Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Salah satu sikap yang sangat populer di kalangan sementara kelompok muslim adalah pelarangan “hormat bendera”.
Tidak dapat disangkal bahwa ada ulama-ulama yang menolak penghormatan tersebut atas nama agama. Dalih mereka adalah bahwa penghormatan bendera tidak dikenal pada masa Rasul saw, tidak juga pada masa ke-empat khalifah setelah beliau. Penghormatan itu, lanjut mereka, bertentangan dengan kesempurnaan keyakinan tentang keesaan Allah dan kewajiban mengagungkan-Nya. Apalagi, penghormatan terhadap bendera itu sekaligus meneladani nonmuslim dalam kebiasaan buruk mereka. Peneladanan tersebut dilarang oleh Nabi Muhammad Saw. Begitu antara lain keterangan lembaga fatwa Saudi Arabia yang ditandatangani oleh Mufti Ibnu Baz dan anggota-anggota lembaga itu.
Memang salah satu prinsip dasar dalam keberagamaan sementara ulama adalah bahwa semua yang baik telah dilaksanakan Rasul Saw. sehingga apa yang beliau tidak amalkan maka itu dianggap buruk. Dalam konteks ini sementara anggota penganut kelompok ini antara lain menisbahkan ucapan ulama besar al-Imam Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (w. 157 H) yang berkata:
اصبر نفسك على السنة وقف حيث وقف القوم وقل بما قالوا وكف عما كفوا عنه واسلك سبيل سلفك الصالح فإنه يسعك ما وسعهم ,ولو كان هذا – يعني ما حدث من البدع – خيرا ما خصصتم به دون أسلافكم وهم أصحاب رسول الله صل الله عليه وسلم الذين اختارهم الله لصحبة نبيه ,وبعثه فيهم ووصفهم به فقال: محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا
Tabahlah dalam melaksanakan sunnah, berhentilah di mana para pendahulu itu berhenti, ucapkanlah (anutlah) apa yang mereka ucapkan (anut), dan hindari apa yang mereka hindari. Telusurilah jalan para pendahulumu yang saleh karena itu mencukupimu sebagaimana telah mencukupi mereka. Seandainya apa—yakni hal-hal baru—yang terjadi pada masa kamu itu baik, maka tidak mungkin kalian dianugerahi secara khusus sedang mereka tidak dianugerahi. Mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang telah terpilih untuk menemani Nabi-Nya dan beliau pun diutus (pada masa) mereka serta yang Allah lukiskan sifat-Nya dengan firman-Nya. Katakanlah: “Muhammad adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersama dengannya adalah orang yang tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang antarmereka. Engkau melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.” (QS. al-Fath [48]: 29) (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya al-Hilyah).[22]
Benar, kata mereka, Nabi saw. pun menggunakan bendera dalam berbagai warna, hitam, putih, dan kuning tetapi itu bukan bendera negara. Itu hanya tanda yang digunakan untuk membedakan satu kelompok dengan kelompok yang lain seperti dalam pertempuran.
Pandangan di atas lahir dari pemahaman agama yang sangat tekstual, serta anggapan bahwa penghormatan sama dengan pengagungan kepada Tuhan. Tetapi apakah memang demikian? Para pakar agama menegaskan bahwa hukum sesuatu berkaitan dengan sebab yang membarenginya, sehingga sebabnya sudah tak ada maka hukumnya pun berubah. Sebagai contoh, ketika Nabi saw. melarang membuat gambar/melukis/membuat patung, larangan tersebut disebabkan karena hasil karya mereka disembah dan diagungkan atas asumsi bahwa itu adalah Tuhan atau melambangkan Tuhan.
Tetapi jika unsur pengagungan demikian, tidak dilakukan maka apa salahnya? Nah demikian juga dengan bendera.
Bukankah Islam sangat kaya dengan simbol-simbol? Bukankah kita juga mengagungkan Hajar Aswad? Bukankah sekian banyak rukun dan wajib haji merupakan simbol-simbol yang penuh makna? Bukankah meletakkan Al-Quran di atas kepala ketika bersumpah dipraktikkan oleh ulama dan itu tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. bahkan bendera pun dikenal pada masa Nabi saw. Dalam Perang Khaibar, Rasul saw. bersabda, “Besok saya akan memberi bendera/panji kepada seseorang yang mencintai Allah dan dicintai Allah.” Semua yang mendengar sabda Nabi itu mengharap kiranya dialah yang dipilih Nabi saw, tetapi ternyata yang beliau pilih adalah Ali bin Thalib r.a. (HR. Bukhari dan Muslim). Karena panji dan pemberian panji itu mengisyaratkan makna yang dalam dan luhur sekaligus membanggakan.
Di waktu lain, ditemukan betapa para sahabat Nabi Saw. sangat menghormati dan mengagungkan bendera Sayyidina Ja’far bin Abi Thalib r.a, salah seorang tokoh pada masa Nabi saw. sekaligus teladan dalam konteks penghormatan bendera. Beliau ditugaskan Nabi saw. menggantikan komandan pasukan Zaid bin Harisah bila beliau gugur dalam Perang Mu’tah. Begitu Sayyidina Ja’far r.a. melihat Zaid r.a. jatuh tersungkur, beliau bergegas melompat dan mengambil bendera. Bukan saja karena makna yang dikandung oleh sebuah bendera tetapi juga jatuhnya bendera dalam peperangan menjadi tanda kekalahan. Karena itulah Sayyidina Ja’far bersegera mengambil dan terus mengibarkannya lalu menyusup ke barisan musuh. Beliau menyerang ke kiri dan ke kanan sambil mempertahankan bendera dan ketika putus tangan kanan beliau bendera dipegangnya dengan tangan kiri, kemudian terputus pula tangan kirinya sehingga beliau gugur sebagai syahid sambil mempertahankan bendera.
Tentu saja bukan sekadar kain berwarna yang beliau pertahankan tetapi makna kain yang dijadikan bendera itu. Kesyahidan dan kepahlawan Sayyidina Ja’far r.a. menjadikan Allah, menurut Rasul saw., menganugerahi beliau sayap di surga sehingga beliau dikenal sebagai Ja’far at-Thayyar (penerbang). Demikian bendera ketika itu merupakan simbol yang melambangkan nilai-nilai agama dan pembelaan terhadapnya.
Anda jangan berkata bahwa: “ltu pembelaan agama bukan negara.” Jangan berkata demikian, karena seperti yang telah Anda baca di atas, Allah menyejajarkan antara agama dan negara atau tumpah darah antara lain dalam firman-Nya pada QS. al-Mumtahanah (60): 8. Karena itu, tidak wajar melarang penghormatan kepada bendera selama ia tidak diagungkan layaknya pengagungan kepada Tuhan.
Universitas-universitas di Mesir termasuk Al-Azhar terbiasa melakukan upacara penghormatan bendera antara lain pada tahun ajaran baru. Penghormatan kepada bendera dilakukan dalam rangka memantapkan cinta tanah air dan kesediaan berkorban untuk bangsa dan negara yang pada dasarnya dibenarkan bahkan dianjurkan oleh Islam. Karena itu, dalam fatwa yang dikeluarkan lembaga fatwa Mesir, dinyatakan bahwa penghormatan bendera merupakan salah satu cara yang sangat populer dan berkesan untuk menampakkan cinta dan penghormatan kepada tanah air. Dan karena cinta dan penghormatan itu merupakan kewajiban, maka cara untuk meraihnya semestinya dianjurkan oleh agama. Sesuatu yang mesti adanya tetapi tidak dapat diraih kecuali dengan cara-cara tertentu, maka cara-cara itu pun menjadi harus diwujudkan. Kita juga dapat berkata bahwa kalaupun itu tidak dinilai sebagai anjuran, maka paling sedikit ia bersifat mubah dalam arti dibolehkan atau tidak dilarang oleh agama.
[22] Kita dapat berkata bahwa pandangan yang dikemukakan di atas masih dapat ditertma oleh generasi ulama ini. karena masa antara mereka dengan masa Nabi saw. masih demikian dekat, yakni baru satu generasi setelah sahabat Nabi. Namun, apakah buat kita yang hidup seribu tahun lebih setelah masa itu, dengan aneka perubahannya, masih juga harus mempertahankannya? Bukankah Nabi Muhammad bersabda, “Allah akan membangkitkan dalam setiap seratus tahun tokoh yang memperbaharui rincian ajaran agama” (HR. Abu Daud)
Sumber: M. Quraish Shihab, Islam dan Kebangsaan: Tauhid, Kemanusiaan, dan Kewarganegaraan. Cet.I. Tangerang: Lentera Hati. 2020. hal. 111-118.