Hukum Upah Biaya Operasi yang Mengakibatkan Kematian Pasien
Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Seorang dokter bedah melakukan operasi bedah terhadap pasiennya. Ketika operasi itu berhasil, tidak ada masalah. Tetapi ketika operasi itu berakibat kematian pasien, timbul keraguan dalam dirinya: bolehkah menerima upah biaya dari operasi bedah yang mengakibatkan kematian pasiennya ?
Bagi kita, perbuatan (‘amal) seseorang itu terbagi dua, yaitu apa yang dinamakan dengan taḥqīq natījah (perbuatan mencapai hasil), dan badz al-majhūd (melakukan upaha maksimal).
Termasuk dalam jenis perbuatan badz al-majhūd adalah operasi bedah yang dilakukan oleh dokter seperti bedah jantung, misalnya. Dalam operasi bedah itu ia melakukan apa yang semestinya, sesuai kemampuan dan ketentuannya tanpa ada unsur penyepelean dalam hal tugas sebagai dokter bedah. Setelah upaya maksimal dan benar sesuai dengan kemampuan dan ketentuan yang berlaku itu sudah dilakukan oleh dokter, lalu pasien meninggal dunia, apakah sang dokter tidak boleh menerima upah dari upayanya itu? Boleh.
Mengapa? Karena perbuatan yang dilakukan dokter itu termasuk perbuatan badz al-majhūd. Ia hanya dituntut untuk melakukan upaya maksimal demi kesembuhan pasien. Dan itu sudah dia lakukan. Oleh karenanya dia berhak menerima upah.
Kasus ini mirip dengan, misalnya, jika kita meminta kepada seseorang untuk menggali sumur. Setelah dia menggali, ternyata tidak ditemukan air, apakah orang itu berhak diberi upah? Tentu saja diberi upah, karena dia telah melakukan upaya maksimal menggali tanah, walaupun pada akhirnya belum atau tidak menemukan air. Ia hanya bertanggungjawab menggali tanah, dan itu sudah ia lakukan, tetapi tidak bertanggungjawab apakah tanah galiannya itu menghasilkan air atau tidak.
Sedangkan jenis perbuatan kedua, taḥqīq an-natījah, adalah seperti pekerjaan kaligrafer. Jika saya memesan kepadanya untuk membuatkan kaligrafer untuk saya, lalu orang itu tidak kunjung menyelesaikan pesanan kaligrafi saya, dalam hal ini saya boleh untuk tidak membayarnya. Apa pun alasannya -misalnya karena sedang tidak mood, atau karena kaligrafi yang sudah dibuatnya setengah jadi tersiram kopi yang tersenggol anaknya ketika sedang menorehkan pena kaligrafinya, dan sebagainya- itu semua tidak menjadi alasan dia untuk menuntut upah. Tanggung jawab dia adalah menyelesaikan karya kaligrafi yang saya minta, dan itu tidak terpenuhi.
Jadi, sekali lagi, dokter seperti di atas boleh menerima upah, walaupun pasiennya mengalami kematian setelah operasi bedah yang dia lakukan.
Sumber: Syaikh Ali Jum’ah Menjawab 99 Soal Keislaman: Menyorot Problematika Fiqih Ibadah, Fiqih Muamalah, Hingga Fiqih Kedokteran dan Sains. Penyadur: Muhammad Arifin, Penyunting: Faiq Ihsan Anshari, Tangerang: Lentera Hati: Cetakan I, 2014. Hal. 170-172.