Panrita.id

Menghajikan Orang Lain

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Bolehkan menghajikan orang lain? Apa syarat-syaratnya?

Jawaban:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghajikan orang lain dibenarkan berdasarkan beberapa hadis Nabi saw. dengan syarat-syarat tertentu, yang perinciannya diperselisihkan. Syarat yang mereka sepakati, antara lain, adalah bahwa orang yang dihajikan tidak dapat lagi melaksanakan haji karena wafat atau sakit yang diduga tidak dapat sembuh.

Imam Malik menolak ide menghajikan orang lain dengan upah atau tanpa upah serta dengan dalih apapun, karena beliau menilai hadis-hadis yang berkaitan dengan persoalan menghajikan ini bertentangan, antara lain, dengan surah an-Najm ayat 39:

Dan bahwa seorang manusia tidak akan memeroleh kecuali apa yang diusahakannya sendiri (QS. an-Najm/53: 39)

Sebagian ulama yang membolehkan, mensyaratkan bahwa yang menghajikan harus anak dari orang yang dihajikan, karena hadis-hadis yang membolehkan dikemukakan Nabi saw. dalam konteks jawaban pertanyaan anak (lelaki dan perempuan). Akan tetapi, syarat ini ditolak oleh banyak ulama. Agaknya, yang mensyaratkan ini menilai bahwa sang anak pastilah tulus dalam menghajikan orangtuanya dan tidak melakukannya untuk memeroleh upah.

Saya cenderung menggarisbawahi hal ini, sehingga orang yang menghajikan tidak melakukannya atas dorongan memeroleh upah dan agar orang yang meminta untuk menghajikan benar-benar memilih orang yang tepat. Sebab, jika tidak, nilai hajinya -paling tidak- akan berkurang.

Seorang ulama besar, Muhammad bin al-Hasan berpendapat bahwa menghajikan orang lain boleh dan sah bagi yang melakukannya. Tentu saja, ini dilakukan sesudah semua persyaratan dipenuhi. Sementara itu, orang yang dihajikan hanya memeroleh ganjaran dari nafkah haji.

Demikian, wallahu a’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 229-230.