Panrita.id

Bilangan Takbir dan Tempat Shalat Id

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Tentang praktik shalat Id. Ada yang melaksanakan takbiratul ihram sekali namun ada yang tujuh kali. Dan dimana letak keutamaan dilakukan di Masjid atau di lapangan. Apa dasar dari semua ini dan mana yang lebih ideal?

Jawaban:

Yang pertama perlu diketahui bahwa semua ulama berpendapat bahwa takbiratul ihram hanya sekali, tidak ada yang menyatakan bahwa ia tujuh kali. Perlu anda ketahui bahwa yang dimaksud takbiratul ihram adalah takbir pembukaan shalat. Semua shalat harus dibuka dengan takbir dan dengan takbir itu haramlah semua aktivitas selain yang berkaitan dengan shalat, walau sebelumnya halal. Misalnya, haramlah ketiak itu berbicara. Itu sebabnya takbir pembukaan itu dinamai Takbiratul Ihram, yakni takbir yang mengharamkan aktivitas selain aktivitas selain shalat.

Memang berbeda-beda pendapat ulama tentang bilangan takbir pada hari raya. Ada sepuluh pendapat yang dikemukakan oleh asy-Syaukani  dalam bukunya Nail al-Authar. Sebagian di antaranya saya sebutkan di sini, yaitu:

  1. 7x pada rakaat pertama, sesudah takbir pembukaan (Takbiratul Ihram) dan sebelum membaca ayat. Dan 5x pada rakaat kedua, sesudah takbir pengalihan dari sujud ke berdiri serta sebelum membaca ayat. Inilah pendapat mayoritas ulama, termasuk Imam Syafi’i, dan memiliki aneka argumentasi yang kuat.
  2. Pendapat kedua menyatakan bahwa ketujuh takbir yang dimaksud termasuk Takbiratul Ihram. Ini pendapat Imam Malik dan al-Muzani.
  3. 7x takbir pada rakaat pertama maupun kedua.
  4. Pada rakaat pertama 7x takbir sesudah Takbratul Ihram, dan sebelum membaca ayat, sedang pada rakaat kedua 3x takbir sesudah membaca ayat.
  5. Pada rakaat pertama 5x takbir sesudah Takbiratul Ihram dan sebelum membaca ayat, sedang pada rakaat kedua 5x takbir sesudah membaca ayat.

Soal shalat di Masjid atau di lapangan, ditemukan dua riwayat yang berbeda menyangkut pengamalan Nabi saw. Ada yang berkata bahwa Nabi saw. selalu shalat di lapangan luas, dan ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa beliau pernah juga shalat di masjid.

Pengamalan Nabi ini menunjukkan bahwa keduanya boleh dilakukan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa Nabi shalat di tempat terbuka/padang pasir/lapangan karena ketika itu masjid tidak dapat menampung jamaah, dan karena itu Imam ini menyatakan bahwa kalau masjid cukup luas dan dapat menampung jamaah, maka shalat di masjid lebih baik, tetapi jika masjid tidak dapat menampung jamaah, maka makruh shalat di masjid dan dianjurkan ke tempat yang lebih luas. Ini karena shalat Id disunnahkan antara lain untuk menampakkan syiar agama Islam.

Logika Imam Syafi’i ini ditolak oleh sementara ulama sehingga mereka menilai bahwa shalat di lapangan lebih baik, karena itulah pengamalan Nabi saw. Ini tentu saja kalau cuaca mendukung.

Betapapun kita harus berkata bahwa keduanya benar, dan tidak perlu dipersoalkan, yang penting adalah melaksanakannya secara ikhlas.

Demikian, wallahu a’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 89-90