Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor Antropologi Agama King Fahd University-Arab Saudi
Kurban pada dasarnya adalah sebuah prosesi penawaran atau tawar-menawar (bargain atau “negosiasi”), pemberian hadiah, atau ritual persembahan yang dilakukan oleh umat manusia kepada orang atau sesuatu yang tak tampak tapi dianggap dan dipersepsikan memiliki status atau derajat lebih tinggi darinya (misalnya raja / penguasa, Tuhan, Dewa / Dewi, danyang, Setan, demit, wewe gombel, dlsb).
Obyek, sarana, atau medium yang dijadikan kurban bisa bermacam-macam: hewan, dupa, bunga, hasil panen, jajanan, atau bahkan manusia. Prosesi ritual pada saat menjalankan “ibadah” kurban juga bermacam-macam. Setiap agama, sekte agama atau sistem keprcayaan memiliki aturan sendiri. Setiap orang, suku atau kelompok mempunyai “aturan main” sendiri.
Jika Anda belajar antropologi budaya, khususnya antropologi agama, Anda akan tau bahwa “ritual kurban” ini salah satu bentuk ritual yang berumur tua yang dilakukan oleh umat manusia. Jauh sebelum agama-agama besar lahir di dunia, berbagai komunitas agama lokal sudah menjalankan ritual kurban.
Berbagai peradaban tua di Mesir, Mesopotamia, India, China, Persia, Jawa, Yunani, dan berbagai bangsa Eropa dlsb sudah mengenal ritual korban meskipun dengan nama yang berbeda-beda: blotan di Jerman, yajna di India, zertwa bagi masyarakat Slavs, dlsb.
Suku-suku Yahudi Israelite kuno menyebutnya “korban” atau “qorban” (jamak: korbanot/h) yang kemudian, seperti biasa, diadopsi oleh umat Islam. Dalam bahasa Ibrani (sebagaimana bahasa Arab) kata korban memiliki persamaan akar kata atau sejumlah makna seperti dekat, keluarga. Ritual kurban memang, antara lain, dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Tetapi ritual kurban dalam sejarah umat manusia bukan hanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan atau tuan. Ritual kurban juga dalam rangka untuk “merayu” agar Dia melimpahkan banyak rahmat (blessings), rezeki yang banyak, kesuburan tanah, hasil panen melimpah, dlsb. Kurban juga dilakukan dalam rangka “menyuap”-Nya agar Dia tidak menurunkan bencana, laknat atau malapetaka (penyakit, kekeringan, kematian dlsb).
Selain “fungsi spiritual”, dalam masyarakat tertentu, kurban juga memiliki fungsi sosial: membangun solidaritas sesama kelompok karena persembahan itu biasanya dibagi-bagi pada anggota kelompok suku / masyarakat. Dalam sejarahnya, kurban juga bisa sebagai “teror publik”. Para raja atau kepala suku dulu menjadikan ritual kurban manusia sebagai teror buat orang yang membangkang yang dilakukan atas nama persembahan pada Tuhan, Dewa atau apapun namanya.
Apa yang ingin saya sampaikan ini pointnya adalah: jika umat Islam bisa dengan khidmat penuh keimanan, suka rela, dan tanpa merasa bersalah & berdosa sedikitpun dengan “mempersembahkan” hewan-hewan untuk kurban, seharusnya mereka juga bisa mengerti, menghormati dan menerima umat / kelompok lain yang mempraktikan ritual kurban baik dalam bentuk sedekah bumi, nyadran atau apapun namanya.
Jangan malah, atas nama agama, mengutuk, menyesatkan, mengafirkan, atau mengsyirikkan aneka ragam praktik dan bentuk ritual kurban di masyarakat Indonesia dengan alasan kapir-syirik-sesat. Jika Anda berargumen menjalankan kurban karena keimanan, mereka pun demikian ikhwan, ikhwat sekalian.
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10164061983510523&id=762670522