Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab
(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)
Seorang anak ayahnya sudah meninggal dunia. Ayah itu menikahi ibunya pada bulan Ramadhan. Ayah dan Ibunya ketika itu mengira bahwa menikah merupakan salah satu alasan yang dibenarkan untuk tidak berpuasa. Mereka pun tidak berpuasa selama satu bulan penuh. Menurut penuturan ibunya, sang ibu telah membayar utang puasanya tersebut. Tetapi, sang ayah yang sudah meningga dunia belum membayar utang puasanya. Apakah anaknya boleh membayarkan utang puasa ayahnya? Dan adakah kewajiban-kewajiban lain?
Jika sang ayah tidak berpuasa dengan makan dan minum dan sama sekali tidak pernah berniat puasa, karena menduga ketika itu dia tidak wajib berpuasa lantaran baru menikah itu adalah dugaan yang keliru, maka dia wajib membayar semua puasa Ramadhannya saja tanpa harus membayar kafarat. Sebab, hubungan badan yang mereka lakukan itu terjadi dalam keadaan mereka sedang tidak berpuasa, atau terjadi setelah mereka membatalkan puasanya. Sang anak berkewajiban membayarkan fidyahnya atas nama ayahnya berupa memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ditinggalkan ayahnya. Dalam kasus yang ditanyakan, sang anak harus memberi makan 30 orang miskin sebagai kafarat atas nama ayahnya.
Sumber: Syaikh Ali Jum’ah Menjawab 99 Soal Keislaman: Menyorot Problematika Fiqih Ibadah, Fiqih Muamalah, Hingga Fiqih Kedokteran dan Sains. Penyadur: Muhammad Arifin, Penyunting: Faiq Ihsan Anshari, Tangerang: Lentera Hati: Cetakan I, 2014. Hal. 93-94.