Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ﴿٢٨﴾
“Dan di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, bermacam-macam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fāthir [35]: 28)
Setelah memaparkan bahwa berbagai jenis buah-buahan dan perbedaan warna pegunungan itu berasal dari suatu unsur yang sama —yakni buah-buahan berasal dari air dan gunung-gunung berasal dari magma, ayat ini pun menyitir perbedaan bentuk dan warna makhluk hidup. Ayat di atas menyatakan: Dan di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak yakni unta, sapi dan domba bermacam-macam bentuk, ukuran, jenis dan warnanya seperti itu pula yakni seperti keragaman tumbuhan dan gunung-gunung. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuwan dan karena itu sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Firman-Nya: kadzālika dipahami oleh banyak ulama dalam arti seperti keragaman itu juga terjadi pada makhluk-makhluk hidup itu. Ada juga ulama yang memahaminya dalam arti “seperti itulah perbedaan-perbedaan yang nampak dalam kenyataan yang dialami makhluk”. Ini kemudian mengantar kepada pemyataan berikutnya yang maknanya adalah “Yang takut kepada Allah dari manusia yang berbeda-beda warnanya itu hanyalah para ulama/cendekiawan.”
Ayat ini menggarisbawahi juga kesatuan sumber materi namun menghasilkan aneka perbedaan. Sperma yang menjadi bahan penciptaan dan cikal bakal kejadian manusia dan binatang, pada hakikatnya nampak tidak berbeda dalam kenyataannya satu dengan yang lain. Bahkan sekiranya kita menggunakan alat pembesar sekali pun, sperma-sperma tersebut tampak tidak berbeda. Di sinilah letak salah satu rahasia dan misteri gen dan plasma. Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa faktor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya disebabkan oleh habitat dan makanannya. Maka sungguh benar jika ayat ini menyatakan bahwa para llmuwan yang mengetahui rahasia-rahasia penciptaan sebagai sekelompok manusia yang paling takut kepada Allah.
Kata ‘ulamā’ adalah bentuk jamak dari kata ‘ālim yang terambil dari akar kata yang berarti mengetahui secara jelas, karena itu semua kata yang terbentuk oleh huruf-huruf ‘ain, lām, dan mīm, selalu menunjuk kepada kejelasan, seperti ‘alam/bendera, ‘ālam/alam raya atau makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan, ‘alāmah/alamat. Banyak pakar agama — seperti Ibn ‘Asyur dan Thabathaba’i memahami kata ini dalam arti yang mendalami ilmu agama. Thabathaba’i menulis bahwa mereka itu adalah yang mengenal Allah swt. dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapan mereka.
Thahir Ibn ‘Asyur menulis bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu sebesar itu juga kadar kekuatan khasyat/takut. Adapun ilmuwan dalam bidang yang tidak berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah, serta pengetahuan tentang ganjaran dan balasan-Nya — yakni pengetahuan yang sebenarnya — maka pengetahuan mereka itu tidaklah mendekatkan mereka kepada rasa takut dan kagum kepada Allah. Seorang yang alim yakni dalam pengetahuannya tentang syariat tidak akan samar baginya hakikat-hakikat keagamaan. Dia mengetahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta mengetahui dampak baik dan buruknya, dan dengan demikian dia akan mengerjakan atau meninggalkan satu pekerjaan berdasar apa yang dikehendaki Allah serta tujuan syariat. Kendati dia pada satu saat melanggar akibat dorongan syahwat, atau nafsu atau kepentingan duniawi, namun ketika itu dia tetap yakin bahwa ia melakukan sesuatu yang berakibat buruk, dan ini pada gilirannya menjadikannya meninggalkan pekerjaan itu atau menghalanginya berlanjut dalam kesalahan tersebut sedikit atau secara keseluruhan. Ada pun seorang yang bukan alim, tetapi mengikuti jejak ulama maka upayanya serupa dengan upaya ulama dan rasa takutnya lahir dari rasa takut ulama. Demikian lebih kurang Ibn ‘Asyur.
Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ulama” pada ayat ini adalah “yang berpengetahuan agama” bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa Arab tidaklah mutlak demikian. Siapa pun yang memiliki pengetahuan dan dalam disiplin apapun pengetahuan itu, maka ia dapat dinamai ‘alīm. Dari konteks ayat ini pun, kita dapat memeroleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama itu adalah ilmu yang berkaitan dengan phenomena alam. Sayyid Quthub menamai phenomena alam antara lain yang diuraikan ayat-ayat di atas dengan nama Kitab alam yang sangat indah lembaran-lembarannya dan sangat menakjubkan bentuk dan warnanya. Ulama ini kemudian menulis bahwa: Ulama adalah mereka yang memperhatikan kitab yang menakjubkan itu, karena itu mereka mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal-Nya melalui hasil ciptaan-Nya, mereka menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat kebesaran-Nya dengan melihat hakikat ciptaan-Nya, dari sini mereka takut kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya. Demikian Sayyid Quthub.
Dalam buku Secercah Cahaya Ilahi penulis mengemukakan bahwa ada dua catatan kecil namun amat penting yang perlu digarisbawahi dari ayat ini.
Pertama adalah penekanannya pada keanekaragaman serta perbedaan-perbedaan yang terhampar di bumi. Penekanan ini, diingatkan Allah swt. sehubungan dengan kenekaragaman tanggapan manusia terhadap para nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan Allah. Sebagaimana dikemukakan pada ayat sebelumnya.
Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia mengangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk-bentuk pengamalannya.
Kedua, mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan social, dinamai oleh al-Qur’an ‘ulama. Hanya saja seperti pernyataannya di atas, pengetahuan tersebut menghasilkan khasyat. Khasyat menurut pakar Bahasa al-Qur’an, ar-Rāghib al-Ashfahāni adalah rasa takut yang disertai penghormatan, yang lahir akibat pengetahuan tentang objek. Pernyataan al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanya ulama, mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukan ulama.
Di atas terbaca bahwa ayat ini berbicara tentang fenomena alam dan sosial. Ini berarti para ilmuan sosial dan alam dituntut agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut. Bahkan tidak meleset jika dikatakan bahwa ayat ini berbicara tentang kesatuan -apa yang dinamai “ilmu agama” dan “ilmu umum”. Karena puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, sedang seperti terbaca di atas, ilmuwan sosial dan alam memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial dan pengetahuan mereka tentang Allah. Kesatuan itu dapat lebih diperjelas lagi dengan lanjutan ayat yang dinilai oleh sementara pakar tafsir — seperti al-Biqa‘i dan ar-Razi sebagai penjelasan tentang siapa ulama itu.
Ayat di atas ditutup dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, dapat dipahami sebagai kelanjutan dari bukti ketidakbutuhan Allah terhadap iman kaum musyrikin, kendati Allah selalu menghendaki kebaikan buat mereka. Demikian pendapat Ibn ‘Asyur. Sedang Thabathaba’i menjadikannya sebagai penjelasan tentang sebab sikap ulama itu. Yakni karena ‘izzat/keperkasaan Allah Yang Kuasa menundukkan siapa pun dan Dia tidak ditundukkan oleh siapa pun, maka Dia ditakuti oleh yang mengenal-Nya, selanjutnya karena Dia Maha Pengampun, senantiasa memberi pengampunan dosa dan penghapusan kesalahan, maka para ulama itu percaya dan mendekatkan diri kepada-Nya serta merindukan pertemuan dengan-Nya.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّـهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ ﴿٢٩﴾ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ﴿٣٠﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah dan telah melaksanakan shalat serta telah menafkahkan sebagian dari apa yang Kami anugerahkan kepada mereka, dengan rahasia dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”
Ayat ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya merupakan penjelasan tentang siapa ulama yang disebut oleh ayat yang lalu. Dengan menggunakan kata yang mengandung makna pengukuhan “sesungguhnya”.
Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa membaca kitab Allah mengkaji dan mengamalkan pesan-pesannya dan telah melaksanakan shalat secara baik dan benar serta telah menafkahkan sebagian dari apa yakni rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, baik dengan cara rahasia, diam-diam dan maupun secara terang-terangan, banyak jumlahnya atau sedikit, dalam keadaan mereka lapang atau sempit, mereka yang melakukan hal tersebut dengan tulus ikhlas mengharapkan perniagaan dengan Allah yang hasilnya tidak pernah akan merugi. Mereka dengan amalan-amalan itu mengharap agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun segala kekhilafan lagi Maha Mensyukuri segala ketaatan.
Walaupun kita tidak harus memahami ayat di atas sebagai penjelasan tentang siapa ulama, namun demikian, paling tidak ia mengisyaratkan perlunya keterkaitan yang erat antara ilmu-ilmu alam dan sosial dengan ayat-ayat al-Qur’an. Yang itu adalah ayat-ayat Allah yang terhampar dan dibaca oleh mata kepala serta dipikirkan oleh nalar, dan ini adalah ayat-ayat-Nya yang terbentang dan dibaca oleh lidah serta dicamkan oleh hati. Karena itu, kalau seorang ilmuwan alam dan sosial tidak mampu menggabung dalam dirinya apa yang dinamai “ilmu agama”dan “ilmu umum”, maka paling tidak ia harus dapat memberikan warna spiritual pada ilmunya, antara lain melalui motivasi dan penerapan ilmu tersebut, sehingga pada akhirnya ia pun dapat menyandang gelar ulama yang takut dan kagum kepada Allah.
Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja mudhāri‘ (masa kini dan datang) ketika berbicara tentang yatluna kitaba Allah/membaca kitab Allah sebagai isyarat bahwa mereka senantiasa dan dari saat ke saat membacanya, apalagi ketika turunnya ayat ini, belum lagi rampung turunnya semua ayat al-Qur’an. Pelaksanaan shalat dan bernafkah dilukiskan oleh ayat di atas dengan menggunakan bentuk kata kerja masa lampau. Ini -menurut Ibn ‘Asyur— karena ketetapan tentang keduanya telah mereka ketahui dan telah mantap, berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang masih berlanjut proses turunnya. Sedang menurut al-Biqa‘i, penggunaan bentuk kata kerja masa lampau itu, sebagai perintah halus dan anjuran agar selalu bersegera melakukannya. Maksudnya karena adanya kesegeraan itu, sehingga ayat di atas bagaikan berkata “mereka telah melakukannya walau baru saja diperintahkan”.
Ayat di atas mendahulukan kata sirran/rahasia atau sembunyi-sembunyi untuk mengisyaratkan dalamnya ketulusan mereka, dan bahwa dalam banyak hal, berinfak secara diam-diam lebih baik daripada secara terang-terangan. Di sisi lain, penyebutan kata ‘alāniyatan/terang-terangan di samping untuk mengisyaratkan bahwa berinfak dengan terang-terangan tidak selalu harus dinilai tidak tulus, juga untuk menunjukkan bahwa dalam hal-hal tertentu berinfak seperti itu diperlukan, guna menghilangkan buruk sangka terhadap yang kaya, atau guna merangsang yang lain melakukan hal serupa. Bagi sahabat Nabi Muhammad saw. —ketika itu— boleh jadi ini untuk menunjukkan bahwa kendati kaum musyrikin memusuhi umat Islam dan menghendaki kebinasaan mereka, namun antar sesama muslim selalu menunjukkan solidaritas, mereka tidak segan dan tidak takut kepada kaum musyrikin yang bermaksud buruk kepada mereka.
Kata tijarah/perdagangan digunakan al-Qur’an antara lain sebagai ungkapan hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Memang al-Qur’an dalam mengajak manusia mempercayai dan mengamalkan tuntunan-tuntunannya —dalam segala aspek— sering kali menggunakan istilah-istilah yang dikenal oleh dunia bisnis; seperti perdagangan, jual beli, untung rugi, kredit dan sebagainya. Perhatikan antara lain firman-Nya di sini atau:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿١٠﴾
‘Wahai orang-orang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan satu perniagaan yang menyelamatkan kamu dari siksa yang pedih” (QS. ash-Shaff [61]: 10).
Atau firman-Nya:
مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّـهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ ﴿١١﴾
“Siapakah yang ingin memberi qardh (kredit) kepada Allah dengan kredit yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (qardh itu) untuknya dan dia akan memperoleh ganjaran yang banyak” (QS. al-Ḥadīd [57]: 11).
Imbalan perniagaan itu, atau keuntungannya adalah:
يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٢﴾
“Allah mengampuni dosa-dosa kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggi yang baik di dalam surga Adn. Itulah keuntunganyang besar” (QS. ash-Shaff [61]: 12)
Mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kecuali bila memperoleh keuntungan, dilayani oleh al-Qur’an dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan.
إِنَّ اللَّـهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh surga.”
Ayat ini ditutup dengan pernyataan:
وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّـهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١١١﴾
“Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah. Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah keberuntungan yang besar” (QS. at-Taubah [9]: 111).
Demikian terlihat al-Qur’an menggunakan logika pelaku bisnis dalam menawarkan ajaran-ajarannya. Memang seperti tulis Ibn Sina dalam bukunya al-‘Isyārāt wa at-Tanbihāt, beragam motivasi manusia beribadah kepada Allah, ada yang melakukannya bagai perlakuan hamba sahaya kepada tuannya, dia melakukan aktivitas karena takut menerima hukuman; ada juga seperti pelaku bisnis yang selalu memperhitungkan untung rugi, dan ada lagi yang terdorong oleh cinta, bagai cinta ibu kepada anak-anaknya. Ayat yang ditafsirkan ini bagaikan berdialog dengan para pelaku bisnis itu.
Kata syakūr adalah bentuk mubālaghah (superlatif) dari kata syākir. Menurut pakar-pakar bahasa, tumbuhan yang tumbuh walau dengan sedikit air, atau binatang yang gemuk walau dengan sedikit rumput, keduanya dinamai syakūr. Dari sini mereka berkata bahwa Allah yang bersifat Syakūr, antara lain berarti: Dia yang mengembangkan walau sedikit dari amalan hamba-Nya, dan melipatgandakannya. Pelipatgandaan itu dapat mencapai 700 bahkan lebih dan tanpa batas sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 261.
Imam Ghazali mengartikan syakūr sebagai “Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan/ketaatan yang sedikit, dia yang menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas. Siapa yang membalas kebajikan dengan berlipat ganda maka dia dinamai mensyukuri kebajikan itu, dan siapa yang memuji yang berbuat baik, dia pun dapat dinamai mensyukurinya.
Sumber: Tafsir Al-Mishbah