Oleh: KH. Ma’ruf Khozin
(Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur/Direktur Aswaja Center PWNU Jatim)
Alhamdulillah tadi pagi, meskipun kelelahan dan kurang tidur karena antri panjang mendapatkan kamar isolasi di Manggarai, saya masih bisa menyertai para Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya dalam praktek kuliah Perbandingan Mazhab, dengan menelaah metode penetapan hukum yang berlaku di MUI.
Saya menyampaikan Peraturan Organisasi MUI tentang Pedoman Penetapan Fatwa MUI, mulai dari Bab III tentang sumber dalil, proses rapat hingga penulisan hasil Fatwa.
Pada sesi tanya jawab ada mahasiswa yang bertanya soal titik temu ketika ada dalil atau pendapat ulama yang bertentangan. Saya jawab dengan menggunakan peraturan yang sudah dijelaskan di MUI pada Pasal 6. Yaitu metode Jam’u atau memadukan dalil, mana yang spesifik mana yang umum, mana yang mutlak dan mana yang terjangkau batasannya, dan sebagainya.
Kalau dua dalil atau dua pendapat tidak dapat dikompromikan maka diambil jalan tarjih, yaitu memilih pendapat yang lebih kuat serta ihtiyath (hati-hati).
Karena tema yang diangkat tentang permasalahan kontemporer maka saya memberi contoh soal bayi tabung. Ketika sperma dan sel telur sudah berupa embrio lalu dimasukkan ke dalam rahim seorang istri, maka bagaimana hukum membuang sisa embrio? Apakah sama hukumnya dengan aborsi?
Masalah ini kembali ke Fikih klasik soal perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar-Romli. Menurut Imam Ibnu Hajar tidak boleh melakukan aborsi meskipun sejak berupa embrio atau sebelum ditiupkan ruh ke dalam tubuh Janin, yakni sebelum usia kandungan 4 bulan. Hukum Positif di negara kita sama dengan pendapat ini sehingga segala bentuk aborsi adalah tindakan pidana kecuali tindakan medis untuk menyelamatkan ibunya.
Tapi jika embrio yang dibuang dalam bayi tabung dilakukan sebelum ruh ditiupkan menurutnya Imam Ar-Romli tidak sampai haram:
ﻭﻗﺪ ﻳﻘﺎﻝ: ﺃﻣﺎ ﺣﺎﻟﺔ ﻧﻔﺦ اﻟﺮﻭﺡ ﻓﻤﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻮﺿﻊ ﻓﻼ ﺷﻚ ﻓﻲ اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ، ﻭﺃﻣﺎ قبله ﻓﻼ ﻳﻘﺎﻝ ﺇﻧﻪ ﺧﻼﻑ اﻷﻭﻟﻰ ﺑﻞ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﻟﻠﺘﻨﺰﻳﻪ ﻭاﻟﺘﺤﺮﻳﻢ، ﻭﻳﻘﻮﻯ اﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﻗﺮﺏ ﻣﻦ ﺯﻣﻦ النفخ ﻷﻧﻪ ﺣﺮﻳﻤﻪ
Ada pendapat jika setelah ruh ditiupkan dan setelahnya sampai melahirkan maka tidak ragu lagi keharamannya. Namun jika sebelum ditiupkan ruh maka boleh jadi makruh Tahrim atau Tanzih. Dan semakin menjadi haram jika sudah mendekati masa ditiupkan ruh karena sudah masuk area keharaman (Nihayah Al-Muhtaj, 8/442)
Sumber: https://www.facebook.com/photo/?fbid=5181134545247826&set=a.238716119489718