Hukum Upah Dai/Imam/Guru/Hakim
Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Apakah para Dai berhak menerima upah dari kegiatan dakwahnya, meskipun upah itu dalam bentuk hadiah atau hibah barang, misalnya?
Pada prinsipnya seorang dai atau penceramah tidak boleh meminta upah dari siapa pun. Ini berdasarkan firman Allah swt.:
…قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَىٰ…
…katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan’…(QS. al-Shūrā/42:23)
Selain itu, seorang dai juga harus berdakwah dengan ikhlas karena Allah swt., sesuai dengan firman Allah swt.:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّـهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu. (QS. al-Insān/76:9)
Tetapi, jika seorang dai kemudian “terhalang” oleh kegiatan dakwahnya sehingga tidak bisa mencari nafkah, atau jika kita “menghalanginya” sehingga dia tidak bisa mencari nafkah, maka dia boleh diberi upah. Upah yang kita berikan itu bukan upah berdakwah, tapi upah untuk kondisi “terhalangnya” itu.
Pekerjaan-pekerjaan terhormat seperti menjadi imam shalat, da’i atau hakim amat tidak pantas jika kita katakan pelakunya menerima upah dari pekerjaannya. Yang mereka terima lebih merupakan upah atas kondisi “terhalangnya” dia dari mencari nafkah hidup.
Seorang hakim yang “memenjarakan” diri untuk mempelajari berbagai kasus untuk kemudian menentukan hukumnya, tentu saja berada pada posisi yang sangat terhormat.
Seorang guru yang “memenjarakan” dirinya untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, seorang dai yang “memenjarakan” dirinya untuk menyampaikan risalah agama, kita tidak membayar mereka atas pekerjaan-pekerjaan terhormat itu, tetapi lebih agar mereka bisa hidup layak, karena boleh jadi kita telah berperan “memenjarakan” dia sehingga tidak bisa mencari nafkah bagi anak istrinya. Pemberian ini disebut dalam fiqih sebagai muqābil al-iḥtibās (kompensasi pemenjaraan).
Jika saya, misalnya, “memenjarakan” diri dalam arti saya tidak bekerja yang lain, tetapi fokus hanya mengabdikan diri untuk berdakwah atau untuk mentransformasikan pengetahun agama atau untuk memutuskan perkara-perkara orang dan lain-lain, kemudian saya menerima sejumlah uang, uang yang saya terima itu tidak dapat dikatakan sebagai upah, tetapi lebih merupakan imbalan atas kondisi saya yang tidak dapat mencari nafkah karena sibuk dengan kegiatan dakwah.
Sumber: Syaikh Ali Jum’ah Menjawab 99 Soal Keislaman: Menyorot Problematika Fiqih Ibadah, Fiqih Muamalah, Hingga Fiqih Kedokteran dan Sains. Penyadur: Muhammad Arifin, Penyunting: Faiq Ihsan Anshari, Tangerang: Lentera Hati: Cetakan I, 2014. Hal. 131-132.