Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tunggi Ilmu Al-Qur’an
Krisis ekonomi sebagai akibat penyebaran virus Covid-19 membuat sejumlah penduduk di negara-negara miskin, termasuk sejumlah negara muslim di dalamnya, mengadu nasib ke luar negeri mereka.
Motivasi mereka selain untuk mencari pekerjaan lebih layak, juga mereka merasa lebih save berada di negaranegara maju. Sebetulnya jauh sebelum Covid-19 ini, berkembang pola migrasi umat Islam dalam dua decade terakhir memang sudah banyak meninggalkan negerinya karena kekacauan akibat perang saudara.
Sebutlah misalnya Suriah, Libia, Palestina, Iraq, Afganistan, China, Mianmar, dan lain-lain eksodus umat Islam besarbesaran ke negaranegara nonmuslim tentu saja menimbulkan kerumitan ketatanegaraan tersendiri.
Oliver roy melihat adanya fenomena “State without nation and Brothers without state”, yaitu adanya semacam negara tanpa bangsa dan persaudaraan tanpa negara”.
Mungkin juga bisa dikatakan ada fenomena kebangsaan tanpa negara (nations without state), karena dalam kenyataannya komunitas muslim yang eksodus ke negaranegara nonmuslim dengan berbagai alasan dan kepentingan, memang menciptakan melting pot tersendiri di dalam negara tujuan.
Untuk AS sendiri agak sulit menemukan adanya fenomena muslim stateless karena begitu ketatnya pengawasan bagi orangorang yang patut untuk dicurigai di negeri ini.eksodus umat Islam secara besarbesaran dalam dua dekade terakhir ke negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Selatan, disebabkan oleh beberapa krisis di negeri asalnya.
Ada dalam bentuk krisik politik seperti penduduk Palestina yang tadinya memiliki 80% tanah hunian di kawasan Yerusalem dan selebihnya Israel menghuni sekitar 20 %, tetapi kini terbalik, penduduk Palestina hanya mendiami wilayahnya sekitar 20%, selebihnya diambil alih Israel.
Akhirnya mereka terpaksa eksodus bersama keluarganya ke Eropa, AS, dan Australia. Iraq, Libanon, dan Iran yang pernah dilanda perang saudara berkepanjangan memaksa warganya untuk mencari wilayah aman ke negaranegara barat seperti AS, Kanada, Eropa, Ausralia, dan di sejumlah negara-negara Scandinafia.
Pola migran lainnya, bekas negara-negara jajahan negara maju pergi mengadu nasib ke negara-negara bekas penjajahnya, seperti warga muslin di kawasan Afrika seperti Marocco, Tunisia, Aljazair, Mesir, melakukan eksodus ke Perancis.
Demikian pula Negara-negara muslim lainnya yang pernah dijajah oleh Inggris karena tekanan ekonomi, maka mereka berbondong-bondong memasuki Inggris. Belum lagi mereka yang lari dan mencari suaka politik karena kekisruhan politik di negerinya.
Yang lainnya, semula melanjutkan studi di Negara-negara maju tersebut tetapi mereka tidak mau lagi kembali ke negerinya karena mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di negeri tempat studinya.
Indonesia sendiri dikenal sebagai salah satu negara yang penduduknya ada di berbagai negera maju. Di Rusia, Belanda, Yugoslavia, Saudi Arabia, dan Malaysia, banyak sekali warga Indonesia yang tinggal beranak cucu di sana dengan memanfaatkan kedekatan historis antara Indonesia dengan negaranegara tersebut. Bahkan sudah kawim mawin dengan warga Negara setempat.
Meskipun demikian rasa ke-Ikndonesiaan dan Islam yang berkeindonesiaan masih tetap dipertahankan di negara-negara barunya.
Fenomena terakhir, para migran Indonesia kembali membanjiri AS dengan memanfaatkan kelonggaran peraturan AS yang memudahkan tenaga kerja professional masuk ke AS, karena kaum industriawan AS yang saat ini mengalami kelesuan usaha mereka, lebih senang mempekerjakan para pekerja asing, khususnya dari Indonesia, yang mau digaji separoh dari karyawan warga AS dengan mutu kerja yang tidak kalah dengan mereka.
Para pekerja asal Indonesia juga merasa senang karena walapun dibayar separoh dari gaji warga AS, tetapi masih jauh lebih baik daripada gaji yang diterimanya di tempat lain, termasuk di Indonesia sendiri.
Fenomena lain ialah munculnya kewarganegaraan ganda kalangan umat Islam melalui proses kawin-mawin, job displacement, dan refugee, serta International recruitment menyebabkan munculnya kerancuan kewarganegaraan ganda.
Meskipun Indonesia belum menganut sistem kewarganegaraan ganda, tetapi tidak sedikit jumlah warga Indonesia yang memiliki paspor ganda.
Bukan hanya dilakukan oleh kelompok jaringan teroris dan kelompok radikal, tetapi juga melalui perkawinan lintas negara yang memberikan kemungkinan lebih memudah menjadi warga negara setempat.
Fenomena paspor ganda saat ini semakin sulit dengan data biometric dalam pembuatan paspor.
Sumber:
https://rmco.id/baca-berita/kolom/44355/muslim-stateless-1
https://rmco.id/baca-berita/kolom/44443/muslim-stateless-2