Oleh: Dr. Muchlis M Hanafi, M.A.
(Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama)
Ustadz, usia saya 25 tahun. Terkadang saya tidak bisa mengendalikan keinginan berbuat merancap (masturbasi), walau di bulan Ramadhan atau saat puasa. Bagaimana dengan puasa saya ustadz?
Hakikat puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari, sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Oleh karenanya, pelampiasan nafsu seksual di siang hari bulan Ramadhan, melalui pasangan (suami/istri) yang sah, atau cara-cara lain, seperti merancap (onani/masturbasi) dan lainnya, dapat menodai kesucian bulan Ramadhan.
Para ulama berbeda dalam menetapkan hukum merancap, baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu, sebab tidak ada ayat atau hadis shahih yang secara tegas melarangnya. Ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i mengharamkan perbuatan tersebut berdasarkan QS. al-Mu’minun/23:5-7. Disebutkan, salah satu ciri kaum mukmin yang beruntung adalah mereka yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap pasangan mereka (istri/suami yang sah) dan atau (bagi pria) budak wanita mereka. Mencari kepuasan seksual selain dari kedua hal tersebut dianggap melampaui batas dan dikecam. Melakukan zina, onani, dan hubungan antar-sejenis adalah cara pemuasan seksual di luar dua hal yang dibolehkan agama.
Selain itu, pertimbangan kesehatan juga menjadi dasar pelarangannya, sebab onani jika dilakukan bekali-kali akan mengganggu kesehatan. Pertimbangan kesehatan ini tentu harus dikembalikan kepada ahlinya, yaitu dokter, sebab ada yang menyatakan jika onani dilakukan sekali-sekali saja tidak mengganggu kesehatan.
Jika dicermati, pandangan yang melarang didasari pada pemahaman teks al-Qur’an dan hadits, bukan bunyi teks yang tersurat. Karena itu, pakar tafsir al-Qur’an dari kalangan mazhab Maliki, al-Qurthubi, ketika mengemukakan hal ini, menjelaskan, Imam Ahmad bin Hanbal -yang sedemikian kuat keberagamaannya- berpendapat, onani merupakan “pengeluaran sesuatu yang berlebih dari tubuh/diri pelakunya, dan ini boleh-boleh saja saat diperlukan”. Bahkan, Ibnu Abbas ra. menyatakan, onani (al-khadhkhadhah) lebih baik daripada berzina.
Ulama yang membolehkannya saat diperlukan memberikan tiga syarat kebolehan, yaitu: a) pelakunya belum menikah b) khawatir terjerumus dalam perzinaan jika tidak dilakukan, dan c) tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan, tetapi untuk melampiaskan dorongan nafsu yang sangat hebat dalam dirinya.
Jika pendapat ini yang diambil, yang perlu diperhatikan adalah agar tidak sering dilakukan. Bila terlalu sering dilakukan, dan menurut pertimbangan dokter ahli akan mengganggu kesehatan, atau mengakibatkan terbengkalainya tugas yang menjadi kewajiban, maka hukum onani menjadi haram.
Bila dilakukan saat puasa, para ulama membedakan antara yang berakibat keluar mani dan yang tidak. bila berakhir dengan keluarnya mani, maka puasanya batal, dan harus diganti di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan, tanpa membayar kaffarah. Ini pendapat jumhur ulama. Menurut ulama mazhab Maliki, selain wajib qadha, ia juga harus membayar kaffarah berupa membebaskan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin, masing-masing satu mud, atau satu porsi makanan yang mengenyangkan.
Kaffarah ini ditetapkan berdasarkan kias onani dengan zina, meski menurut banyak ulama, kias tersebut dianggap tidak tepat, karena membandingkan dua hal yang berbeda. Bila tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal, meski perbuatan ini tidak terpuji. Batal atau tidaknya puasa tergantung pada keluar atau tidaknya mani.
Meski demikian, pendapat para ulama, demi menghormati kesucian bulan Ramadhan dan agar tujuan puasa tercapai hendaknya kebiasaan buruk tersebut dihentikan, sambil memohon kepada Allah agar dijauhkan dari kebiasaan tersebut. Wallahu a’lam.
Sumber: Muchlis Hanafi, Pengantin Ramadhan: Makna, Hikmah, dan Tanya-Jawab Seputar Puasa. Tangerang: Lentera Hati, 2015. hal. 128-131.