Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Siapa saja yang boleh digantikan dan menggantikan dalam ibadah haji? Apakah hanya orang yang tidak mampu secara badaniah tetapi mampu dari segi keuangan, dan orang yang meninggal dan telah bernazar, ataukah ada yang lainnya? Siapa saja yang boleh menggantikannya? Apakah hanya anak atau anggota keluarga lainnya? Atau, apakah boleh orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali?
Jawaban:
Persoalan ini banyak diperselisihkan oleh para ulama menyangkut perinciannya.
Dalam mazhab Abu Hanifah, ditegaskan bahwa barang siapa tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji karena uzur, sakit, dan sebagainya, tetapi memiliki kemampuan biaya, maka dia harus menunjuk orang lain untuk menghajikannya. Jika ini terlaksana, maka kewajiban hajinya telah terpenuhi. Di sini, terlihat bahwa yang bersangkutan boleh dihajikan karena dia tidak mampu melaksanakannya karena sakit yang diduga keras akan beranjut hingga akhir usianya.
Adapun yang tidak melaksanakan karena tidak terbetik dalam benaknya untuk melaksanakannya, maka ini pun boleh, dan bahkan wajib, dihajikan melalui wasiat dan sesudah kematiannya. Dari sini, jelaslah bahwa, dalam pandangan mazhab Abu Hanifah, ada dua keadaan yang membolehkan seseorang dihajikan, yakni karena uzur atau setelah kematiannya.
Menurut pandangan yang populer dan kuat dalam mazhab Imam Malik, tidak dibenarkan -dan bahkan tidak sah secara mutlak– bila seseorang dihajikan atau menghajikan orang lain, kecuali untuk orang yang telah meninggal dunia dan sekaligus berwasiat sebelumnya agar dihajikan. Ini pun harus dilakukan dengan biaya perjalanan dari orang yang dihajikan dan diambil dari harta peninggalannya, asalkan tidak melebihi sepertiga. Adapun yang masih hidup, walau sakit atau tua, atau dengan alasan apa pun, maka yang bersangkutan tidak dapat digantikan oleh siapa pun.
Mazhab Syafi’i membolehkan seseorang diganti atau dihajikan oleh orang lain dalam salah satu daridua kondisi:
Pertama, yang bersangkutan tidak mampu secara fisik. Dalam hal ini, dia wajib mencari pengganti dan memberinya imbalan yang wajar, dengan syarat bahwa imabalan itu tidak mengurangi biaya kebutuhan hidupnya. Atau, boleh jadi dia dihajika oleh siapa saja atas perintahnya secara sukarela dan terpercaya. Orang yang menghajikan itu harus mendapat izin dari orang yang dihajikan.
Kedua, yang bersangkutan meninggal dunia tanpa melaksanakan haji. Di sini, ahli waris berkewajiban menghajikannya, bila semasa hidupnya dia memiliki kemampuan (istitha’ah), sama dengan kewajibannya membayar utangnya yang diambil dari harta peninggalannya. Jika keadaannya tidak demikian, maka dia tidak wajib dihajikan. Akan tetapi, jika ada yang menghajikan, baik ahli warisnya maupun orang lain, maka haji itu sah untuknya, sekalipun yang meninggal dunia itu tidak pernah berwasiat agar dihajikan.
Ada sekitar 20 syarat yang dikemukakan oleh para ulama. Tidak seorang ulama pun mensyaratkan bahwa yang menggantikan haruslah anak atau keluarga. Karena itu, siapa pun dapat menghajikan orang lain. Perempuan dapat menghajikan lelaki dan sebagainya -tentu saja- dengan berbagai syarat. Di antaranya adalah bahwa orang yang menghajikan sudah pernah menunaikan ibadah haji.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 241-243.
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com