Panrita.id

Konservatisme Agama

Oleh: Prof. Azyumardi Azra, MA., MA., M. Phill., Ph. D. CBE.(Profil)

Guru Besar Sejarah dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah 1998-2006

Dalam waktu kurang dua pekan terakhir ini (tulisan ini bertanggal Kamis 01 Aug 2019 di Republika.co.id), penulis “Resonansi” ini memenuhi permintaan untuk berbicara tentang ‘kebangkitan konservatisme agama’ di Indonesia. Yang pertama adalah ceramah umum di depan sejumlah mahasiswa pascasarjana dan dosen-dosennya di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Tajuk ceramah yang disampaikan dalam bahasa Inggris itu: “Rising Religious Conservatism in Indonesia: Socio-cultural, Economic and Political Impacts”.

Kesempatan kedua adalah wawancara sebuah media internasional yang menurunkan laporan tentang berbagai aspek kehidupan agama di Indonesia menjelang peringatan hari kemerdekaan RI 74 tahun, 17 Agustus 2019. Salah satu bagian panjang dari wawancara itu adalah tentang “kebangkitan konservatisme agama dan dampaknya terhadap Indonesia hari ini dan ke depan”.

Apa yang ada dalam pikiran kedua pihak yang meminta saya berbicara tentang “kebangkitan konservatisme agama”? Dari proposal dan kerangka berpikir dan pertanyaan yang mereka ajukan terlihat bahwa “konservatisme agama” yang mereka maksudkan tidak lain adalah “konservatisme Islam”.

Juga ada nada kecemasan yang cukup tinggi tentang masa depan Indonesia dalam ungkapan mereka ketika berbicara tentang kebangkitan konservatisme Islam di negeri ini. Dalam pandangan mereka, Indonesia yang bersatu, rukun, damai, dan harmonis dalam keragaman keagamaan, mungkin hanya tinggal kenangan dalam beberapa waktu ke depan.

Wacana tentang kebangkitan konservatisme Islam Indonesia juga telah menjadi agenda kajian di kalangan Indonesianis dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian mereka menyebut gejala atau fenomena tersebut sebagai conservative turn, berpaling atau membelok menjadi konservatif. Lazimnya gejala consevative turn itu mereka kaitkan dengan dinamika politik, khususnya Pilkada DKI 2017-2018 dan pilpres 2019.

Persepsi tentang fenomena kebangkitan konservatisme Islam semacam itu boleh jadi mencerminkan adanya prasangka (prejudice) dan bias terhadap Islam dan sekaligus kaum Muslimin Indonesia; walaupun yang memiliki persepsi seperti itu juga banyak kalangan Muslim Indonesia sendiri. Dengan berbaik sangka, boleh jadi prejudice dan bias itu karena mereka tidak memiliki pengetahuan memadai tentang dinamika Islam Indonesia dengan kaum Musliminnya yang begitu banyak.

Karena itulah perlu kesabaran dan ketekunan menjelaskan berbagai fenomena agama di Indonesia—termasuk Islam. Dengan begitu, dapat diperoleh pandangan lebih adil dan jauh dari bias dan prasangka.

Dalam pengamatan dan kajian lebih cermat, kebangkitan konservatisme agama di Indonesia sebenarnya tidak menyangkut hanya Islam. Konservatisme dapat dikatakan melanda semua agama, khususnya enam agama yang disebut sebagai agama yang diakui negara (state recognized religions), yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Gejala peningkatan konservatisme di kalangan penganut masing-masing agama bisa dicermati dalam contoh-contoh berikut. Ada kalangan agama tertentu yang sangat agresif dalam menyebarkan agamanya, merekrut penganut agama dan denominasi intra-agamanya. Pihak agresif ini percaya denominasinya sebagai satu-satunya kebenaran; karena itu pengikut agama lain atau denominasi lain harus dibawa ke satu-satunya jalan keselamatan. Dalam kasus semacam ini sering terdengar ungkapan: “Domba gembalaan kami telah dicuri pihak lain”.

Ada pula agama lain yang melarang penggunaan bahasa tertentu, khususnya bahasa Sanskerta oleh penganut agama lain. Penganut agama ini, yang memperlihatkan peningkatan konservatisme percaya bahasa Sanskerta sebagai hak istimewa (privilege) agama mereka, yang tidak boleh digunakan penganut agama lain.

Dengan peningkatan konservatisme yang melintasi batas-batas berbagai agama (across the board), pengamat bisa menyaksikan adanya fenomena penganut agama yang merasa ‘lahir kembali’. Misalnya ada penganut agama yang merasa menjadi born again Christian. Gejala semacam itu juga ada di kalangan Muslim sehingga memunculkan born again Muslim.

Para penganut agama yang merasa lahir kembali dalam agamanya masing-masing lazim mengalami turning point (titik balik) dalam pengalaman keagamaan. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya titik balik itu, baik intra-agama, maupun yang terkait dengan sosial-budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang makna konservatisme agama. Dalam wacana akademik, konservatisme agama sering disebut ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’ yang berarti pemahaman dan praktik agama konservatif, yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar.

Penulis Resonansi ini selain menggunakan istilah ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’, juga menggunakan istilah ‘neo-conservatism’. Dalam kerangka istilah terakhir ini, neokonservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.

Terlepas dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktik agama berdasarkan perkembangan modern tertentu. Konservatisme agama, misalnya menolak gejala modern seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan, bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.

Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sangat cepat serta berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praktik keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.

Secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respons dan reaksi terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan krisis politik.

Menghadapi keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan menempuh jalan konservatisme agama. Gejala ini pada spektrum ekstrem sering juga muncul dalam bentuk ‘fundamentalisme agama’—yang dalam perkembangan nya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.

Dalam perkembangan inilah muncul politik identitas yang sangat kental bernuansa agama; bersikap antiterhadap agama tertentu, juga anti terhadap penganut agama tertentu. Gejala politik identitas ini tegasnya terlihat muncul dalam sikap anti-islam dan anti-Muslim di kalangan politisi dan kelompok masyarakat tertentu di sejumlah negara Eropa dan AS.

Sedangkan di negara-negara tengah berkembang atau bahkan masih terkebelakang di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, konservatisme agama muncul di kalangan masyarakat karena mereka memandang adanya kegagalan modernitas, sekularisme, pembangunan, dan globalitas dari pemerintah masing-masing. Tak kurang pentingnya, juga karena mereka memandang kegagalan negara dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan warganya.

Dengan demikian, sekali lagi, konservatisme agama bukan hanya melanda satu agama atau penganut agama di satu negara atau wilayah tertentu. Kebangkitan konservatisme agama sudah menjadi fenomena global dalam lebih tiga dasawarsa terakhir.

Di Indonesia, gejala konservatisme agama terlihat pada seluruh agama yang diakui negara—Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi karena Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya atau the single largest religion di Indonesia, kebangkitan konservatisme itu paling terlihat di kalangan kaum Muslimin.

Bagi banyak pengamat Islam Indonesia, gejala peningkatan konservatisme keagamaan (Islam) paling jelas terlihat dari terus meluasnya pemakaian jilbab. Bagi banyak pengamat, semakin meluasnya pemakaian jilbab mengandung berbagai implikasi negatif terhadap masa depan negarabangsa Indonesia dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Para pengamat tersebut umumnya tidak bisa membedakan berbagai bentuk jilbab sejak yang sederhana. Atau fashionable yang sering disebut sebagai ‘hijab’ di kalangan Muslimah kelas menengah sampai pada jilbab ideologis.

Selain itu, mereka juga melihat meningkatnya adopsi gaya hidup yang ditolak modernitas seperti poligami. Atau meningkatnya gaya hidup halal atau berbasis syariah. Bahkan, juga yang lebih berorientasi politik pada pembentukan khilafah atau dawlah Islamiyah.

Penulis Resonansi ini selain menggunakan istilah ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’, juga menggunakan istilah ‘neo-conservatism’. Dalam kerangka istilah terakhir ini, neokonservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.

Terlepas dari berbagai istilah tersebut dengan cakupan dan konotasi masing-masing, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktik agama berdasarkan perkembangan modern tertentu. Konservatisme agama, misalnya menolak gejala modern seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan, bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.

Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sangat cepat serta berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praktik keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.

Secara global, kebangkitan konservatisme agama juga merupakan respons dan reaksi terhadap berbagai fenomena yang terus dihadapi masyarakat umumnya. Di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, kebangkitan konservatisme agama itu banyak terkait dengan kesulitan ekonomi dan krisis politik.

Menghadapi keadaan yang terus sulit, kalangan masyarakat beserta politisi sayap kanan menempuh jalan konservatisme agama. Gejala ini pada spektrum ekstrem sering juga muncul dalam bentuk ‘fundamentalisme agama’—yang dalam perkembangan nya digunakan untuk mewujudkan agenda religio-politik tertentu.

Dalam perkembangan inilah muncul politik identitas yang sangat kental bernuansa agama; bersikap antiterhadap agama tertentu, juga anti terhadap penganut agama tertentu. Gejala politik identitas ini tegasnya terlihat muncul dalam sikap anti-islam dan anti-Muslim di kalangan politisi dan kelompok masyarakat tertentu di sejumlah negara Eropa dan AS.

Sedangkan di negara-negara tengah berkembang atau bahkan masih terkebelakang di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, konservatisme agama muncul di kalangan masyarakat karena mereka memandang adanya kegagalan modernitas, sekularisme, pembangunan, dan globalitas dari pemerintah masing-masing. Tak kurang pentingnya, juga karena mereka memandang kegagalan negara dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan warganya.

Dengan demikian, sekali lagi, konservatisme agama bukan hanya melanda satu agama atau penganut agama di satu negara atau wilayah tertentu. Kebangkitan konservatisme agama sudah menjadi fenomena global dalam lebih tiga dasawarsa terakhir.

Di Indonesia, gejala konservatisme agama terlihat pada seluruh agama yang diakui negara—Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi karena Islam adalah agama yang paling banyak penganutnya atau the single largest religion di Indonesia, kebangkitan konservatisme itu paling terlihat di kalangan kaum Muslimin.

Bagi banyak pengamat Islam Indonesia, gejala peningkatan konservatisme keagamaan (Islam) paling jelas terlihat dari terus meluasnya pemakaian jilbab. Bagi banyak pengamat, semakin meluasnya pemakaian jilbab mengandung berbagai implikasi negatif terhadap masa depan negara bangsa Indonesia dengan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Para pengamat tersebut umumnya tidak bisa membedakan berbagai bentuk jilbab sejak yang sederhana. Atau fashionable yang sering disebut sebagai ‘hijab’ di kalangan Muslimah kelas menengah sampai pada jilbab ideologis.

Selain itu, mereka juga melihat meningkatnya adopsi gaya hidup yang ditolak modernitas seperti poligami. Atau meningkatnya gaya hidup halal atau berbasis syariah. Bahkan, juga yang lebih berorientasi politik pada pembentukan khilafah atau dawlah Islamiyah.

Adanya kebangkitan konservatisme penganut agama atau kelompok umat berbagai agama di Indonesia adalah fenomena yang sangat observable, tidak hanya oleh ahli, tapi orang awam sekalipun. Sekali lagi fenomena itu paling terlihat pada para penganut Islam; dan ini tak lain terkait dengan realitas demografis, mayoritas penduduk Indonesia (menurut sensus 2010, 88,2 persen) adalah beragama Islam.

Sebelum bicara lebih jauh tentang “kebangkitan konservatisme” di kalangan umat Islam, penting ditekankan, fenomena ini pada dasarnya merupakan bagian integral dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan, khususnya sejak akhir 1970-an. Dinamika itu dapat disebut sebagai terus meningkatnya “santrinisasi”—menjadi “santri” dengan menjadi Muslim yang menjalankan ajaran Islam (practising Muslims).

Gejala peningkatan santrinisasi itu oleh sebagian Indonesianis, seperti Profesor MC Ricklefs, ahli sejarah Indonesia, khususnya Jawa, menyebutnya sebagai “Islamisasi”. Fenomena yang disebut penulis sebagai “santrinisasi”, dalam pandangan Ricklefs adalah “Islamisasi”, yang di Jawa—dan juga di Indonesia secara keseluruhan—telah berlangsung secara kontinu dan intens lebih dari enam abad. Bisa dipastikan, proses itu terus berlanjut dewasa ini dan pada masa depan.

Ricklefs dalam trilogi bukunya yang sangat monumental (Mystic Synthesis in Java, Polarizing Javanese Society, dan Islamisation and Its Opponents in Java) tentang enam abad Islamisasi di Jawa menggambarkan dalam buku ketiga tentang proses Islamisasi yang berlangsung sangat intens dalam tiga dasawarsa terakhir. Adanya pihak yang tidak menginginkan Islamisasi (opponents) tidak mampu menghalangi. “Islamisasi yang ada tidak bisa dihentikan dan juga tidak bisa dimundurkan”.

Kesimpulan Ricklefs ini hampir sama dengan refleksi akhir Harry J Benda yang menulis buku penting The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam during the Japanese Occupation (1958). Berhadapan dengan berbagai kesulitan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, sejarah Islam Indonesia, kata Benda, adalahhistory of the progress of santri culture.

Jika fenomena kebangkitan agama—mencakup konservatisme—di negara-negara lain di Eropa dan Amerika Serikat banyak terkait dengan kemunduran ekonomi, di Indonesia justru sebaliknya. Kebangkitan agama, khususnya di kalangan umat Islam, banyak bersumber dari kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi dan pendidikan yang mulai terjadi secara signifikan sepanjang 1970-an.

Sekali lagi, faktor demografi menjadikan kaum Muslimin sebagai penerima manfaat terbesar (greatest beneficiaries) dari berbagai kemajuan dalam pembangunan yang dilaksanakan rezim Orde Baru. Perbaikan atau kemajuan ekonomi dan pendidikan sejak masa Orde Baru pada 1970-an dan seterusnya melahirkan “ledakan kaum terpelajar Muslim” (intelligentsia boom).

Dengan pendidikan sarjana muda (BA/bachelor of arts, kini S-1) mereka kemudian mengisi berbagai sektor pekerjaan, baik lembaga pemerintah, institusi swasta dan pranata masyarakat. Sebagian kecil mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana (doktorandus/Drs/Dra, atau S-2) dan Dr/PhD atau S-3. Dari pihak terakhir inilah kemudian muncul sebagian besar yang disebut sebagai new Muslim intellectual.

Semua mereka kemudian mendapatkan penghasilan tetap (steady income) yang memungkinkan mereka tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi cepat atau lambat untuk juga mengkredit rumah atau kendaraan. Ketika terjadi perbaikan gaji dan upah secara bertahap tahun demi tahun, mereka ini kemudian akhirnya bisa mengirim anak-anak mereka belajar ke “sekolah elite” yang mahal.

Mereka inilah yang disebut sebagai kelas menengah Muslim (Muslim middle class).

Bisa dipastikan jumlah mereka terus meningkat dari waktu ke waktu di tengah perkembangan ekonomi Indonesia yang relatif stabil sejak masa pembangunan sampai sekarang ini. Jika ada krisis ekonomi, maka itu berlangsung relatif singkat, misalnya antara 1997-1999.

Kelas menengah Muslim ini menampilkan orientasi keislaman baru, new attachment to Islam. Kecintaan baru pada Islam itu diekspresikan dengan adopsi ketaatan baru pada ibadah-ibadah Islam. Selain itu juga diwujudkan dengan gaya hidup yang mereka anggap lebih Islami, seperti memakai jilbab.

Meski mengekspresikan Islam secara lebih jelas dan tegas, mayoritas kelas menengah Muslim Indonesia tetap menempuh jalan moderasi, yang dalam bahasa Qurani, ummatan wasathan—jalan tengah, tanpa harus tergelincir ke dalam sikap ekstrem. Tetapi, sebagian mereka bergerak lebih ke kanan, menjadi lebih kaku dan rigid—mereka ini kemudian dapat disebut sebagai kaum konservatif.

Sumber:

https://republika.co.id/berita/pvistt282/konservatisme-agama-1

https://republika.co.id/berita/pwam8a282/konservatisme-agama-2

https://republika.co.id/berita/pwambh282/konservatisme-agama-3