Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Kiranya Bapak dapat menjelaskan kepada kami dengan terperinci tentang makna Ahl as-Sunnah dan Syi’ah serta perbedaan antara keduanya. Oleh karena itu, selama ini sangat menarik di daerah kami diskusi yang sering mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan.
Jawaban:
Istilah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah tidak asing bagi masyarakat awam. Namun demikian, rumusan makna istilah ini – di kalangan ulama sekalipun- terkadang menyempit bagi sebagian mereka dan meluas bagi sebagian yang lain. Pengarang al-Farqu baina al-Firaq yang beraliran Sunni, ‘Abdul Qaahir bin Thaahir al-Bhagdaadii, menerangkan bahwa ada 8 macam golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dan ada 15 prinsip pokok yang harus dipenuhi. Prisip-prinsip itu pun belum tentu disepakati oleh ke-8 golongan tersebut. Namun demikian, mereka tidak saling mengkafirkan atau sesat-menyesatkan.
Dalam surat Syeikh al-Azhar Saalim al-Bisyrii kepada seorang tokoh Syi’ah, Syaraf ad-Diin al-Muusawii, dipahami bahwa tokoh Sunni itu berpendapat bahwa Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah adalah “golongan terbesar kaum muslim yang mengikuti paham atau aliran Asy’ari dalam akidah salah satu dari keempat mazhab (Malik, Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali) dalam syariah”. Sedangkan pengarang al-Farqu baina al-Firaq menyatakan dengan pasti bahwa “termasuk pula dalam kelompoh Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah itu pengikut-pengikut al-Auza’i, ats-Tsauri, Ibn Abi Lailah, dan Ahl azh-Zhaahir” (al-Farqu, hlm. 314).
Kelompok Syi’ah juga terbagi, bahkan dalam puluhan kelompok. Pengarang al-Farqu baina al-Firaq membagi kelompok Syi’ah menjadi 4 kelompok besar, yang masing-masing terbagi pula pada sekian banyak kelompok kecil. Menurutnya, hanya 2 dari 4 kelompok besar itu yang dapat dimasukkan ke dalam umat Islam, yaitu kelompok Imamiyah dan kelompok Zaidiyah.
Walaupun berbeda-beda, namun terdapat prinsip dasar yang harus diyakini oleh semua kelompok Syi’ah, seperti tulis Muhammad Jawad Mughniyah -salah seorang ulama Syi’ah- yaitu “keyakinan bahwa Nabi Muhammad saw. telah menetapkan dengan nashsh (pernyataan yang tegas) tentang khalifah sesudahnya, yaitu Imam ‘Ali.”
Benih kelahiran kelompok Syi’ah adalah persoalan khilafah. Jika demikian, sungguh tepat penilaian Syaikh ‘Abdul Halim Mahmud dalam bukunya, at-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam, yang menyatakan bahwa pada hakikatnya, “Syi’ah adalah aliran politik.” Ini berbeda dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah yang kelahirannya dengan persoalan akidah.
Kelompok-kelompok Syi’ah sebagaimana dikemukakan di atas cukup banyak, namun sebagian dari kelompok tersebut telah punah. Yang bertahan hingga kini dalam jumlah besar asalah Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah -yaitu anutan sekitar 90% rakyat Iran, 50% rakyat Irak, sebagian penduduk Afghanistan, Suriah, Pakistan, dan beberapa negara lain -serta kelompok Syi’ah Zaidiyah yang pada umumnya bertempat tinggal di Yaman.
Berbicara mengenai perbedaan, maka secara singkat yang dapat dikemukakan di sini adalah perbedaan antara Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dengan Syi’ah Imamiyah.
Banyak perbedaan dalam ushul maupun furu’ antara kedua kelompok di atas. Berikut ini dikemukakan beberapa di antaranya:
Pertama, Imamah. Muhammad Husain Kaasyif al-Ghithaa’, tokoh Syi’ah kenamaan (1874-1933 M), dalam bukunya Ashl as-Syi’ah wa Ushuulihaa, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah adalah “Satu jabatan yang bersumber dari Tuhan seperti kenabian, yakni sebagaimana Tuhan memilih siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya untuk tugas kenabian dan kerasulan yang didukung-Nya dengan mukjizat yang menjadi sebagai nashsh (pernyataan) dari Tuhan untuknya (sebagai nabi), ‘Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan memilih, mereka (makhluk) tidak pernah memiliki pilihan.’
“Maka demikian pula halnya jabatan imaamah. Dia memilih siapa yang dikehendaki-Nya dengan memerintahkan kepada Nabi untuk menetapkan dengan nashsh (menunjuk) dan mengangkatnya sebagai imam -sesudah (wafatnya)- guna menjalankan tugas-tugas yang diemban oleh Nabi. Hanya saja, imam tidak mendapat wahyu, seperti Nabi, tetapi dia menerima hukum-hukum dari Nabi dengan petunjuk pembenaran dari Tuhan sehingga dengan demikian Nabi menyampaikan hukum dari Tuhan dan imam menerima dari Nabi dan menyampaikannya kepada masyarakatnya.
“Imamah berkelanjutan sampai 12. Setiap pendahulu menetapkan imam berikutnya. Dan mereka disyaratkan ma’shum (terpelihara) dari kesalahan dan dosa sebagaimana Nabi, karena kalau tidak, tentulah kepercayaan (terhadap mereka) akan hilang” (Kasyf al-Ghitha, hlm. 103).
Kedua belas tokoh yang diakui oleh kelompok Imamiyah mendapat tempat terhormat di kalangan Ahl as-Sunnah. Akan tetapi, tugas-tugas imamah yang disandangkan kepada mereka diyakini oleh Ahl as-Sunnah sebagai amat berlebihan, di samping itu sebagian dari ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada mereka dinilai oleh ulama-ulama Ahl as-Sunnah sebagai tidak pernah mereka ucapkan (mengada-ada).
Marilah, sekali lagi, kita baca tulisan ulama besar Syi’ah, Kaasyif al-Ghithaa’,
“Sesungguhnya hikmah pengangsuran (hukum) mengharuskan adanya penjelasan sejumlah hukum dan menyembunyikan (tidak menjelaskan) sejumlah lainnya. Akan tetapi, beliau (semoga keselamatan dari Allah tercurah kepada beliau) menyimpannya (memberitahukan) washiy (orang-orang kepercayaan beliau, yakni para imam, penerj.). Setiap washiy (imam) menyampaikannya kepada imam yang lain/berikutnya agar dia menyebarluaskannya pada waktu yang tepat sesuai hikmah, seperti sesuatu yang bersifat umum dikecualikan, yang mutlak diberi syarat, yang mujmal diperjelas, dan lain-lain semisalnya.”
Apa yang dikemukakan oleh tokoh Syi’ah di atas, tidak dapat diterima oleh Ahl as-Sunnah, paling sedikit dalam tiga butir berikut.
1)Bahwa Nabi saw. belum menyampaikan seluruh ajaran, ada yang disembunyikan untuk para imam, padahal secara tegas al-Qur’an menyatakan, Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu, kalau tidak maka engkau belum menyampaikan risalah-Nya (QS. al-Ma’idah/5: 67).
2)Imam-imam berwenang mengecualikan apa yang telah disampaikan oleh Nabi saw.
3)Imam-imam mempunyai kedudukan yang sama dengan Nabi saw. dari segi ke-ma’shum-an (keterpeliharaan mereka dari berbuat salah atau dosa).
Imamah dalam pandangan Ahl as-Sunnah adalah pemerintahan dan bukan termasuk prinsip-prinsip pokok agama (ushuul ad-diin), walaupun mereka mengakui bahwa keberadaan pemerintahan merupakan suatu keharusan demi menghindari kekacauan. Seorang kepala pemerintahan tidak ditetapkan oleh Nabi, tetapi diserahkan oleh beliau kepada umat untuk memilih secara demokratis siapa di antara mereka yang dianggap tepat bagi situasi dan kondisi mereka.
Kembali kepada pandangan Syi’ah Imamiyah. Mereka meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam dan khalifah yang ditunjuk oleh Nabi. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa para sahabat Nabi membaiat Abu Bakar, kemudian Umar dan Utsman, dan baru kemudian Ali bin Abi Thalib ra.
Sikap ketiga khalifah menerima jabatan itu dan sikap mayoritas sahabat merestui pengangkatan mereka, dinilai kelompok Syi’ah sebagai sesuatu yang menyalahi petunjuk Nabi saw. Dari sini lahir sikap mereka yang antipati -sampai membenci dan mengutuk- sahabat-sahabat Nabi saw.
Kedua, sikap terhadap para sahabat Nabi saw. Mayoritas golongan Ahl as-Sunnah bependapat bahwa seluruh sahabat Nabi memiliki sifat ‘adaalah, sehingga pada prinsipnya, pemberitaan mereka dapat diterima. Sebaliknya, kelompok Syi’ah tidak mengakui hal tersebut, mereka hanya mengandalkan riwayat-riwayat yang bersumber dari imam-imam mereka. Mereka tidak menerima hadis-hadis kecuali apabila diriwayatkan melalui Ja’far ash-Shaadiq, Muhammad al-Baaqir, dari ayah beliau al-Husain (cucu Nabi saw.), dari ayahnya ‘Ali bin Abi Thalib, dan dari Rasulullah saw.
Adapun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, dan lain-lain, semua ditolak, bahkan mereka menilai sebagian sahabat Nabi adalah pembohong atau orang-orang munafik. Bukan itu saja, bahkan sebagian mereka mengutuk para sahabat yang dianggap melakukan pelanggaran agama, atau merampas hak kekhalifahan dari Imam ‘Ali bin Abi Thaalib ra.
Memang, sebagian ulama mereka menolak tuduhan ini, namun dicelah penolakan tersebut dapat ditemukan pengakuan mereka. Muhammad Jawad Mughniyah menulis,
“Tuduhan bahwa Syi’ah memaki sebagian sahabat Nabi tidaklah benar, tetapi Mu’awiyah telah memaki dan mengutuk ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar (Jum’at) sebagaimana disaksikan oleh sejarah. Namun demikian, tuan-tuan (dari kelompok Sunni) tidak mengkafirkan Mu’awiyah. Maka apabila mencaci sahabat Nabi mengakibatkan kekufuran, Mu’awiyah adalah kafir, dan bila tidak, kelompok Syi’ah (yang memaki sahabat) adalah orang-orang Muslim juga.”
Ketiga, sikap terhadap pemerintah. Bermacam-macam syarat yang harus dipenuhi oleh kepala pemerintahan sehingga pemerintahannya dapat dinamai pemerintahan kekhalifahan dari Nabi. Antara golongan Sunnah dan Syi’ah (pada saat imam belum muncul untuk golongan Syi’ah) terdapat perbedaan-perbedaan mengenai syarat-syarat itu.
Syarat yang terpenting di antara seluruh syarat, menurut kedua belah pihak, adalah keadilan. Namun demikian, mereka berselisih pandangan terhadap seorang pemimpin yang ternyata memegang tampuk pemerintahan tanpa memenuhi syarat tersebut, baik sejak semula maupun setelah tampuk pemerintahannya dipegang.
‘Abbas al-‘Aqqaad, seorang ulama Mesir Sunni, menulis dalam ‘Abqariyatu Muhammad, bahwa ada beberapa hadis Nabi, yang beliau anggap sebagai prinsip-prinsip pokok yang mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintahanya dan yang menjelaskan masalah yang dibahas di atas. Hadits tersebut antara lain,
1. Imam (pemerintah) yang berlaku aniaya lebih baik daripada kekacauan. Keduanya tidak ada segi kebaikannya, namun dalam kejelekan pun terdapat pilihan.
2. …dan janganlah engkau merebut kekuasaan dari penguasa, kecuali bila engkau melihat suatu kekufuran yang amat nyata dan yang terdapat suatu alasan pembenaran yang pasti dari Allah.
Dari sini dapat dimengerti apa yang dikemukakan oleh Abu Zuhrah,
“Imam Malik dan kebanyakan tokoh-tokoh Ahl as-Sunnah menyatakan bahwa apabila pemerintah melakukan penganiayaan, menaati mereka lebih baik daripada membangkang.”
Selanjutnya dikatakan,
“Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa seseorang wajib bersabar menghadapi penganiayaan pemerintah dan terlarang untuk membangkang dengan larangan yang pasti.”
Demikian pendapat Ahl as-Sunnah.
Golongan Syi’ah mempunyai pandangan yang lain. Mereka tidak bersedia bekerja sama dengan pemerintah yang berlaku aniaya dan memfatwakan bahwa pekerjaan apa pun yang dapat membantu seseorang yang zalim adalah haram dan merupakan suatu dosa besar. Oleh karena itu, ulama-ulama Imamiyah memboikot para penguasa, sampai-sampai mereka berkata bahwa shalat Jumat di belakang seorang penguasa yang aniaya tidak sah. Di sini kita dapat mengerti mengapa pada masa kekuasaan Syah di Iran, para ulama Syi’ah tidak melaksanakan shalat Jumat, dan baru pada masa Khomeini hal tersebut dilaksanakan.
Pandangan Syi’ah yang demikian inilah yang menjadikan mereka tidak mendapat simpati dari pemerintah-pemerintah, sejak Dinasti Umayah dan Dinasi ‘Abbasiyah, bahkan hingga masa-masa terakhir ini. Dan ini pulalah yang mengakibatkan mereka selalu dikejar-kejar. Akan tetapi, di lain segi, hal ini pulalah yang menjadikan seluruh kaum Syi’ah bersatu padu dengan pemimpin agama mereka dalam menghadapai rezim-rezim aniaya.
Khomeini dalam hal ini, memperingatkan para ulama Syi’ah bahwa,
“Membatasi kewajiban para ahli fiqih dan ulama dalam upacara-upacara peribadatan, menerangkan hukum-hukumnya, syaratnya, menyangkut bersuci, najis, dan doa saja, adalah sisa-sisa racun yang ditinggalkan oleh penjajah, musuh-musuh Islam. Kewajiban seorang ahli fiqih adalah mengangkat senjata, memimpin tentara, memberantas musuh-musuh Islam dalam arena jihad yang mulia.”
Demikian sekelumit yang dapat dipaparkan menyangkut perbedaan Ahl as-Sunnah dan Syi’ah.
Kalaupun kita tidak menyatakan bahwa golongan Syi’ah Imamiyah adalah kelompok yang berada di luar Islam, namun yang jelas dan pasti bahwa ajaran-ajarannya tidak sedikit yang berbeda dengan ajaran Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah.
Selanjutnya, kalaupun -seandainya- kita menoleransi sebagian ajaran-ajarannya, yang pasti, bila itu dipaparkan kepada masyarakat, maka akan timbul keresahan dan penolakan. Kewajiban pemerintah antara lain adalah memelihara ketenangan masyarakat sehingga tidak terusik dengan aliran atau pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Ini belum lagi jika diduga akan adanya ekspor revolusi atau memfungsikan ulama dan ahli-ahli fiqih sama dengan fungsi yang digariskan di atas, yaitu memikul senjata dan mengumumkan perang.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 833-840.