Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Sesungguhnya mengikuti salaf tidak bisa hanya sebatas pada makna sederhana kata salaf atau sebagian sikap mereka. Karena pada dasarnya kalangan salaf secara pribadi tidak pernah menuntut semua itu. Akan tetapi, mengikuti salaf secara benar adalah dengan cara kembali merujuk apa-apa yang menjadi pedoman mereka dalam merumuskan hukum. Mulai dari kaidah-kaidah dalam penafsiran Al-Qur’an, sunnah, kaidah dalam berijtihad dan dasar-dasar hukum agama lainnya. Muslim di setiap masa wajib kembali kepada semua itu. Dalam artian, semangat itu tidak hanya terbatas pada kalangan salaf, namun khalaf juga mempunyai kewajiban yang sama.
Dalam konteks ini salaf tidak dapat dikatakan lebih istimewa daripada khalaf, kecuali keistimewaan mereka sebagai orang pertama yang konsen terhadap kaidah-kaidah tersebut. Mereka juga berpandangan jauh ke depan, dan menyadari pentingnya kaidah itu bagi umat setelah mereka (untuk memahami agama ini). Berangkat dari itulah, mereka akhirnya fokus menulis dan membukukannya.
Dengan demikian, as-salafiah yang sebenarnya berarti kekonsistenan (pengikutnya) dalam mengambil manhaj salaf ketika berinteraksi dengan AI-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah manhaj yang telah mendarah daging dan tercermin pada perilaku salafus saleh dahulu. Oleh karena itu, setiap orang yang konsisten berpegang dengan manhaj ini, ia akan masuk dalam kesatuan yang diberi gelar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sekalipun ia hidup di akhir usia dunia. Sebaliknya, orang yang tidak mau beramal sesuai dengan manhaj ini, maka ia akan keluar dari kesatuan ini, meskipun ia hidup di masa-masa awal Islam.
Salafiyah tiada lain adalah gelar atau bentuk umum bagi seluruh kaum muslimin. Maksudnya, untuk setiap orang yang mencontoh perilaku, mengambil ilmu mereka (salaf), dan berusaha mempraktekkannya secara benar. Berangkat dari itu, maka boleh-boleh saja bagi yang mengikuti manhaj salaf berselisih pendapat, selama dalam naungan yang satu. Dengan alasan itu pula adalah wajar bila ada seseorang setelah masa mereka berbeda pendapat di bawah naungan manhaj yang sama. Selama perbedaan pendapat itu tidak menggerus kesatuan Islam terpecah menjadi dua kubu: taat dan menyimpang. Adapun perbedaan pendapat generasi setelah masa salafus saleh tidak bisa mempengaruhi kesatuan Islam mereka, dan tidak pula menggiring mereka terpecah menjadi dua bagian: salafi dan ahlul bid’ah.
Kalangan salaf sendiri tidak pemah menjadikan makna kata as-salafiah secara khusus sebagai identitas kelompok atau pemikiran tertentu untuk membedakan mereka dari kaum muslimin yang lain. Mereka juga tidak meletakkan sesuatu mengenai akidah, akhlak dan budi pekerti mereka dalam rel jamaah Islam atau seseorang yang memiliki filosofi atau identitas pemikiran tertentu. Akan tetapi, di antara mereka (salaf) dan orang yang kita katakan dengan sebutan khalaf telah terbangun hubungan yang produktif, khususnya dalam pertukaran pemahaman. Selain itu, mereka juga saling mengambil dan memberi di bawah metode yang telah disepakati bersama dan dijadikan sebagai pedoman hukum.
Tidak pernah terbesit di benak kalangan salaf maupun pengikut mereka untuk membangun tembok pemisah di tengah kaum muslimin melalui kelompok tertentu, agar terlihat sebagai golongan eksklusif. Tidak pula membagi generasi Islam menjadi dua bagian dengan varian dan warnanya masing-masing, sesuai pemikiran, pemahaman dan pandangan mereka.
Begitu pula dalam masalah furu’iyyah (cabang agama), kalangan salaf tidaklah berada dalam satu pemahaman yang sama. Mereka pun berbeda pendapat di dalam banyak masalah furu’ hingga bermuara pada hukum yang bersifat amali, maupun masalah akidah yang bersifat cabang. Dan dampaknya masih kita temui sampai masa sekarang dalam perselisihan antar mazhab.
Bercermin dari itu, tidaklah benar bila ada yang mengatakan bahwa hukum masalah furu’iyah yang benar itu adalah pendapat kalangan salaf. Sebab, pendapat seperti itu berimplikasi memunculkan dua asumsi berikutnya:
Pertama, adanya anggapan bahwa kalangan salaf mempunyai mazhab fikih yang sudah disepakati bersama. Ini opini yang salah.
Kedua, pendapat di atas juga bermakna bahwa sesungguhnya mazhab salaf itu bukan seperti yang disampaikan oleh para imam mazhab fikih dari guru mereka yang masih dari kalangan tabi’in. Itu juga jelas keliru. Yang benar adalah, mazhab-mazhab fikih yang dikembangkan oleh para imam mazhab merupakan hasil transfer dari pendapat para salaf, dan mazhab itu juga merupakan wadah untuk mengembangkan pendapat-pendapat ulama fikih yang lain. Seperti halnya bacaan yang mutawatir di dalam Al-Qur’an menjadi cara untuk menyampaikan Kitabullah, begitu pula sanad di dalam hadits merupakan jalan untuk mentransfer atau menyampaikan hadits Nabi. Mazhab-mazhab fikih pun merupakan jalan untuk mentransfer pendapat-pendapat dan aliran-aliran fikih semenjak zaman para sahabat dulu.
Oleh kerena itu, tidaklah bisa dibenarkan apabila ada orang mengatakan: “Ini adalah pendapat salaf”, kecuali bila pendapat itu telah disepakati oleh mereka (salaf) semua. Tapi perlu dicatat bahwa jumlah pendapat yang disepakati oleh semua salaf itu sangat sedikit.
Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’. Penerjemah: Abdul Ghafur..Penyunting: Owen Putra (Jakarta: KHATULISTIWA Press, 2013), h. 5-9.