwa kenyataan ini bukan berarti organisasi tersebut benar-benar Radikal atau Islami. [Mariya Y. Omelicheva, “The Ethnic Dimension of Religious Extremism and Terrorism in Central Asia”, 167-186]
Dalam konteks keindonesiaan, Greg Fealy mengakui bahwa penyematan radical secara umum lebih relevan dialamatkan kepada kepada enam organisasi, yaitu Darul Islam dan NII (Negara Islam Indonesia), JI (Jamaah Islamiah), MMI (Majlis Mujahidi Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), FKAW (Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan Laskar Jihad, dan HT (Ḥizb al-Taḥrīr). [Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?”, 106.]
Pembatasan kepada enam organisasi tersebut berdasarkan penelitian Greg Fealy pada tahun 2004. Setelah itu, organisasi-organisasi tersebut telah mengalami perubahan dan perpecahan. MMI, misalnya, mengalami perpecahan karena keputusan Abu Bakar Baasyir yang keluar, lalu mendirikan JAT (Jamaah Anshorut Tauhid). Begitu juga dengan HT Indonesia yang terpecah karena al-Khattath—ketua HTI—keluar, lalu mendirikan FUI (Forum Umat Islam). Berbeda dengan Laskar Jihad yang masih terdengar hanya namanya, tetapi aktivitasnya telah dibekukan.
Sebagai perbandingan di Asia Tengah, Mariya Y. Omericheval menemukan organisasi serupa, seperti Islamic Movement of Uzbekistan (IMU), Ḥizb al-Taḥrīr al-Islāmī seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di Indonesia, serta beberapa organisasi kecil yang kurang populer seperti Akramiya, Ḥizb al-Nuṣra, dan Jamā‘ah al-Tablīgh. [Mariya Y. Omelicheva, “The Ethnic Dimension of Religious Extremism and Terrorism in Central Asia”, 169.]
Mariya Y. Omelicheva menilai bahwa secara ideologi organisasi IMU terlihat sangat radikal, sehingga bercita-cita mengembalikan kekhalifahan dengan menumbangkan rezim yang ada. Namun, ideologi mereka tidak didukung oleh pergerakan yang transformatif dalam menarik masyarakat mengikuti pola pemikiran tersebut. Mariya Y. Omelicheva menemukan perbedaan antara IMU dan HTI, yaitu dalam masalah kekerasan. IMU terkesan cenderung kepada kekerasan, sedangkan HTI mempunyai cita-cita yang sama namun lebih memilih cara damai. [Mariya Y. Omelicheva, “The Ethnic Dimension of Religious Extremism and Terrorism in Central Asia”, 169.]
Ia meyimpulkan bahwa radikalisme keagamaan tidak murni disebabkan oleh doktrin agama yang dianut, tetapi perbedaan etnis di Asia Tengah menjadi pemicu utama kelahiran gerakan-gerakan radikal. [Mariya Y. Omelicheva, “The Ethnic Dimension of Religious Extremism and Terrorism in Central Asia”, 179.]
Baik Greg Fealy maupun Mariya Y. Omelicheva, secara tidak langsung sepakat bahwa radikal lebih tepat disematkan kepada kelompok yang mempunyai kecenderungan kepada superioritas keagamaan dan kekerasan. Kenyataan ini juga pernah diungkapkan oleh Francesco Cavatorta saat menulis konsep kekerasan suatu kelompok radikal. Ia menemukan bahwa kelompok radikal memang lebih cenderung kepada dua hal tersebut. Bahkan ia menambahkan bahwa orang-orang yang tergabung dalam kelompok radikal akan merasa ajaran mereka adalah yang paling murni dan berbeda dari yang lainnya. [Francesco Cavatorta, “The ‘War on Terrorism’-Perspectives from Radical Islamic Groups”, Irish Studies in International Affairs, Vol. 16 (2005), 46.]
Berdasarkan pandangan ini, term radical tidak tepat digunakan dalam ranah teologis, karena lebih cenderung kepada fenomena sosial dari suatu organisasi keagamaan.
Sumber: Arrazy Hasyim, Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi (Tangerang Selatan: Darus-Sunnah, 2019). h. 38-40.