Oleh: Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A.
(Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir/Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ)/Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama)
Belakangan ini mendadak viral di media social sekelompok anak muda yang mengumandangkan azan dengan tambahan lafal hayya `alal jihâd sebagai ganti hayya `ala al-shalâh.
Azan itu sendiri dikumandangkan oleh seorang di antara mereka, tetapi ketika tiba pada lafal hayyâ `alal jihad yang lainnya serentak menjawab dengan seruan yang sama ‘hayya `alal jihâd’ sambil mengepalkan tangan dan lengan ke atas.
Video lain menunjukkan seseorang dengan latar berbeda mengumandangkan azan dengan tambahan hayya `alal jihâd sambil mengangkat golok dan meletakkannya di atas pundak sebelah kanan.
Semula saya tidak tertarik untuk menanggapinya. Beberapa rekan, para asatidzah dan Kyai, sudah memberikan tanggapan. Sampai pada akhirnya, di pagi hari rabu, 2 Desember 2020, saat sedang olahraga pagi di sebuah kawasan pegunungan, Radio El-Shinta menghubungi saya dan meminta untuk memberi tanggapan terkait video tersebut dalam siaran langsung pukul 06.15 hingga 06.45. Dialog interaktif juga terjadi bersama pendengar radio El-Shinta.
Terkait masalah ini ada beberapa persoalan yang perlu dijelaskan;
a. Apa, mengapa dan bagaimana azan dalam syariat Islam?
b. Apakah boleh menambah dan atau mengurangi lafal azan?
c. Apa makna hayya `alal jihâd dan bagaimana hukum menambahkannya dalam azan?
Apa, mengapa dan bagaimana azan dalam syariat Islam?
Secara bahasa azan bermakna al-i`lâm bi al-syay`i (pemberitahuan tentang sesuatu) (Al-Nihâyah fî Ghraîb al-Hadîts wal Atsar, 1/37; Nihâyat al-Muhtâj, 1/398). Di dalam Al-Qur`an kata ini digunakan satu kali, yaitu pada QS. Al-Taubah: 3 terkait dengan pemberitahuan bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun ke-9 saat haji akbar yang dihadiri oleh Rasulullah Saw.
Dalam agama, azan diartikan sebagai “panggilan untuk menunaikan shalat dengan lafal tertentu yang sudah dikenal” (al-Mu`jam al-Wajîz). Dalam kitab Nihâyat al-Muhtâj didefinisikan dengan “ucapan dengan lafal tertentu sebagai pemberitahuan masuk waktu shalat wajib” (1/399). Kumandang azan sebagai tanda masuk waktu shalat digunakan dalam Al-Qur`an dengan ungkapan nûdiya li al-shalât (dipanggil untuk shalat) (QS. Al-Jumu`ah: 9).
Berdasarkan ayat di atas dan hadis Rasulullah agar mengumandangkan azan sebelum shalat, para ulama bersepakat (ijmâ) tentang adanya ketentuan (syariat) azan. Menurut al-Khatib al-Syarbini, ulama dari kalangan mazhab Syafi’i, syariat azan bermula pada tahun pertama setelah hijrah. Ketika masjid telah terbangun dan shalat lima waktu telah ditetapkan, Rasulullah berpikir keras bagaimana cara mengumpulkan orang untuk menunaikan shalat.
Beberapa usulan agar menancapkan bendera, atau membunyaikan lonceng, atau mengangkat api ditolak oleh Rasulullah, karena mirip dengan tradisi penganut agama-agama lain. Sampai akhirnya Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab bermimpi agar dikumandangkan azan dengan redaksi yang kita saat ini sebagai tanda masuk waktu shalat. Rasulullah bersetuju dengan mimpi kedua sahabatnya itu, lalu memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, karena memiliki suara yang kuat dan merdu.
Tentu dasarnya bukan mimpi kedua sahabat tersebut, tetapi ketetapan Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan pada saat yang sama, bahkan sebelum mimpi kedua sahabatnya tersebut, Nabi telah menerima wahyu tentang syariat azan. Al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi telah diperlihatkan dan diperdengarkan azan saat Isra dan Mi`raj dari atas tujuh lapis langit (Nihâyat al-Muhtâj, 1/399-400). Tentang sejarah azan dan redaksinya dapat dibaca dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Musnad dan lainnya.
Selain sebagai tanda masuk waktu shalat, dalam mazhab Syafi`i, seperti dikemukakan Imam al-Ramli, azan disunnahkan saat anak baru dilahirkan; saat seseorang sedang merasa risau dan galau; saat menjumpai anak atau hewan nakal, dan lainnya (Nihâyat al-Muhtâj, 1/401). Dalam tradisi masyarakat Muslim Indonesia azan juga dikumandangkan saat melepas kepergian seseorang untuk menunaikan ibadah haji ke tanh suci.
Berdasarkan keterangan di atas, azan adalah salah satu bentuk syiar agama yang memiliki sakralitas dengan redaksi yang sudah dikenal oleh khalayak umum dari masa Rasulullah hingga saat ini.
Dalam redaksi azan terkandung banyak persoalan akidah. Diawali dengan pengakuan akan kebesaran Allah, dilanjutkan dengan ikrar tauhid dan pengakuan akan risalah kenabian Muhammad Saw. Setelah itu seruan untuk taat menjalankan ibadah, dalam hal ini shalat dan agar terus meniti jalan keberuntungan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Azan diakhiri dengan mengulang pernyataan tentang kebesaran Allah dan keberhakan Allah untuk disembah, bukan lain-Nya.
Sebagai sebuah syiar agama, azan harus dijaga dan dipelihara sakralitasnya, dan itu adalah bagian dari tanda ketakwaan hati (QS. Al-Hajj: 32). Keagungan azan sebagai syiar agama juga dirasakan oleh orang yang mengumandangkannya (muazin). Dalam beberapa riwayat dari Rasulullah, muazin akan memeperolah ampunan dari Allah sepanjang tarikan suaranya, dan alam semesta; (dedaunan) yang kering dan yang basah, manusia dan jin, bahkan segala sesuatu di muka bumi akan menjadi saksi pada hari kiamat atas kebaikannya.
Sebegitu mulianya azan dan kedudukan muazin sehingga tidak sepatutnya azan dipermainkan.
Apakah boleh menambah dan atau mengurangi lafal azan?
Berdasarkan hadis riwayat Ahmad di atas, redaksi azan yang kita kenal saat ini semula berasal dari mimpi Abdullah bin Zaid yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai ketentuan syariat. Dalam hadis riwayat Abu Daud Nabi saw juga mengajarkan lafal azan kepada Abu Mahdzurah. Redaksinya terdiri dari 15 kalimat, mulai dari Allâhu akbar sampai lâ ilâha illallâh’, dan pada azan subuh dengan tambahan ‘al-shalâtu khairun minan nawm’. Ketetapan itu tentunya juga berdasarkan wahyu dari Allah Swt.
Apakah dengan demikian lafal azan tidak boleh diubah; ditambah dan atau dikurangi?
Penambahan dan atau pengurangan lafal azan terjadi pada masa Rasulullah. Penambahan lafal ‘al-shalâtu khairun mina al-nawm’ pada azan subuh bermula dari inisiatif Sahabat Bilal RA. Suatu ketika, di pagi hari saat mengumandangkan azan subuh, dia mendapati Rasulullah masih tertidur. Setelah hay`alatayni (hayya ala al-shalâh dan hayya ‘alal falâh) dia tambahkan ‘al-shalâtu khairun mina al-nawm’. Nabi pun terbangun, lalu memerintahkan lafal tersebut dimasukkan ke dalam azan subuh.
المعجم الكبير للطبراني (1/ 355)
عَنْ حَفْصِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ بِلَالٍ، أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْذِنُهُ بِالصُّبْحِ فَوَجَدَهُ رَاقِدًا، فَقَالَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ مَرَّتَيْنِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا أَحْسَنَ هَذَا يَا بِلَالُ اجْعَلْهُ فِي أَذَانِكَ»
Dalam situasi malam yang dingin, hujan dan berangin kencang, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, dua orang sahabat Nabi terkemuka, menambahkan lafal ‘alâ shallu fî rihâlikum’ (shalatlah di tempat tinggal/persinggahanmu). Keduanya merujuk kepada perbuatan Rasulullah yang memperkenankan para sahabatnya untuk shalat di rumah masing-masing saat hujan deras.
Di awal masa pandemi covid, ketika masyarakat diserukan untuk berdiam diri di rumah dan masjid-masjid ditutup untuk menghindari kerumunan massa yang berpotensi mempercepat penyebaran virus, azan lima waktu tetap dikumandangkan, tetapi dengan menambahkan lafal ‘shallû fî buyûtikum’ (shalatlah di rumah kalian). Ini mengacu kepada praktik di masa Rasulullah dan para sahabatnya saat kaum muslimin terhalang untuk pergi ke masjid demi menjaga keselamatan jiwa.
Dalam tradisi Muslim Syiah, setelah hay`alatayni terdapat tambahan lafal (hayya `alâ khairil `amal (mari melakukan kerja/amal terbaik). Imam al-Bayhaqi dalam kitab al-Sunan menyebutkan beberapa riwayat dari Ibnu Umar, Ali bin al-Husain dan Bilal RA dengan penambahan lafal serupa (Sunan al-Bayhaqi, 1/424). Redaksi ini tidak bersumber dari Rasulullah, melainkan inisiatif mereka. Oleh karenanya, jumhur ulama Ahlussunnah menyatakan makruh hukumnya menambahkan hayya `ala khairil `amal dalam azan karena tidak bersumber dari Rasulullah (Al-Majmu` 3/98; Sunan al-Bayhaqi, 1/424; Majmu` al-Fatawa, 23/103).
Ulama Sunni ahli hadis terkemuka, Syeikh Abdullah Shiddiq al-Ghumari, dalam kitab Itqân al-Shan`ah fî Tahqîq Ma`nâ al-Bid`ah, mengatakan, Lafal azan berbeda-beda. Ada penambahan dan pengurangan. Sebagian Sahabat ada yang menambahkan lafal tertentu yang tidak bersu,mber dari Arsulullah, karena mereka tahu bahwa tujuan azan adalah memberitahukan masuk waktu shalat, dan lafalnya tidak bersifat ta`abbudy, yang tidak boleh berubah seperti Al-Qur`an.
Al-Ghumari mengutip Riwayat dari Imam Nafi bahwa Ibnu Umar biasa mengumandangkan azan masing-masing kalimat tiga kali, yaitu Allahu akbar tiga kali, syahadat tiga kali dan seterusnya. Riwayat lain menyebutkan Ibnu Umar mengakhiri azan dengan takbir Allahu akbar setelah lâ ilaha illallâh. Ada pula yang menambahkan kata sayyidana pada kalimat asyhadu anna muhammadan Rasulullah (h. 69-70).
Bagaimana dengan Penambahan kalimat “hayya `alal jihad”?
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, baik yang bersumber dari Rasulullah maupun para sahabatnya, bahkan generasi setelah itu, tidak ditemukan satu pun redaksi azan dengan lafal hayya `alal jihad. Seruan hayya alal jihâd itu sendiri secara makna bagus artinya, sebab itu berarti ajakan untuk berjihad. Tetapi mengumandangkannya dalam azan tidak pada tempatnya. Bahkan terkesan seperti mempermainkan. Apalagi bila ditelisik apa makna seruan tersebut. Tentu saja itu berpulang kepada niat yang mengumandangkannya.
Bila yang dimaksud pelakunya adalah jihad dengan pengertian sempit, yaitu perang mengangkat senjata, maka seruan itu juga tidak tepat dengan tiga alasan, pertama: Indonesia adalah negeri damai, sehingga tidak ada alasan untuk mengobarkan perang mengangkat senjata. Kedua: seruan jihad mengangkat senjata dalam sebuah negeri Muslim tidak boleh dilakukan oleh perorangan, tetapi dinyatakan oleh pemimpin tertinggi sebuah negara. Ketiga: ajakan perang di tengah masyarakat yang hidup rukun dan damai dapat diartikan sebagai memperovokasi masyarakat, dan bila itu ditujukan kepada pemerintahan yang sah maka tergolong bughât (pembangkang).
Kalau yang dimaksud oleh pelakunya adalah jihad dalam pengertian luas, yaitu upaya sungguh-sungguh untuk menahan hawa nafsu dan menebar kebaikan serta manfaat bagi masyarakat, patut dipertanyakan apa urgensinya memasukkan lafal tersebut dalam lafal azan yang sakral?
Dalam dialog intEraktif, seorang pendengar Radio Elshinta, memberikan komentar bahwa kumandang azan tersebut merupakan gambaran dari akumulasi kekecewaan masyarakat melihat kemunkaran yang dibiarkan, sehingga mendorong sebagian warga masyarakat untuk melakukan perlawanan sebagai bentuk nahi munkar.
Dalam kesempatan itu saya memberikan tanggapan balik bahwa semangat melakukan perubahan, terutama melalui amar makruf nahi munkar, patut diapresiasi. Semua kita bertanggungjawab untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Tetapi, kaidah amar makruf nahi munkar menyatakan kemunkaran tidak boleh dihilangkan dengan melakukan kemunkaran lain. Di sini ada dua kemunkaran, pertama: menambahkan lafal seruan jihad yang tidak ada contohnya dari Rasulullah dari al-salaf al-shaleh, dan kedua: memprovokasi masyarakat untuk menegakkan hukum di luar koridor hukum dan perundangan yang berlaku.
Wallahua’lam bil shawaab
Sumber: Akun Facebook Muchlis Hanafi