Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor Antropologi Agama King Fahd University-Arab Saudi/Direktur Nusantara Institute/Senior Scholar Middle East Institute
Ada banyak paradoks atau perbedaan mencolok antara apa yang umat agama, khususnya umat Islam (tentu tidak semuanya), pahami, imajinasikan, dan praktekkan di Indonesia dengan apa yang terjadi di Timur Tengah.
Pertama, dalam hal busana. Umat Islam di Indonesia menganggap jenis-jenis pakaian seperti jilbab, hijab, atau bahkan cadar (niqab, burqa dan lainnya) sebagai “identitas dan properti Islam & Muslim”. Karenanya, kalau ada umat Kristen dan lainnya memakai hijab dan jilbab misalnya dianggap “melecehkan Islam”. Padahal di Timur Tengah, aneka busana ini dipakai (bagi yang mau tentunya) oleh umat agama (dan non-agama) manapun, termasuk umat Kristen, Yahudi, Yazidi, Druze, dlsb.
Begitu pula dengan jubah. Di Indonesia, dianggap sebagai “busana Muslim” dan “busana Nabi Muhammad”. Di Timur Tengah, jubah dipakai oleh siapa saja dan umat agama mana saja (bagi yang mau memakai tentunya). Bagi yang Muslim, mereka juga tidak menganggap “jubah kontemporer” sebagai “pakaian Nabi Muhammad” 15-an abad silam. Coba kira-kira busana seperti apa yang dipakai masyarakat di Timur Tengah – Arab dan lainnya – di Timur Tengah ratusan atau ribuan tahun lalu?
Kedua, dalam hal bahasa Arab. (Sebagian) umat Islam di Indonesia lucunya menganggap bahasa Arab sebagai “bahasa sakral Islam dan Islami”. Karena itu kalau ada yang memakai bahasa Arab di sembarang tempat dan suasana dianggap “melecehkan Islam”. Begitu pula, kalau ada umat non-Muslim yang mengucapkan kalimat-kalimat “subhanallah, alhamdulillah, masya Allah, barakallah fi umrik” dlsb dianggap “melecehkan Islam”.
Padahal di Timur Tengah, bahasa Arab adalah bahasa komunikasi masyarakat, etnis, suku, dan pemeluk agama mana saja, termasuk masyarakat Arab non-Muslim. Karena itu jangan heran kalau khotbah-khotbah di gereja oleh umat Kristen Maronite di Libanon, Koptik di Mesir, Katolik di Palestina, atau Kristen Protestan di Bahrain dan lainnya juga menggunakan bahasa Arab. Kitab Agama masyarakat Arab Kristen juga berbahasa Arab (lah masak pakai bahasa Batak?).
Bagi masyarakat Arab (dan non-Arab) non-Muslim juga biasa mengucapkan lafal alhamdulilah, subhanallah, salamualaikam salamualaikum dan seterusnya karena itu bahasa mereka. Masak orang Arab di Timur Tengah ngomongnya: “sugeng enjing simbok biyunge lan ramane inyong piye kabare rika ngana denok deblong…”
Ketiga, dalam hal sosial-kepolitikan. Umat Islam di Indonesia menganggap perseteruan Sunni-Syiah di Irak, konflik Israel-Palestina dan lainnya dianggap sebagai “masalah teologi-keagamaan”. Padahal, masyarakat disini menganggap itu murni percekcokan – dan rebutan aset – politik-ekonomi. Di akar rumput, banyak umat Sunni-Syiah yang hidup berdampingan secara damai. Begitu pula warga Yahudi dan umat Islam.
Keempat, dalam hal demografi. Banyak umat Islam yang mengira kalau Israel hanya dihuni oleh umat Yahudi. Padahal, 20 persen lebih penduduk Israel adalah Arab, sisanya Druze, Bahai dan lainnya. Begitu pula, mereka menganggap kalau Palestina hanya dihuni oleh umat Islam. Padahal banyak sekali populasi umat Katolik, Protestan, dan bahkan Yahudi di teritori ini.
Umat Islam juga menganggap kalau Yahudi pasti Zionis. Padahal Yahudi dan Zionisme adalah dua hal yang berbeda. Sama seperti komunisme dan ateisme adalah dua hal yang berbeda. Jika Yahudi mengacu pada nama agama (Yudaisme) atau komunitas etnis-suku, Zionisme adalah sebuah ideologi politik transnasional.
Kelima, dalam hal sistem politik, ekonomi, dan perbankan. Umat Islam di Indonesia banyak yang mengira semua sistem politik, ekonomi, dan perbankan di negara-negara Timur Tengah menggunakan “sistem Islam”. Padahal tidak sama sekali.
Keenam, dalam hal makanan. Umat Islam di Indonesia menganggap kurma sebagai “properti Muslim”. Padahal, kurma ini ada yang “kurma Yahudi”, “kurma Kristen”, “kurma ateis” dlsb. Bahkan sebagian umat Islam di Indonesia membayangkan makan kurma kayak makan “buah syurgah” qiqiqi.
Ketujuh, saya lanjutkan entar-entar sajalah capek ngetik terus entar jari-jemariku yang lentik ini jadi semok
Jabal Dhahran, Jazirah Arabia
Sumber: https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10164870551305523