Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Ketetapan hukum ini bukan saja ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah melalui diskusi ulama-ulama yang kompeten tetapi juga oleh ulama-ulama di seluruh negeri Islam. Ketetapan ini antara lain berdasar kaidah umum yang dinamai maqåshid asy-syari’ah yang mengandung penjelasan tentang maksud kehadiran agama. Di sana ditetapkan lima ketentuan pokok yang menyatakan agama hadir untuk memelihara: 1) agama, 2) jiwa, 3) akal, 4) harta, dan 5) keturunan.
Semua yang mendukung tujuan tersebut diperintahkan dan didukung oleh agama dalam berbagai tingkat dukungan dan semua yang mengakibatkan terabaikannya salah satu dari tujuan tersebut terlarang oleh agama dalam berbagai tingkat larangan. Nah, karena para ahli telah menyatakan bahwa Berkumpulnya sejumlah orang di satu tempat dan dalam keadaan berdekatan dapat mengakibatkan penularan Covid- 19 yang dapat menyebabkan kematian, maka semua penghimpunan yang mengarah kepada dugaan kematian harus dilarang atas agama.
Demikian juga dengan shalat yang menghimpun banyak orang. Pada masa Nabi saw. dan sahabat beliau ketika terjadi hujan lebat yang menyebabkan jalan becek menuju ke masjid atau saat cuaca dingin yang menggigit, muazin diperintahkan mengganti redaksi ajakan ke masjid (hayya ala ash-shalat) dengan perintah yang berbunyi (shallü fi buyütikum) yang artinya “shalatlah di rumah masing-masing”.
Kalau menuju ke masjid akibat hujan lebat atau jalan becek saja telah dapat menjadi alasan untuk tidak ke masjid, maka lebih-lebih jika alasannya demi menjaga kesehatan atau memelihara kelangsungan hidup. Bahkan orang yang “beraroma” dan mengganggu pun dilarang oleh Rasul saw. untuk bergabung ke masjid apalagi yang berpotensi menularkan. Beliau bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا – أَوْ قَالَ: فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا – وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ
Siapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia menghindari kami. Riwayat Iain menyatakan: Hendaklah dia menghindari masjid kami dan duduk di rumahnya dan tidak mendekati masjid (HR. Bukhari dan Muslim).
Kini ada yang bertanya tentang seseorang yang tidak diperkenankan mendekati masjid. Apakah benar yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali berturut-turut telah ditutup hatinya? Jawabannya adalah ancaman ditutup hatinya adalah yang meninggalkannya tanpa uzur, sedang yang beruzur diperbolehkan sepanjang uzur masih melekat pada dirinya. Demikian. Wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab. Corona Ujian Tuhan: Sikap Manusia Menghadapinya. Editor, Mutimmatun Nadhifah. Tangerang : PT. Lentera Hati, 2020. H. 90-94.