Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tunggi Ilmu Al-Qur’an
Setiap musibah ada hikmahnya. Di balik pandemi Covid-19 ternyata menghadirkan banyak hal yang di luar perkiraan kita. Salah satu di antaranya ialah kerukunan hidup antar dan internal umat beragama.
Bukan hanya internal dalam agama Islam tetapi juga ternyata kelompok agama-agama lain mengalami penurunan tensi konflik Internal dalam kehidupan beragama. Sama dengan kehidupan antar umat beragama, juga terlihat adanya kerjasama yang amat intensif antara umat beragama di dalam memutuskan mata rantai penularan covid dan upaya memberikan bantuan terhadap mereka yang terpapar dan terdampak dari pandemi ini.
Masyarakat kita tampak semakin dewasa di dalam berbangsa dan bernegara, setidaknya apa yang ditunjukkan oleh para tokoh lintas agama. Para tokoh lintas agama di dalam berbagai forum semakin terbuka berbicara tentang pluralitas masyarakat, yang di masa lampau tema ini amat sensitif untuk dibicarakan.
Di zaman awal orde baru, orang-orang harus ekstra hati-hati tentang hal tersebut karena salah sedikit terjebak dalam perangkap isu SARA (Suku, Agama, Ras). Bayang-bayang subversif, fundamentalisme, komando jihad, ekstrim kanan, black list, merupakan akronim yang menakutkan di masa itu, karena berpotensi mematikan karier, bahkan mencelakakan seseorang.
Pusat pemerintahan (central power) yang begitu kuat pada masa itu memang berhasil meredam konflik-konflik horizontal yang bertema SARA, sehingga seolah-olah tercipta stabilitas dan kerukunan nasional.
Akan tetapi, ternyata stabilitas dan kerukunan yang terjadi adalah semu dan begitu central power melemah, maka satu persatu ketegangan primordial bermunculan di permukaan. Masa yang cukup panjang selama 32 tahun ternyata mengendapkan akumulasi kekecewaan, bukannya digunakan untuk menuntaskan persoalan-persoalan kon-septual dalam kehidupan berbangsa.
Konflik yang terjadi di dalam masyarakat kita, seperti kasus Ambon, Poso, Kalimantan, dan Aceh, sesungguhnya sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari sebuah konsep per satuan yang dipaksakan dari atas, bukannya dibangun melalui proses dialogis dengan memperhatikan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang bukan saja pluralistik tetapi juga heteregon.
Konsep persatuan dan kesatuan yang diterapkan selama ini penuh dengan rekayasa yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dan merugikan kelompok-kelompok lain. Hanya karena kekuatan central power di masa itu maka letupan sosial dengan motif primordial dapat tertunda.
Berbeda halnya di era reformasi yang seiring dengan kedewasaan umat beragama, situasi sudah menjadi lain. Setiap orang berhak dan bebas mengekspresikan pendapatnya masing-masing dalam berbagai bentuk.
Apa yang dulu tabu dan sensitif dibicarakan, kini sudah cair. Akronimakronim menyeramkan itu sudah tidak lagi menakutkan. Setiap orang di manapun dan kapan pun dapat secara bebas mempersoalkan masalah-masalah pluralisme di dalam masyarakat, tanpa harus merasa terancam oleh siapapun.
Media cetak dan elektronik tidak lagi mendapatkan hambatan untuk mengungkapkan seluruh aspirasi masyarakat. Sering terjadi kolaborasi tokoh lintas agama menyuarakan tema kritis yang sama.
Dalam kondisi seperti ini, peluang untuk terbentuknya civil society yang dapat diartikan sebagai masyarakat madani atau masyarakat yang tangguh, dimungkinkan terwujud.
Kekuatan-kekuatan pemerintah, terutama power militer, dengan sendirinya telah melemah karena sudah menjadikan diri mereka sebagai kekuatan militer yang profesional. Biasanya, semakin kuat dominasi pemerintah menjadi pertanda semakin lemahnya suatu masyarakat; sebaliknya, semakin kuat peran masyarakat itu semakin kecil pula peranan pemerintah.
Yang terjadi saat ini, masyarakat semakin merdeka mengekspresikan harapan-harapannya, sementara militer sibuk melakukan konsolidasi internal guna menghadirkan diri sebagai kekuatan yang profesional.
Pergeseran peta kekuatan dari central power yang dengan mudah dapat dilihat dominannya peran pemerintah yang menggurita di dalam masyarakat, kepada kekuatan masyarakat yang fenomenanya dapat dilihat pada penguatan Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), prosesnya kini sedang terjadi.
Hubungan pemerintah dan masyarakat di dalam masyarakat pluralistik terlihat jarak sosial yang seimbang, karena manakala pemerintah terlalu jauh mengintervensi urusan-urusan privat masyarakat, seperti agama, budaya, dan hak-hak politik masyarakat, maka akibatnya masyarakat lebih solid dan memiliki komunikasi langsung kepada pemerintah melalui media-media sosial.
Dahulu, media-media publik dikendalikan di bawah Kementerian Penerangan. Masyarakat plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas berbagai unsur dengan subkulturnya masing-masing, lalu menjalin kesepakatan menampilkan diri sebagai suatu komunitas yang utuh.
Berbeda dengan masyarakat heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen ideologis yang kuat. Masyarakat pluralis tidak hanya sebatas mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan masyarakat, tetapi pluralisme harus difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika (bercerai-berai tetapi tetap satu).
Pemikiran plural juga harus disertai dengan sikap yang tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai hikmah yang positif. Di sini hadis nabi Muhammad mempunyai arti yang amat penting, yaitu “Perbedaan yang muncul di antara umatku adalah rahmat”.
Interaksi dinamis, bukan indoktrinasi aktif dari penguasa, dari realitas budaya yang berbeda melahirkan sintesa dan konfigurasi budaya keindonesiaan yang unik. Budaya keindonesiaan ini kelak menjadi wadah perekat (melting pot) yang efektif.
Bilamana interaksi dinamis terjadi dalam masyarakat, maka unsur-unsur lokal dan primordial, seperti suku, bangsa, agama berposisi sebagai kekuatan daya penyatu (centripetal). akan tetapi, jika interaksi dinamis tidak terjadi dan sebaliknya yang terjadi adalah indoktrinasi, maka unsur-unsur tersebut akan muncul sebagai daya pemecah-belah (centrifugal).
Membangun visi yang sama di dalam masyarakat pluralisme bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika agama men-jadi unsur terkuat di dalam masyarakat pluralisme tersebut.
Indonesia adalah suatu bangsa yang dipadati oleh berbagai-bagai ikatan pri-mordial sebagai konsekuensi wilayahnya yang luas dan terdiri atas berbagai pulau besar dan kecil, dengan keunikan bahasa dan budayanya masing-masing.
Sumber: https://rmco.id/baca-berita/kolom/43004/harmonisasi-kerukunan-umat-beragama-1
https://rmco.id/baca-berita/kolom/43102/harmonisasi-kerukunan-umat-beragama-2
https://rmco.id/baca-berita/kolom/43269/harmonisasi-kerukunan-umat-beragama-3