Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Sementara orang bahkan yang dikenal atau memperkenalkan diri sebagai ustaz menolak anjuran bahkan perintah yang dikukuhkan oleh para ahli, dokter, dan ulama agar menjaga jarak dalam pergaulan dan untuk itu lahir imbauan agar tidak ke masjid untuk melaksanakan shalat Jumat dan jama’ah. Mereka menilai yang memenuhi larangan itu adalah orang yang lebih takut kepada virus dari pada kepada Tuhan. Beberapa hal perlu dikemukakan untuk mendudukkan persoalan ini:
1. Tidak selalu takut kepada Tuhan harus dipertentangkan dengan takut kepada makhluk. Sangat populer doa yang berbunyi:
“Ya Allah kami takut kepada-Mu dan takut juga kepada yang takut dan tidak takut kepada-Mu, maka demi kedudukan yang takut kepada-Mu, selamatkanlah kami dari siapa yang tidak takut kepada-Mu.
2. Ketika Rasul saw. bersama kaum muslimin sedang dalam situasi perang, mereka takut diserang musuh saat mereka sedang shalat, maka turun ayat yang mengajarkan tata cara shalat berjamaah yang berbeda dengan tata cara yang selama ini dilakukan, yakni shalat yang dinamai shalåt al-khawf (bacaQS. an-Nisa'[4]: 102). Tuntunan ini dilakukan Nabi saw. berkali-kali dalam situasi dan tempat berbeda-beda. Betapa pun syariat ini mempertemukan dua “takut”, takut kepada Allah dan takut kepada musuh.
3. Agama memperkenalkan istilah dharürat dan hajat yang intinya membenarkan melakukan hal-hal walau dalam keadaan normal ia diharamkan agama. Itu dibenarkan kalau diduga keras (takut) akan adanya ancaman terhadap jiwa bahkan kehormatan seseorang.
4. QS. al-Baqarah (2): 195 melarang menjerumuskan diri dalam bahaya, bahkan mewajibkan menghindarinya jika terpaksa walau dengan melakukan pelanggaran tuntunan agama misalnya dengan berbohong atau bahkan mengucapkan kalimat kufur selama keyakinan dalam hati tidak ternodai. Dari sini QS. Ali ‘Imran (3): 28 membenarkan apa yang dinamai taqiyah, yang merupakan upaya yang bertujuan memelihara jiwa atau kehormatan dari kejahatan musuh. Perintah taqiyah itu harus dipatuhi walau musuh memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan agama?
Syekh Mutawalliy Asy-Sya’rawi, ulama besar Mesir dalam tafsirnya mengulas, “Anggaplah setiap muslim diwajibkan mengorbankan jiwanya demi menolak ancaman terhadap dirinya atau agamanya. Jika ini terjadi, maka kepada siapa lagi panji agama diserahkan? Siapa lagi yang akan memperjuangkan ajaran agama jika semua telah gugur akibat keengganan bersiasat?”
Karena itu, Allah membenarkan penolakan ancaman itu, bahkan membenarkan pengorbanan jiwa bila diperlukan, tetapi pada saat yang sama Allah juga membenarkan taqiyah demi masa depan akidah. Itu agar ajaran agama dapat disampaikan dan diterima oleh generasi berikut atau masyarakat yang lain ketika yang melakukan taqiyah itu memperoleh peluang untuk menyampaikannya.
5. Memang harus diakui bahwa Islam memerintahkan berserah diri (tawakal) kepada Allah, tetapi kalau kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran kita menemukan perintah bertawakal/menjadikan Allah sebagai wakil selalu didahului oleh perintah berusaha (baca antara Iain QS. al-Maidah [5]: 23, al-Anfal 61, Hud [11]: 123).
Hadis Nabi saw. yang sangat populer menjelaskan dengan gamblang makna ini ketika beliau ditemui oleh seorang tanpa menambat untanya dengan dalih bertawakal. Beliau bersabda kepadanya: (tambatlah terlebih dahulu baru bertawakal) (HR. at-Tirmidziy).
Demikian. Wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab. Corona Ujian Tuhan: Sikap Manusia Menghadapinya. Editor, Mutimmatun Nadhifah. Tangerang : PT. Lentera Hati, 2020. H. 68-74.