Oleh: Dr. H. Wajidi Sayadi, M.Ag. (Profil)
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Barat/Dosen Tafsir Hadis IAIN Pontianak
Masalah ini adalah masalah klasik, dari dulu, zaman para imam Mujtahid bahkan sebelumnya sudah terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah dikeluarkan adalah berupa bahan mentah dari makanan pokok.
Sementara ulama lainnya, membolehkan membayar dengan uang yang senilai dengan makanan pokok tersebut.
Masalah ini sudah dibahas oleh para ulama klasik hingga ulama kontemporer. Antara lain yang membahas secara khusus tentang zakat adalah Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakah, Abu Muhammad al-Hajj Ahmad Zaini dalam kitabnya al-Aqwal al-Muyassarah min Ikhraj al-Qimah ‘an Zakah al-Fitrah, dan Dr. Muhammad Nawawi Yahya dalam kitabnya az-Zakah wa an-Nuzhum al-Ijtima’iyyah al-Mu’ashirah. Beliau putera Polewali Mandar yang tinggal di Kairo Mesir lebih 30 tahun, wafat di kampung halaman Manjopai Tinambung, kamis 9 Pebruari 1984 (dalam usia 55 tahun). Beliau Doktor Zakat pertama dari Asia tenggara tahun 1980 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Sezaman dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang lahir tahun 1926, sedangkan Muhammad Nawawi lahir tahun 1929. Keduanya sama-sama Doktor Zakat di Al-Azhar.
Setelah mengemukakan dalil al-Qur’an dan Hadis, pendapat para ulama, dibahas dengan analisis kaedah Ushul Fiqh dan Maqashid asy-Syariah. Mereka berkesimpulan bahwa membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai adalah dibolehkan.
Dalam buku saya “Mereka Bertanya 111 Masalah” juga ada pertanyaan seputar zakat fitrah dengan uang. Jawaban terhadap masalah ini banyak mengacu pada kitab-kitab tersebut di atas.
Para ulama yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah harus berupa bahan mentah dari makanan pokok, seperti pendapat madzhab Syafi’I, Malik, dan Ahmad berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ (رواه البخاري)
“Rasulullah SAW. mewajibkan umat Islam mengeluarkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma dan gandum bagi umat Islam dari kalangan budak, merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang lanjut usia. Beliau memerintahkan menunaikannya sebelum berangkat pergi shalat ‘Id. (HR. Bukhari).
Mengapa para ulama lainnya berpendapat boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang yang senilai?
Para Ulama memahami hadis tersebut tentang zakat fitrah adalah bersifat ITH’AM (memberi makan) berupa kurma atau gandum.
Sedangkan para ulama lainnya memahami hadis tentang zakat fitrah adalah IGHNA (memberi kecukupan), yakni membuat fakir miskin itu merasa cukup kebutuhannya terpenuhi pada hari raya idul fitri.
Hal ini didasarkan pada hadis yang juga bersumber dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW. memerintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan mendistribusikan, membagi-bagikan kepada fakir miskin, lalu Beliau bersabda:
أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
Buatlah mereka cukup sehingga tidak pergi keliling meminta-minta pada hari ini, yakni hari raya idul fitri. (HR. Baihaqi, Daruquthni, dan Ibnu Sa’ad).
Para fakir miskin bisa dibuat merasa cukup terpenuhi kebutuhannay dengan cara diberi berupa bahan mentah dari makanan pokok dan bisa juga dengan cara diberi berupa uang yang senilai.
Para ulama dalam memahami hadis menggunakan kaedah yang membedakan antara sarana dan tujuan, bahkan ada yang lebih memperhatikan tujuan penetapan hukumnya atau maqashid-nya.
Di antara kaedahnya ialah:
التمييز بين الوسيلة المتغيرة والهدف الثابت للحديث
Membedakan antara sarana yang bisa berubah-ubah dan tujuan yang sifatnya tetap.
Dalam kaedah lainnya disebutkan:
مراعة المقاصد مقدم على رعاية الوسائل
Memastikan tercapainya tujuan didahulukan atas tercapainya sarana.
Misalnya, Siwak atau sikat gigi. Apa sarana dan tujuannya?
Siwak adalah sarana sehingga bisa berubah-ubah sesuai perubahan perkembangan zaman.
Sedangkan Tujuan siwak bersifat tetap, tidak berubah, yaitu untuk membersihkan gigi-mulut dan meraih ridha Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Siwak atau sikat gigi untuk membersihkan mulut-gigi meraih ridha Allah. (HR. Nasai dari Aisyah).
Pada zaman Nabi SAW. Beliau bersiwak dengan ranting kayu arak atau kayu arjun, lalu dalam perkembangannya ada alat sarana lainnya yang juga bisa membersihkan mulut dan gigi, maka boleh menggunakannya, seperti sikat gigi pepsodent, oral B dan lainnya.
Bersiwak atau sikat gigi tetap mengikuti ketetapan sunnah Nabi SAW. yaitu membersihkan mulut dan gigi serta meraih ridha Allah, walau pun sarana atau alat yang digunakan berbeda dengan yang digunakan oleh Nabi SAW.
Bagi mereka yang bersiwak menggunakan ranting kayu yang biasa dibawa pulang dari Mekah adalah sunnah.
Bagi mereka yang bersiwak dengan sikat gigi yang ada saat ini, seperti merk pepsodent, oral B yang menggunakan pasta, juga sunnah, sesuai tujuannya.
Kembali pada persoalan zakat fitrah, antara teks dan tujuan.
Para ulama yang memahami hadis dan perintah mengeluarkan zakat fitrah dengan melihat pada aspek tujuan atau maqashid-nya, yakni IGHNA, membuat cukup kebutuhan mereka terpenuhi. Memberi mereka berupa uang yang senilai akan bisa menutupi berbagai kebutuhan mereka. Atas dasar pertimbangan ini, maka membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai hukumnya boleh dan sah.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Rasulullah SAW. pernah ditanya:
اي الاعمال افضل قال ادخالك السرور على مؤمن اشبعت جوعته او كسوت عورته او قضيت له حاجته
Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “yaitu memasukkan kegembiraan di hati orang-orang yang beriman dengan memberi makan, membuat mereka kenyang, atau memberi pakaian untuk menutupi auratnya, atau memenuhi hajat kebutuhannya. (HR. Thabarani).
Pada zaman Nabi SAW. makanan dan pakaian adalah di antara sarana yang paling bagus dan dibutuhkan untuk menggembirakan hati orang-orang miskin.
Imam Bukhari meriwayatkan bersumber dari Mu’ad bin Jabal, Ketika diutus Rasulullah SAW. ke Yaman, Beliau berkata kepada penduduk Yaman:
ائْتُونِي بِعَرْضٍ ثِيَابٍ خَمِيصٍ أَوْ لَبِيسٍ فِي الصَّدَقَةِ مَكَانَ الشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ
Bawalah kemari barang-barang berupa khamish (nama pakaian) atau jenis pakaian lainnya sebagai zakat pengganti gandum dan jagung, karena itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik atau lebih bermanfaat bagi masyarakat Madinah. (HR. Bukhari).
Dalam Riwayat lainnya
Kebijakan Nabi SAW. untuk mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pada waktu itu, tidak terlepas dari situasi dan kondisinya bahwa makanan berupa kurma dan gandum adalah bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu, mudah dan memudahkan bagi para muzakki, pemberi zakat, terutama masyarakat pertanian, dan dibutuhkan bagi mustahik, penerima. Baik pemberi maupun penerima zakat, sama-sama mudah dan memudahkan.
Dalam perkembangannya kebutuhan sudah sangat berubah sesuai perubahan perkembangan zaman. Orang-orang miskin, tidak hanya memerlukan makanan berupa kurma, gandum atau beras, tapi mereka juga perlu lauk pauk, ikan, sayur, minum kopi, susu, teh, sirup, perlu beli baju, celana, sarung, kopiah, sandal, sepatu, termasuk perlu beli pulsa, kuota. Semuanya bisa terpenuhi dengan uang.
Oleh karena itu, Annangguru Dr. Muhammad Nawawi Yahya al-Mandary, dalam kitabnya az-Zakah wa an-Nuzhum al-Ijtima’iyyah al-Mu’ashirah Jilid VI h. 3045-3050. Setelah mengemukakan 7 (tujuh) alasan ulama yang membolehkan zakat fitrah dengan uang dan 5 (lima) alasan ulama yang melarang membayar zakat fitrah dengan uang, Beliau berkesimpulan:
المختار: والذي نختاره هو ما رآه أبو حنيفة ومن وافقه القائلون بجواز اخراج القيمة في الفطرة لأن ذلك هو الأسهل بالنسبة إلى وقتنا الحاضر ولا سيما في المناطق الصناعية التي لا يتعامل فيها الإنسان الا بالنقود كما أنه في غالب الاحيان وفي معظم البلاد هو الأنفع للمساكين.
Pendapat terpilih yang kami jadikan pegangan adalah sebagaimana pendapat imam Abu Hanifah dan yang sependapat dengan Beliau yang mereka membolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang yang senilai, sebab dengan berupa uang lebih mudah dan memudahkan relevan dengan kondisi saat ini. Terlebih lagi di daerah-daerah industri, masyarakatnya tidak lagi bermuamalah kecuali dengan menggunakan uang. Sebagaimana umumnya di negara-negara besar. Itulah yang sangat bermanfaat bagi orang-orang miskin. (Muhammad Nawawi Yahya, Jilid VI. h. 3050).
Dengan demikian, pemahaman dan penerapan zakat fitrah antara teks dan tujuan, dua-duanya boleh dan sah.
Mengeluarkan zakat fitrah berupa bahan mentah dari makanan pokok, seperti beras yang dianggap sebagai hasil ijtihad pengganti kurma dan gandum terutama bagi masyarakat yang persediaan makanannya juga banyak dan orang-orang miskin juga sangat membutuhkannya, maka itulah yang lebih baik.
Bagi mereka yang persediaannya lebih banyak uang dan memudahkan, mereka mengeluarkan zakat fitrah berupa uang yang senilai dari makanan pokok tersebut, dan dianggap lebih bisa memenuhi berbagai banyak kebutuhan orang-orang miskin, maka itu juga boleh dan lebih baik.
Bagi mereka yang mampu, tapi tidak mau membayar zakat apa-apa, maka itulah yang tidak baik bahkan berdosa.
Bagian terakhir berikut ini dikemukakan bahwa para ulama yang berpendapat bahwa boleh dan sah mengeluarkan zakat fitrah dengan uang yang senilai, bukan hanya imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, yakni Abu Yusuf dan Muhammad saja, tapi banyak ulama lainnya, sebagaimana disebutkan Syekh Yusuf al-Qaradhawi dan Abu Muhammad Ahmad Zaini, antara lain yaitu iimam Sufyan ats-Tsauri, Hasan al-Basri, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Abu Ishak, ‘Atha’, Ibnu Mundzir, Muhammad bin Wahb, Ibnu Abi Syaibah, al-Auza’i, Ibnu Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar, Ahmad ash-Shawi, al-Qurthubiy, imam Ramliy al-Kabir asy-Syafi’i, imam al-Bukhari, Abdul Wahhab asy-Sya’rani, Ibnu Taimiyah jika ada hajat, Sayyid al-Hafizh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari, as-Sayyid Ali bin Hasan al-Kattaniy, as-Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Yusuf al-Qaradhawiy, Syekh Ali Jum’ah (mantan Mufti Agung Mesir), Syekh Mustafa az-Zarqa, Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthiy, Fatwa Dewan Mahkamah Tinggi Syariah Republik Bahrain yang diketuai beberapa Syekh yaitu Syekh Yusuf Ahmad ash-Shiddiqi (madzhab Syafi’i), Syekh Muhammad Abdul Lathif Alu Sa’ad (madzhab maliki), Syekh Abdullah Nashir al-Fudhalah (madzhab Syafi’i), Syekh Umar Abdul Wahhab al-Qadhi (madzhab Maliki), Fatwa Darul Ifta’ al-Mishriyah Republik Mesir yang diketuai oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam, Fatwa Darul Ifta’ Yordania yang diketuai oleh Syekh Nuh Ali Salman Qudhah, Fatwa Mufti Shuriah Syekh Abdul Fattah al-Bazm, Kepeutusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Maroko, Kepeutusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama UUni Emirat Arab. Di antara para sahabat yang memperbolehkan juga adalah Mu’adz bin Jabal dan Thawus.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.
Pontianak, 26 Ramadhan 1442 H/8 Mei 2021 M.
Sumber: https://www.facebook.com/wajidi.sayadi/posts/10216290775222058