Ihwal Berkurban
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Saya ingin bertanya seputar kurban, hukumnya, terhadap siapa dilakukan, bayi atau orang dewasa saja, apakah setiap tahun untuk seluruh keluarga masing-masing harus berkurban atau boleh bergantian. Cara pembagiannya, bolehkah diberikan kepada orang yang jauh dari lokasi si pengurban dan bolehkah penyembelihannya tidak disaksikan oleh yang bekurban, serta bagaimana pula upah bagi yang menyembelih?
Jawaban:
Kurban didefinisikan oleh pakar-pakar hukum Islam sebagai menyembelih binatang tertentu dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, pada hari-hari tertentu. Yang dimaksud dengan binatang tertentu, adalah kambing, domba, kerbau, sapi, atau unta. Sedangkan yang dimaksud dengan hari-hari tertentu adalah hari lebaran haji ditambah dua atau menurut pendapat lain, tiga hari setelah hari lebaran.
Hukumnya
Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, Imam Abu Hanifah dalam satu riwayat berpendapat bahwa hukumnya wajib sekali setiap tahun bagi mereka yang bermukim di kota dan mampu melakukannya. Sedangkan ulama lain -kecuali yang bermazhab Hanafi- menilainya sebagai sunnah yang sangat dianjurkan. Makruh tidak berkurban bagi yang mampu, kecuali bagi jamaah haji di Mina, dalam arti bagi jamaah haji tidak makruh untuk tidak berkurban.
Mazhab Syafi’i menilai kurban adalah sunnah bagi setiap orang sekali seumur hidupnya. Bila seseorang memiliki keluarga yang banyak, maka apabila ada salah seorang dari anggota keluarganya yang berkurban, maka hal tersebut sudah dapat dinilai cukup. Jadi tidak harus masing-masing seluruh anggota, tapi dapat bergantian setiap tahun.
Imam Abu Hanifah berpegang pada hadits Nabi saw., “Siapa yang memeiliki kelonggaran dan tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati mushala/tempat shaat kami/masjid kami.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
Sedangkan yang tidak mewajibkannya memahami hadits di atas dalam arti sunnah yang sangat dianjurkan, mereka berppegang antara lain dengan sabda Nabi saw.,“Ada tiga hal yang wajib bagiku dan sunnah untuk kamu, yaitu shalat witir, berkurban, dan shalat dhuha.” Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, dan ad-Daraquthni.
Ulama sepakat bahwa berkurban hanya disyariatkan -baik dalam arti wajib maupun sunnah- bagi yang mampu. Kemampuan tersebut menurut Imam Syafi’i adalah kelebihan dari kebutuhannya dan kebutuhan semua yang ditanggungnya selama lebaran dan hari-hari tasyriq (tiga hari setelah lebaran). Sepakat pula ulama bahwa Muslim yang bebas merdeka, akil balig, bermukim di tempat tinggalnya, serta memiliki kemampuan adalah mereka yang disyariatkan untuk berkurban.
Anak Kecil
Adapun yang musafir dan anak kecil, diperselisihkan. Dalam pandangan mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak disunnahkan bagi anak kecil, tetapi dalam mazhab Hanafi dan Mailiki, disunnahkan bagi orangtuanya berkurban untuk mereka sekalipun dengan menggunakan uang orangtua.
Musafir
Adapun yang berada di luar wilayah tempat tinggalnya (musafir) maka mereka tetap disunnahkan berkurban menurut ketiga mazhab, dan tidak disunnahkan menurut mazhab Hanafi.
Waktunya
Sebaik-baik waktu untuk menyembelih kurban adalah hari pertama (lebaran) setelah matahari naik sepenggalahan dan sebelum matahari tergelincir. Akan tetapi, kalau ditunda, maka batas akhir sahnya penyembelihan kurban adalah hari ketiga (dua hari setelah lebaran menurut mazhab Hanafi dan Mailiki), dan hari keempat menurut mazhab Syafi’i.
Peruntukannya
Tujuan berkurban adalah pendekatan diri kepada Allah, dan ini tercapai dengan bercucurannya darah binatang yang dikurbankan, disertai dengan keikhlasan berkurban untuk memakan daging binatang yang dikurbankannya, selama kurban tersebut bukan karena nazar -demikian mazhab Hanafi.
Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali, tidak melarang pemilik kurban untuk memakannya, bahkan menurut mereka dianjurkan untuk memakan, menghadiahkan, dan menyedekahkannya. Kalaupun semua daging binatang yang dikurbankan dimakan oleh yang berkurban -walau dengan menyimpannya lebih dari tiga hari– maka yang demikian pun hanya dinilai makruh, tidak haram.
Mazhab Syafi’i tidak membenarkan yang berkurban atau keluarganya memakan daging kurban, bila kurban tersebut nazar, dan harus disedekahkan seluruhnya. Akan tetapi, bila kurban merupakan sunnah, maka dianjurkan untuk yang berkurban memakannya (boleh sampai 1/2 atau 2/3 berdasarkan firman Allah, maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta) dan orang yang meminta (QS. al-Hajj/22: 36). Bahkan jika hanya sebagian kecil yang disedekahkan untuk seorang fakir pun, maka jadilah.
Daging Kurban
Mazhab Syafi’i tidak membenarkan memindahkan kurban dari kota tempat disembelihnya ke kota atau tempat yang lain.
Mazhab Hanafi hanya menilai makruh memindahkan kurban ke tempat yang lain, kecuali kalau yang berada di tempat yang lain itu lebih membutuhkan.
Mazhab Maliki membolehkannya asal pemindahannya tidak melebihi jarak meng-qashar shalat. Akan tetapi, tidak ada satu bagian pun dari anggota tubuh kurban yang boleh dijual, dan tidak boleh juga memberinya -sebagai upah walau kulit sekalipun- kepada yang menyembelihnya. Akan tetapi kalau diberikan kepada yang menyembelih sebagai sedekah atau hadiah, maka dapat dibenarkan.
Seekor kambing atau domba untuk seorang yang berkurban. Sedangkan sapi, kerbau atau unta untuk tujuh orang. Demikian, semoga bermanfaat.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 491-494