Panrita.id

Muhammadiyah-NU Nobel Perdamaian

Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)

Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) (disebut berdasarkan urutan alfabet awal nama masing-masing) untuk Nobel Perdamaian. Upaya ini bukan hal mudah. Hal ini disadari betul sejak awal munculnya ide menominasikan kedua ormas terbesar Islam Indonesia dari Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis.

Nobel Peace Prize sangat kompetitif. Untuk tahun 2019, menurut situs resmi Nobelprizeorg, ada 301 nomine yang diajukan berbagai nominator untuk mendapat penghargaan sangat prestisius ini. Jumlah kandidat (nomine) 2019 menduduki tempat keempat; pertama tertinggi pada 2016 dengan 376 kandidat. Kandidat 2019 terdiri atas 223 individu dan 78 organisasi.

Apakah Muhammadiyah-NU dapat terpilih sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2019? Wallahu a’lam bishshawab. Komite Nobel sangat merahasiakannya; tidak ada isyarat (hints atau clues). Masyarakat internasional hanya bisa menunggu sampai Komite Nobel mengumumkannya pada awal Oktober 2019; dan pada 10 Desember 2019, pemenang bakal menerima hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia.

Jika tidak terpilih sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2019, Muhammadiyah dan NU dapat diajukan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Inilah salah satu poin yang dihasilkan dalam dua Seminar (19 dan 20/6/19) di Oslo yang diselenggarakan atas kerja sama KBRI Oslo dan CSIS Jakarta dan Peace Research Institute Oslo (PRIO) untuk mempromosikan Muhammadiyah dan NU sebagai kandidat penerima hadiah Nobel Perdamaian.

Promosi Muhammadiyah dan NU di Oslo sekali lagi jelas merupakan upaya strategis memperkenalkan kiprah kedua ormas ini dalam perdamaian khususnya. Namun, promosi ini tak bisa lain menjadi bagian dari upaya memperkenalkan Indonesia atau lebih khusus, Islam Indonesia, kepada publik Eropa dan dunia internasional lebih luas.

Tak banyak masyarakat internasional di berbagai benua, bahkan di Dunia Muslim sekalipun yang tahu mengenai Muhammadiyah dan NU. Jangankan Muhammadiyah, NU dan banyak ormas Islam lain seluruh Tanah Air, Indonesia saja sebagai negara Muslim terbesar tidak mereka kenal.

Sebagaimana bisa dicermati dari wacana yang berkembang dan pengamatan langsung di lapangan, masyarakat Eropa (dan Barat umumnya) lebih mengenal dan cenderung mengidentikkan Islam dengan Dunia Arab, atau Pakistan dan Bangladesh. Oleh karena itu, dalam persepsi mereka pemikiran dan praksis Islam dari kawasan-kawasan itu adalah representasi Islam.

Islam Indonesia nyaris absen dalam persepsi Eropa (Barat umumnya). Masyarakat Eropa dan dunia Barat lain umumnya tidak mengetahui sejumlah fakta dasar tentang Indonesia, khususnya terkait Islam.

Oleh karena itulah Duta Besar Indonesia, Todung Mulya Lubis, mencatat: “Despite being the worlds most populous Muslim-majority country, Indonesia has not had a central place in European discussion of the changing social and political role of Islam. This seminar aims to contribute to correcting this by providing an arena for critical discussion of the interplay between politics, religion and civil society in Indonesia today”.

Lebih jauh, Dubes mencatat: “Indonesia has a strong tradition of moderate Islam. Mowever, a more radical strain of Islam are on the rise; and questions of religious identity are playing an increasingly significant role in Indonesian politics, not least in the last general election. Civil society [such as Muhammadiyah and NU] have played a central role in cementing the influence of moderate forms of Islam in Indonesia”.

Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, kedua seminar di Oslo berfokus pada peran Muhammadiyah dan NU sebagai agen perdamaian, tidak hanya dalam sejarahnya yang panjang, tetapi lebih-lebih lagi pada masa kontemporer. Inilah masa yang ditandai peningkatan radikalisme dan intoleransi yang mengancam perdamaian dan peradaban.

Seminar pertama bertajuk “The Role of Civil Society in Facing Radicalism in Indonesian Society” 19/6/2019 di kampus Oslo Metropolitan University. Seminar yang dibuka Dubes RI untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis ini menghadirkan dua pembicara: Dr Abdul Muthi, sekretaris umum PP Muhammadiyah; dan Dr Marsudi Syuhud, ketua PB NU; keduanya banyak membicarakan peran masing-masing organisasi, pertama-tama sebagai ormas dakwah dan pendidikan.

Tetapi, tak kurang pentingnya sebagai organisasi civil society yang memiliki peran krusial dalam menciptakan dan memelihara perdamaian. Peran ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan radikalisme yang berkecambah secara global—termasuk di Indonesia—sejak awal milenium baru.

Sedangkan, seminar kedua untuk pengenalan Muhammadiyah dan NU sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel diselenggarakan Dubes Mulya Lubis/KBRI bekerja sama dengan Peace Research Institute Oslo (PRIO) pada 20 Juni 2019. Seminar ini berhasil menghadirkan audiens yang cukup beragam, sejak dari pejabat Kemenlu Norwegia, guru besar, peneliti, dan peminat kajian tentang Indonesia, dan juga diplomat dari negara-negara sahabat.

Seminar bertajuk Challenging Islamic Extremism in Indonesia menghadirkan pembicara kunci Pastor Romo Magnis Suseno, Yenni Wahid, dan penulis testimoni ini.

Tampil dua pembahas dari pihak Norwegia, Marte Nielsen dan Trond Bakkevig, yang keduanya peneliti senior PRIO. Selain itu, juga ada Philip Vermonte, direktur CSIS; Rikard Bangun (jurnalis senior Harian Kompas); dan Nezar Patria (pemred harian the Jakarta Post).

Meski seminarnya berjudul Islamic Extremism, pembicaraan lebih banyak terpusat pada berbagai kiprah penting Muhammadiyah dan NU sebagai Islamic-based Civil Society dalam turut membangun dan mempertahankan perdamaian. Peran ini tidak hanya penting dalam masa penjajahan, tetapi lebih-lebih lagi di masa kontemporer yang penuh tantangan radikalisme dan intoleransi.

Membuka Seminar, Dubes Todung Mulya Lubis sempat menyatakan kece masannya tentang masa depan Indonesia berhadapan dengan tendensi radikalisme dan intoleransi yang kelihatan terus bertahan jika meningkat. Jangan-jangan Indonesia nanti tinggal nama, kata dia. Menghadapi gejala mencemaskan itu, Dubes Mulya Lubis memandang urgensi penguatan moderasi Islam yang diwakili banyak ormas Islam, khususnya Muhammadiyah dan NU yang merupakan ormas terbesar di Indonesia.

Sambutan seminar juga diberikan Atle Konta Midttun, direktur keamanan global dan perlucutan persenjataan Kementerian Luar Negeri Norwegia. Midttun menekankan pentingnya kerja sama internasional dalam merespons dan menanggulangi ekstremisme dan radikalisme. Karena itu, seminar mengenai peran Muhammadiyah dan NU dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme merupakan kontribusi signifikan.

Tak kurang penting, seminar dipimpin Henrik Urdal, direktur Peace Research Institute Oslo (PRIO). Yang menarik, PRIO membuat Henrik Urdal’s 2019 Nobel Prize Shortlist.

Memang, dalam daftar pendek Henrik Urdal untuk kali ketiga sejak dia menjadi direktur pada 2017 belum terdapat nama Muhammadiyah dan NU. PRIO berdasarkan berbagai informasi menyusun daftar (tidak lengkap) kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian, termasuk dalam daftar itu Muhammadiyah dan NU.

Dengan memimpin langsung seminar mengenai peran kedua ormas ini dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme, Henrik Urdal dapat mengetahui lebih banyak tentang Muhammadiyah dan NU. Dengan begitu, ormas Islam Indonesia ini dapat masuk ke dalam Daftar Singkat [Kandidat] Hadiah Nobel 2019.

Henrik Urdal tidak berbicara tentang daftar singkatnya mengenai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2019, termasuk tentang kemungkinan dia memasukkan Muhammadiyah dan NU ke dalamnya. Urdal juga tidak berbicara banyak tentang subjek ekstremisme dan radikalisme. Dia lebih banyak memperkenalkan ketiga pembicara dari Indonesia dan dua pembahas dari Norwegia sendiri.

Pembicaraan seminar substantif dimulai dengan presentasi Pastor Profesor (Emeritus) Romo Franz Magnis-Suseno. Dalam presentasinya, Magnis ingin menjelaskan mengapa dia beserta sejumlah temannya mendukung nominasi Muhammadiyah dan NU untuk mendapatkan anugerah Hadiah Nobel Perdamaian. Dia menyatakan sangat mengenal kedua ormas civil society Islam terbesar di Indonesia atau bahkan secara global.

Dalam pandangan Magnis, Indonesia yang sampai sekarang berhasil tetap menjadi negara damai, toleran, progresif, dan secara ekonomi sukses, terkait banyak dengan kualitas penduduk Muslimnya. Di sini peran kedua organisasi masyarakat sipil yang besar, Muhammadiyah dan NU sangat menentukan (decisive).

Magnis melanjutkan: Kedua ormas ini terus memberi dukungan sepenuhnya pada pluralisme, kebebasan beragama, dan keterbukaan demokratis; dan juga karena keduanya secara konsisten menolak diskriminasi atas dasar agama; menolak Islamisasi dalam pengertian syariah menjadi hukum negara; dan juga menolak ekstremisme dan radikalisme. Adalah karena sikap dan pengaruhnya yang kuat membuat Indonesia terus tetap moderat, sehingga Indonesia dapat menikmati kedamaian; dan sekaligus menjadi faktor penjamin stabilitas di Asia Tenggara dan dunia global lebih luas.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan yang kuat, Romo Magnis memandang bahwa penciptaan situasi damai secara internasional sangat tertolong dengan memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada Muhammadiyah dan NU.Therefore, I fully support the bid to nominate Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama for the Nobel Prize in 2019.

Seminar roadshow untuk sosialisasi pencalonan Muhammadiyah-NU mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 2019 diselenggarakan di jantung Komite Nobel, Oslo, Norwegia (20/6). Seminar bertajuk “Challenging Islamic Extremism in Indonesia” diselenggarakan atas prakarsa Dubes Todung Mulya Lubis/KBRI (bekerja sama dengan CSIS Jakarta) dan Peace Research Institute Oslo (PRIO).

Seminar menghadirkan pembicara kunci Pastor Profesor Franz Magnis-Suseno, Yenni Wahid, dan penulis “Resonansi” ini. Tampil dua peneliti senior PRIO: Marte Nielsen dan Trond Bakkevig. Selain itu, juga ada Philip Vermonte, direktur CSIS; Rikard Bagun (jurnalis senior harian Kompas); dan Nezar Patria (pemred harianthe Jakarta Post).

Seminar dipimpin Henrik Urdal, direktur Peace Research Institute Oslo (PRIO).

Yang menarik, PRIO membuat “Henrik Urdal’s 2019 Nobel Prize Shortlist”. Memang, dalam daftar pendek Henrik Urdal untuk ketiga kali sejak dia menjadi direktur pada 2017 ini belum ada nama Muhammadiyah dan NU. Namun, PRIO menyusun daftar kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian, yang termasuk Muhammadiyah dan NU.

Memimpin langsung seminar mengenai peran kedua ormas ini dalam menghadapi ekstremisme dan radikalisme, Henrik Urdal dapat mengetahui lebih banyak tentang Muhammadiyah dan NU. Dengan begitu, ormas Islam Indonesia ini diharapkan dapat masuk ke dalam “Daftar Singkat [Kandidat] Hadiah Nobel 2019”.

Pembicaraan Romo Magnis yang tampil sebagai pembicara pertama sudah dijelaskan dalam “Resonansi” lalu. Tanpa mengulangi, yang paling penting adalah Romo Magnis mendukung sepenuhnya pencalonan Muhammadiyah-NU untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 2019.

Bertajuk “Islamic Extremism”, seluruh pembicara lebih banyak bicara tentang kiprah penting Muhammadiyah dan NU sebagai Islamic-based civil society dalam membangun dan mempertahankan perdamaian. Peran ini telah dimainkan sejak masa kolonial, berlanjut di masa kemerdekaan dengan berbagai gejolak perubahan sampai masa sekarang yang tengah berjalan.

Tampil setelah Franz Magniz-Suseno, penulis “Resonansi” ini (Azra) memulai pembicaraan dengan “mengonter” pernyataan Dubes Todung Mulya Lubis dalam pembukaan seminar. Dubes merasa cemas dengan masa depan Indonesia menghadapi tendensi radikalisme dan intoleransi yang kelihatan terus meningkat.

“Jangan-jangan Indonesia nanti tinggal nama,” kata dia. Untuk itu, Dubes Mulya Lubis melihat urgensi penguatan moderasi Islam, khususnya lewat Muhammadiyah dan NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia.

Menurut penulis “Resonansi” ini, pesimisme tentang bertahannya Indonesia yang bersatu bukan baru. “Sejak menjelang berakhirnya Perang Dunia II, sudah ada sarjana Inggris, JS Furnival, yang meramalkan, jika kolonial Belanda tidak kembali berkuasa, Indonesia akan pecah berkeping—karena menurut dia tidak ada faktor yang mempersatukan negeri ini.”

Ramalan gelap Furnival, alhamdulillah, tidak menjadi kenyataan. Tetapi, skenario gelap itu tetap saja muncul dari waktu ke waktu, khususnya pada saat krisis politik. Contohnya ketika Indonesia mengalami gelombang demokrasi berikutan dengan krisis moneter, ekonomi, dan politik 1997-1998.

“Banyak kalangan ahli dan pengamat asing yang bicara tentang Balkanisasi Indonesia, yaitu terpecahnya Indonesia seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan Cekoslovakia—negara-negara di Semenanjung Balkan, Eropa Timur.”

Sekali lagi, Indonesia terhindar dari skenario menyeramkan tersebut. Kenyataan ini tidak terlepas dari corak masyarakat Indonesia yang beragam, tetapi dengan moderasi Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk. “Sikap akomodatif dan inklusif moderasi Islam membuat Indonesia yang sangat plural terus bisa bertahan.”

“Lebih jauh, meski masih saja ada pihak yang mengkhawatirkan Indonesia pecah di masa depan, saya tetap optimistis selama kita bisa menjaga Pancasila. Saya yakin Muhammadiyah dan NU adalah guardian Pancasila dan nilai kebangsaan lain. Keduanya berperan besar dalam menjaga kohesi sosial dalam transisi damai menuju demokrasi. Seusai pemilu demokratis 1999, Gus Dur yang ketua umum PBNU menjadi presiden dan Amien Rais, ketua umum PP Muhammadiyah, menjadi ketua MPR RI.”

Sedangkan, Yenny Wahid, pendiri The Wahid Foundation, sebagai pembicara terakhir menekankan pentingnya NU dan Muhammadiyah untuk kembali menjadi aktor utama dalam melakukan kontra-narasi dan kontra-identitas, bukan hanya terhadap gejala radikalisme yang meningkat, tetapi juga terhadap penyebaran hoaxes dan fake news dalam media sosial.

“NU dan Muhammadiyah perlu terus bersuara lantang melawan tantangan intoleransi, ekstremisme, dan radikalisme. Tantangan ini tidak ringan dan sederhana. Oleh karena itu, NU dan Muhammadiyah perlu dukungan kerja lapangan lintas agama dan kelompok sosial untuk menjaga kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian bangsa Indonesia.”

Sumber:

https://republika.co.id/berita/pufo29282/kolom/resonansi/19/07/04/pu46eb282-muhammadiyahnu-nobel-perdamaian-1

https://republika.co.id/berita/pufo29282/kolom/resonansi/19/07/04/pu49fa282-muhammadiyahnu-nobel-perdamaian-2

https://republika.co.id/berita/pufo29282/muhammadiyahnu-nobel-perdamaian-3