Dr. Imam Nakha’i, M.H.I.
(Dosen Ma’had Aly Situbondo)
لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُیُوتِهِنَّ وَلَا یَخۡرُجۡنَ إِلَّاۤ أَن یَأۡتِینَ بِفَـٰحِشَةࣲ مُّبَیِّنَةࣲۚ (الطلاق)
Ayat ini hadir untuk mengingatkan Rasulullah dan juga Kaum Muslimin agar tidak mengusir istri istri yg menjalankan iddah dari rumah tinggalnya. Sebaliknya perempuan yang beriddah seharusnya juga tidak keluar dari “rumah tinggal perkawinannya”.
Ayat ini menegaskan bahwa perempuan yg beriddah berhak untuk mendapatkan “tempat tinggal”, dan bahkan Nafkah selama menjalani iddah. Itulah hak istri, kewajiban suami. Sebaliknya, suami memiliki hak agar istri yg diceraikan dan menjalani iddah raj’i wajib tetap berada dalam “rumah tinggal perkawinan”. Inilah hak suami kewajiban istri.
Mengapa demikian, sebab istri yg dithalak raj’iy hakikatnya masih berada dalam “ikatan perkawinan”, yang sewaktu waktu bisa kembali (rujuk) dalam ikatan perkawinan yang sesungguhnya. Bahkan ada pendapat yg menyatakan, jika dalam masa iddah, suami-istri (‘) itu melakukan hubungan seksual, maka berarti telah dinggap kembali dalam ikatan perkawinan kembali. Inilah yg disebut rujuk bil fi’li, rujuk dengan tindakan bukan dengan ucapan.
Jadi al Qur’an lebih mengedepankan “hak istri yg beriddah” dari pada kewajibannya. Berbeda dengan narasi narasi yg berkembang dimasyarakat bahwa perempuan yg beriddah tidak boleh ini dan tidal boleh itu. Lebih banyak narasi kewajiban daripada narasi pemenuhan hak.
Apakah perempuan yg beriddah tidak boleh keluar rumah?
Dalam kitab fiqih dasar, seperti Fathul Qarib, dinyatakan bahwa keharusan memetap di “rumah tinggal pernikahan” tidaklah mutlak. Ada banyak situasi dimana perempuan yg beriddah boleh keluar rumah. Seperti:
1. Untuk kebutuhan mencari nafkah ketika kebutuhan nafkah tidak dipenuhi oleh suami
2. Untuk kebutuhan kebutuhan rumah tangga sehari hari, seperti keluar untuk membeli makanan, atau menjual hasil kerajinan tangannya, hasil panennya dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
3. Keluar rumah untuk sekedar menjahit di tetangga (memintal), bincang bincang dengan tetangga, mengurai kebosanan di rumah terus, dan lain lain. Dengan syarat jika malam hari harus kembali kerumah tinggalnya. Menurut saya, jika ia berstagus sebagai guru atau pegawai lainnya, maka ia boleh mengerjakan profesinya dengan syarat tetap pulang di malam hari.
Jadi Islam, tidak menyulitkan, tidak mengsengsarakan, tidak menghambat apapun, apalagi terhadap perempuan. Keliru pandangan yg menyatakan bahwa perempuan yg beriddah tidak boleh keluar rumah dalam keadaan apapun, sebab itu pasti menyulitkan. Walaupun banyak laki laki yg senang dan bahagia jika “perempuan yg diceraikannya” bersedih dan dalam kesulitan.
Wallahu A’lam
Situbondo 010221
Sumber: https://www.facebook.com/imam.nakhai1/posts/10221843415748773