Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Sekian banyak penjelasan agama yang beredar dengan menggunakan ayat atau hadis yang diuraikan bertentangan dengan maksud ayat dan hadis yang dikemukakan itu. Sebagai contoh menjadikan QS. Al Ahzab [33]:33 yang terdapat dalam susunan kalimatnya kata (waqarna) yang kandungannya dipahami sebagai memerintahkan untuk tetap di rumah. Ayat ini dijadikan penguat bagi sementara orang untuk mendukung anjuran/perintah berada di rumah saja dalam menghadapi Covid-19 sekaligus untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah ada tuntunannya dalam Al-Quran.
Penjelasan di atas sungguh jauh dari kebenaran, karena kata (waqarna) yang digunakan ayat tersebut sedikit pun tidak ada kaitannya dengan penyakit apa pun. Asalnya, kata itu terambil dari kata (waqra) yang berarti menetap, yang dihubungkan dengan huruf (nun) yang merupakan huruf yang antara lain digunakan menunjuk perempuan sehingga kata waqarna merupakan perintah kepada para perempuan untuk berada di rumah.
Kata tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan virus corona, tidak juga dengan perintah tinggal di rumah untuk menghindarinya. Memang dalam ilmu Tafsir ada yang dikenal dengan istilah tafsir isyåriy, yang terutama dikenal pengamal tasawuf. Penafsiran ini dikenal sebagai kesan yang ditarik/diperoleh mereka yang membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Quran, kendati makna yang ditarik atau diperoleh itu tidak secara langsung dan tegas dikandung oleh ayat.
Memang “kesan” dapat berbeda antara seorang dengan yang lain, tetapi para ulama menggarisbawahi sekian syarat yang harus terpenuhi guna diterimanya kesan itu. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia sesuai/tidak adalah bertentangan dengan kaidah-kaidah keagamaan dan kebahasaan. Nah, penafsiran yang beredar itu, jelas sekali bertentangan bagi pelajar pemula bahasa Arab sekalipun. Menjadikan ayat itu sebagai bukti cakupan Al-Quran menyangkut segala tuntunan pun merupakan hal yang sangat berlebihan.
Ada juga sementara penganjur agama yang menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk menegaskan bahwa aktivitas sehari-hari sebagaimana biasa hendaknya tetap dilaksanakan dan tidak perlu membatasi diri berada di rumah. Mereka berdalih dengan ayat yang menyatakan: Katakan/sampaikanlah:
“Sekali-kali tidak ada yang menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dia Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang mukmin harus bertawakal (QS. at-Taubah [9]: 51).
Mereka tidak sadar bahwa ayat ini adalah perintah Allah untuk disampaikan kepada kaum musyrik yang berbahagia atas musibah yang telah menimpa kaum muslimin. Ini perintah untuk menyampaikan hal tersebut sebagaimana terbaca pada kata qul yang bermakna “katakanlah/sampaikanlah” pada awal ayat. Ini disampaikan untuk menampik kesenangan mereka sekaligus untuk menyatakan bahwa apa pun yang menimpa pastilah berdasar ketetapan Allah dan mesti diterima dengan legawa. Namun penerimaan dengan legawa itu bukan berarti mengabaikan upaya yang dapat dilakukan.
Ucapan itu disampaikan setelah upaya menampik yang tidak diinginkan bukannya sebelum adanya upaya. Akhir ayat ini pun mengisyaratkan makna di atas dengan adanya perintah bertawakal dan seperti diamati dari Al-Quran bahkan hadis-hadis Nabi saw., bertawakal harus didahului oleh upaya sungguh-sungguh bukannya berpangku tangan menerima ketetapan Allah Swt. ltu terbukti antara lain dengan sikap dan pengamalan Nabi saw. dan para sahabat beliau yang selalu mendahulukan upaya bahkan berjuang sampai terluka atau bahkan gugur.
Nanti setelah mereka berusaha, baru mereka mengucapkan kalimat di atas. Makna ini dapat dipahami juga dengan membaca ayat-ayat sebelumnya. Bukankah ayat memerintahkan pengucapan kalimat tersebut didahului oleh penyampaian Allah tentang sikap kaum musyrik bahwa:
Jika suatu kebaikan menimpamu (wahai Nabi Muhammad saw.), mereka tidak senang; dan jika suatu bencana menimpamu, mereka berkata:
“Sungguh kami sebelumnya telah mengambil ancang-ancang (untuk menjauhkan diri kami dari bahaya)” (QS. at-Taubah [9]: 50).
Sekali lagi demikian terbaca bahwa apa pun yang telah terjadi. Terjadi atas izin Allah dan telah diketahui-Nya sebelum terjadinya, tetapi itu bukan berarti berpangku tangan tanpa berusaha menghindar dari aneka bahaya.
Dalam bidang hadis-hadis pun kita temukan sementara penceramah/penulis tidak jarang mengemukakan hadis-hadis yang kendati sahih, tetapi penafsirannya bertentangan dengan konteksnya. Sebagai contoh hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dua pakar hadis yang diakui otoritas dan ketelitiannya, hadis itu berbunyi:
سَتَكُونُ فِتَنٌ القَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ القَائِمِ، وَالقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ المَاشِي، وَالمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ، وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ
Akan terjadi fitnah (bencana/ujian dan kekacauan) yang duduk diam lebih baik daripada yang berdiri. Yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berusaha. Siapa yang tampil terlibat di sana, dia akan binasakan dan siapa yang menemukan tempat berlindung maka hendaklah dia berlindung ke sana.
Hadis di atas tidak ada kaitannya sedikitpun dengan Covid-19!! Kata “fitnah” yang merupakan bencana atau ujian atau kekacauan, itu adalah perselisihan pendapat antara kaum muslimin yang mengakibatkan mereka bermusuhan dan perang menyangkut urusan keduniaan dan tidak jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketika itu, hadis ini menganjurkan agar jangan terlibat memihak kepada salah satu pihak selama apa yang dihadapi tidak jelas. Ketika itu yang duduk manis dan tidak terlibat lebih baik daripada yang berdiri, yakni yang terlibat sedikit.
Lalu yang terlibat sedikit lebih baik daripada yang berjalan, yakni yang menyebarkan fitnah—bisa jadi dengan ucapannya—tapi ini lebih baik dari- pada “yang berusaha”, yakni penyebab utama lahirnya fitnah dan terus berusaha mengobarkan api permusuhan.
Anda baca, hadis di atas menjadikan yang berusaha terlibat dalam fitnah dalam bentuk apa pun yang terlarang. Nah, apakah para dokter yang bukan saja berbicara sekaligus berdiri dan duduk bahkan berpindah dari satu pasien ke pasien lain untuk memberi tuntunan merupakan orang-orang yang sangat besar dosanya seperti maksud hadis di atas ataukah hadis di atas bukan dalam konteks bencana corona?
Sungguh mereka yang memahami hadis di atas dalam konteks bencana yang sedang dihadapi hanya melihat pada anjuran duduk yang diartikannya duduk di rumah tanpa memahami konteks dan maksudnya lalu terdiam seribu bahasa ketika berhadapan dengan yang dimaksud dengan “berdiri” dan “berusaha”. Mereka diam dalam menjelaskannya karena itu bertentangan dengan maksud mereka. Sungguh sangat buruk penafsiran mereka.
Memang dalam konteks penafsiran Al-Quran dan sunnah, salah satu yang banyak ditemukan dan yang semestinya dihindari adalah menampilkan hadis-hadis yang belum tentu kesahihannya lalu memberinya penafsiran yang menakutkan seperti besarnya siksa dan sebagainya, yang kesemuanya bertentangan dengan pesan Rasul saw. untuk
“Menyampaikan yang menggembirakan bukan yang menakutkan, yang mempermudah bukan yang memberatkan, yang mendekatkan kepada Allah bukan yang menjauhkan.”
Tentu saja pesan di atas semakin perlu diperhatikan dalam suasana bencana yang sedang dihadapi demi menanamkan rasa aman yang pada gilirannya menguatkan ketahanan diri menghadapi Covid- 19. Demikian. Wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab. Corona Ujian Tuhan: Sikap Manusia Menghadapinya. Editor, Mutimmatun Nadhifah. Tangerang : PT. Lentera Hati, 2020. H. 74-86.