Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Di antara pendapat aneh kaum yang menamakan diri ‘salafi’ itu adalah mengharamkan petjalanan (safar) untuk berziarah ke makam Rasulullah saw., Nabi Ibrahim as., atau makam orang saleh lainnya. Keanehan ini semakin membuat Anda tercengang ketika tahu bahwa mereka sendiri temyata mensunnahkan ziarah ke makam Rasulullah saw., dan ziarah ke makam kaum muslimin secara umum. Dengan demikian, mereka termasuk golongan orang yang mensunnahkan ghaayah (tujuan) tapi mengharamkam wasilah-nya (sarana).
Sikap a neh mereka ini jelas bertentangan dengan kaidah yang telah disepakati ulama, bahwa wasilah mengandung hukum yang sama dengan maqaashid (tujuan). Tidak logis kiranya, ada sebuah tujuan yang disunnahkan sementara wasilah (untuk mencapainya) di waktu yang bersamaan malah diharamkan. Berikut ini akan kami nukilkan ijma’ ulama fikih dari berbagai mazhab mengenai sunnahnya berziarah ke makam Rasulullah saw.
Dalam mazhab Hanafi, Imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid dalam kitab Syarhu Fathil Qadiir berkata, “Maqashid ketiga: tentang ziarah ke makam Rasulullah saw., guru-guru kami berkata bahwa hal itu termasuk di antara sunnah yang paling utama.” Dan dalam kitab Manaasik karya al-Farisi dan kitab Syarhil Muhtaar dikatakan, “Sesungguhnya menziarahi makam Rasulullah hukumnya mendekati wajib bagi orang yang mampu.”[Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, Syarhu Fathil Qadiir, 3/179]
Dalam mazhab Maliki, Imam al-Qarafi berkata, “Ziarah ke makam Rasulullah saw. termasuk sunnah muakad.”[Al-Qarafi, Adz-Dzahirah, 3/375]
Dalam mazhab Syafi’i, Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa ziarah ke kuburan Rasulullah saw. termasuk perbuatan penting untuk mendekatkan diri dengan Allah, dan termasuk usaha yang sangat baik. Oleh karena itu, ketika jamaah haji atau umrah bertolak dari Mekkah, mereka disunnahkan mengunjungi Madinah agar bisa berziarah ke makam Rasulullah saw. Dalam ziarah itu, hendaknya peziarah mempunyai niat taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), mengadakan perjalanan untuk taqarrub, dan shalat atas dasar taqarrub.” [An-Nawawi, Al-Majmuu’, 8/201]
Dalam mazhab Hanbali, Imam al-Mirdawi al-Hanbali berkata, “(Perkataan penulis, ketika orang yang berhaji selesai dari ibadahnya, maka disunnahkan baginya berziarah ke makam Rasulullah saw. dan kedua sahabatnya) Ini adalah pendapat mazhab kami dan diikuti oleh semua pengikut mazhab ini, baik generasi awal, maupun generasi akhir.”[Al-Mirdawi, Al- ‘lnshaaf, 4/53]
Lantas, apa yang terjadi? Apa yang menjadikan kaum yang keras itu bersikap aneh seperti itu? Mereka mensunnahkan tujuan tapi di sisi lain mengharamkan wasilah-nya? Sebabnya tidak lain karena mereka berusaha memahami hadits-hadits tanpa dekat dengan para ulama. Setiap mereka mendapatkan satu hadits, mereka berusaha mempraktekkan jauh dari iklim ilmiah. Dalam hal ini mereka berpegang pada hadits yang berbunyi:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Janganlah kalian melakukan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka mengira bahwa hadits ini mengharamkan kita mengadakan perjalanan panjang (safar) ke tempat selain tiga masjid di atas. Untuk itu, mereka mengharamkan safar untuk ziarah ke makam Rasulullah saw., makam Nabi Ibrahim as., dan makam orang-orang saleh.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Sebagian ulama muhaqqiqin (peneliti keabsahan hadits dan hukum) mengatakan, ‘Dalam hadits itu pasti telah hilang satu kata sebelum kalimat: ‘illaa ‘ilaa tsalaatsati masaajida (kecuali ke tiga masjid). Ada kemungkinan, kata yang terhapus adalah yang mengandung lafaz umum, sehingga had ts itu seharusnya berrnakna: ‘Janganlah mengadakan perjalanan panjang ke satu tempat dalam perkara apapun kecuali ke tiga masjid itu … ‘ Tapi kemungkinan yang lebih kuat, yang hilang itu lafaz atau kata yang sifatnya mengkhususkan, sehingga tidak ada celah untuk mengambil pendapat yang pertama, yang dapat menyebabkan tertutupnya semua pintu perjalanan (safar) dengan tujuan dagang, silaturahim, menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Jadi, kemungkinan kedua yang lebih mungkin terjadi, dimana lafaznya memiliki lebih banyak munasabah. Yaitu: ‘Janganlah mengadakan perjalanan panjang ke sebuah masjid untuk shalat di dalamnya, kecuali ke tiga masjid . … ‘ Maka dengan ini, batallah perkataan orang yang melarang mengadakan perjalanan panjang-untuk berziarah ke makam Rasulullah saw., dan makam orang-orang saleh lainnya. Wallahu ‘A ‘lam.”[Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, 3/69]
Selain itu, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menentang Ibnu Taimiyah yang telah terjatuh ke dalam pemahaman yang salah ini. Dia berkata, “Masalah ini (maksudnya: larangan safar untuk ziarah ke makam Rasulullah dan makam orang saleh) termasuk di antara masalah buruk yang dinukil dari Ibnu Taimiyah.”[Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, 3/69]
Dari hadits di atas, para ulama memahami bahwa tidak wajib memenuhi nazar jika nazar seseorang itu adalah mengadakan perjalanan jauh ke selain tiga masjid tersebut.
Imam al-Ghazali berkata, “Apabila seseorang bernazar untuk mendatangi sebuah masjid selain Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Baitul Aqsha, maka ia tidak wajib menunaikan nazamya. Rasulullah saw. bersabda,
‘Janganlah kalian melakukan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil ‘Iliya (Masjidil al-Aqsha).’
Hadits ini tidak menunjukkan keharaman atau kemakruhan mengadakan perjalanan panjang ke selain tiga masjid di atas. Akan tetapi, hadits ini menerangkan bahwa safar untuk mendekatkan diri kepada Allah itu hanya boleh dilakukan di tiga masjid di atas saja.”[ Selain itu, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menentang Ibnu Taimiyah yang telah terjatuh ke dalam pemahaman yang salah ini. Dia berkata, “Masalah ini (maksudnya: larangan safar untuk ziarah ke makam Rasulullah dan makam orang saleh) termasuk di antara masalah buruk yang dinukil dari Ibnu Taimiyah.”[Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, 3/69]
Ibnu Qudamah menjelaskan tentang safar untuk berziarah kubur atau ke tempat-tempat bersejarah, ”Menurut pendapat yang sahih, hal itu dibolehkan, bahkan boleh mengqashar shalat dalam safar tersebut, karena Rasulullah saw. dulu sering pergi ke Quba naik kendaraan atau berjalan kaki. Beliau juga sering berziarah kubur, seperti sabda beliau, ‘Berziarahlah kalian ke kubur, karena itu bisa mengingatkan kalian kepada akhirat!’ Ada pun sabda beliau yang berbunyi, “Janganlah kalian mengadakan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid…’ mengandung pengertian penafian keutamaan safar selain di selain tiga masjid itu, bukan menunjukkan keharaman safar ke selain tiga masjid tersebut.” [ Hadits ini tidak menunjukkan keharaman atau kemakruhan mengadakan perjalanan panjang ke selain tiga masjid di atas. Akan tetapi, hadits ini menerangkan bahwa safar untuk mendekatkan diri kepada Allah itu hanya boleh dilakukan di tiga masjid di atas saja.”[ Selain itu, Ibnu Hajar al-Asqalani juga menentang Ibnu Taimiyah yang telah terjatuh ke dalam pemahaman yang salah ini. Dia berkata, “Masalah ini (maksudnya: larangan safar untuk ziarah ke makam Rasulullah dan makam orang saleh) termasuk di antara masalah buruk yang dinukil dari Ibnu Taimiyah.”[Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, 3/69]
Syaikh Ulaisy berkata, “Hadits Laa tu’malul mathiyyu (janganlah kendaraan dijalankan untuk perjalanan jauh)’ ini dikhususkan untuk shalat, sebagaimana dikatakan lbnu Abdil Barr. Begitu juga dengan hadits, “Janganlah kalian mengadakan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid … dan seterusnya.” Di sini tidak ada dalil yang menunjukkan larangan melakukan ziarah kubur, al-mustatsnaa minhu dihapuskan-yaitu lafaz al-masjid-dengan bukti bahwa al-mustatsnaanya adalah masaajid. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, al-mustatsna minhu (Lafaz yang dikecualikan) dengan al-mustatsna (Lafaz yang mengecualikan) harus bersambung (satu sama lain).”[Al-Allamah Muhammad ‘Ulaisy, Manhul Jaliil Syarkhu Mukhtasharil Khaliil, 3/100]
Begitu pula, hakikat larangan melakukan perjala nan panjang ke selain tiga masjid di atas, tidaklah dimaksudkan untuk mengharamkannya. Ada sebuah dalil yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. pernah mengadakan perjalanan panjang ke masjid keempat, yaitu Masjid Quba. Diriwayatkan dari lbnu Umar ra., ia berkata, “Rasulullah saw. mendatangi Masjid Quba setiap hari Sabtu. dengan berjalan kaki atau naik. kendaraan.”[Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang
hampir sama, dari Ibnu Umar ra]
Abdullah bin Umar juga melakukan ha! yang sama. Oleh karena itu, al-Hafidz berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa larangan mengadakan perjalanan panjang ke selain tiga masjid itu tidak bermakna haram.”[Ibnu Qudamah, Op. Cit. 3/52.]
Ibnu Abidin pemah berkata, “Pada hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, ‘Janganlah kalian mengadakan perjalanan panjang kecuali ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha,’ maknanya menurut yang dijelaskan dalam kitab ‘Ihyaa’ adalah tidak dibolehkan mengadakan perjalanan jauh ke satu masjid manapun kecuali ke tiga masjid di atas, karena hanya di tiga masjid itulah pahala ibadah akan dilipat gandakan. Lain dengan tiga masjid di atas, semuanya memiliki pahala yang sama. Oleh karena itu, tidaklah dilarang jika seseorang mengadakan petjalanan panjang dengan tujuan selain shalat di tiga masjid di atas, seperti silaturahim, menuntut ilmu, mengunjungi tempat-tempat bersejarah; seperti makam Nabi saw., makam Nabi Ibrahim as., dan makam para ulama.”[Ibnu ‘Abidin, Khasyiyah lbnu ‘Abidin, 2/627]
Dari semua keterangan di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang dari kelompok keras dan kaku ini bersikukuh dengan pemahaman salah satu ulama yang jelas-jelas memiliki pemahaman yang keliru. Berangkat dari itu, mereka lantas berani mengingkari pendapat para ulama lainnya. Walhasil, mereka menengahkan kepada kita perkataan yang sangat aneh, mensunnahkan suatu perbuatan tapi mengharamkan sarana (wasilah) yang dapat mengantarkan (kita) kepada perbuatan tersebut. Atau membatasi hukum sunnahnya ziarah makam Rasulullah saw. hanya kepada orang-orang yang tinggal di dekat makam Rasulullah saw. saja.
Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’. Penerjemah: Abdul Ghafur..Penyunting: Owen Putra (Jakarta: KHATULISTIWA Press, 2013), h. 159-165.