Mengembalikan Gerakan Intelektualisme Islam (10-Habis)
Oleh: Dr. (HC) KH. Husein Muhammad
(Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)
Keempat, kaum muslimin tidak menutup diri dari pikiran-pikiran dan produk-produk ilmiyah orang lain hanya karena mereka berbeda agama, jika ia memang bermanfaat. Sikap eksklusif, bertentangan dengan norma ilmu pengetahuan. Watak ilmu pengetahuan adalah inklusif (terbuka) bagi siapa saja dan di mana saja, dan deskriptif. Nabi mengatakan :
الحكمة ضالة المؤمن انى وجدها فهو احق بها
Hikmah adalah barang berharga yang hilang dari tangan orang mukmin, dimana dia menemukannya, dia lebih berhak atasnya”.
Atau :
“Al Hikmah dhallah al Mukmin Haitsu ma wajada al mukmin dhallatah falyujmi’ha ilaihi”
“Ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang hilang dari tangan kaum muslimin. Maka jika dia menemukannya hendaklah dia menghimpunnya kembali”.
Dalam konteks Indonesia, kata hikmah ini acap dimaknai sebagai “kebijaksanaan” atau “Kearifan”. Maka kata “al-Hikam” berarti kebijaksanaan-kebijaksanaan, atau “Kearifan-Kearifan”. Dan “al-Hakim” diterjemahkan sebagai orang yang bijaksana. Kata pluralnya ” Al- Hukama”, para bijak berstari. Atau al-Arif (plural: arifin). Dalam bahasa Inggris “al-Hikmah” diterjemahkan sebagai “wisdom”. Kata ini sering juga diterjemahkan atau disamakan dengan “filsuf” atau sufi.
Ibn Jarir al-Thabari, guru besar para ahli tafsir, menyampaikan pandangan beragam mengenai tafsir atas kata ini. Ia kemudian menyimpulkan bahwa semua pendapat para ulama atas kata ini, meski dengan uraian yang berbeda-beda, pada dasarnya sama, bahwa kata “al-Hikmah” adalah “al-Ishabah fi al-Umur”, pemikiran yang tepat”. Ini diperoleh dari pemahaman (al-fahm), pengetahuan (al-ilm) dan pengalaman (al-ma’rifah) disertai dengan rasa takwa kepada Allah. (Al-Thabari, Jami’al-Bayan fi Takwil Ayi al-Qur’an).
Ibn Qayyim menyampaikan bahwa :
“Al-Hikmah” adalah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Keduanya dikatakan “hikmah” karena keduanya terkait dengan tujuan. Suatu wacana tidak tidak mengandung hikmah sepanjang tidak menghasilkan tujuan yang terpuji dan bermanfaat. Maka hikman adalah wacana yang membimbing manusia ke arah pencapaian pengetahuan yang bermanfaat dan amal (tindakan/perbuatan) yang saleh. Jika seseorang menyampaikan pikirannya tetapi tidak menghasilkan kebaikan (kemaslahatan) bagi audiensnya, tidak membimbing mereka kepada kebahagiaan mereka, tidak menunjukkan faktor-faktor yang membuat keberhasilannya, tidak pula mencapai tujuannya, tidak karena tujuan itu, dan jika para utusan Tuhan dan kitab-kitab suci tidak dimaksudkan untuk tujuan tersebut, maka dia bukanlah seorang “hakim”, bijakbestari, kata-katanya tidak bijaksana/arif dan tidak indah”. (Syifa al-‘Alil, hlm. 190).
Akhirnya
Di sinilah tugas kaum muslimin sekarang; mengambil kembali supermasi ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki di manapun dia melihatnya di Timur maupun di Barat, dan bukannya menutup diri atau bahkan menolaknya hanya karena mereka adalah ”the others”.
Akan tetapi satu hal yang harus mendasari seluruh proses ilmiyah tersebut adalah tanggungjawab pengabdian (ibadah) kepada Tuhan. Hal ini berarti bahwa produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi harus berada di bawah cahaya ketuhanan (Nur Ilahi) dan moralitas keagamaan (al akhlaq al karimah). Akhlaq Karimah atau budi pekerti luhur pada hakikatnya adalah moralitas kemanusiaan. Oleh karena itu ia harus diperuntukkan bagi kebaikan dan kemaslahatan manusia, baik secara individual maupun kolektif, tidak untuk menzalimi apalagi merusak tatanan kehidupan mereka. Dengan begitu keilmuan Islam, seharusnya mampu memadukan dimensi rasionalitas dan moralitas.
Tamat
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10222725027370084&id=1106288500