Oleh: Dr. (HC) KH. Husein Muhammad
(Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)
Apakah tugas dan kewajiban ulama perempuan/perempuan ?. Demikian pertanyaan para santri dalam sebuah seminar di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.
Aku menawarkan jawaban begini :
Para ulama, perempuan bersama ulama laki-laki mengembangkan pemahaman atas sumber-sumber Islam atau teks-teks keagamaan itu melalui pendekatan yang lebih terbuka (inklusif), kritis, rasional, substantif dan kontekstual. Para ulama perempuan bersama ulama laki-laki, bekerja keras (berijtihad) untuk menghasilkan sumber-sumber pengetahuan keislaman dan fatwa-fatwa yang berkeadilan dan non diskriminatif.
Sudah saatnya para ulama perempuan bersama ulama laki-laki bergerak melangkah melakukan rekonstruksi dari pendekatan model tafsir ke model takwil (hermeneutik), dari konservatisme ke progresifisme, dan dari seputar memaknai teks (fahm al-Khitab) secara harfiah ke menemukan cita-cita teks (fahm al-Murad min al-Khitab/cita-cita hukum Tuhan) atau dalam konteks hari ini populer disebut “Maqashid al-Syari’ah”. Cita-cita itu adalah tegaknya keadilan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Ini adalah tugas bersama ulama, intelektual, cendikia dan para sarjana, laki-laki dan perempuan.
Ulama perempuan diharapkan terlibat aktif dalam penyebaran nalar Islam Wasathi. Sebuah cara pandang moderat, toleran, menghargai keragaman dan anti kekerasan dalam segala bentuknya.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, bahkan bagian besar, ulama perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Dan terlibat aktif dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara.
29.01 2021
Husein Muhammad
Sumber: https://www.facebook.com/husayn.muhammad/posts/10224503121021314