Haji dan Perubahan Sikap Keberagamaan
Oleh: Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph. D. (Profil)
MA Hukum Islam (Visiting Student) di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo (2001-2002)/Visiting Research Fellow di Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS), University of Oxford, Inggris (2012)/Visiting Fellow di Islamic Legal Studies Program (ILSP), Harvard Law School, Harvard University, Amerika Serikat (2013)/Postdoctoral Fellow di University of Louvain, Belgium (2016-2020)/Wakil Ketua LTM-PBNU (2015-2020)/Direktur Indonesian Sharia Watch
Ibadah haji merupakan ibadah peralihan yang sangat penting dalam keislaman seseorang. Nilai ibadah peralihan itu dapat dilihat dalam perubahan sikap keberagamaan seseorang. Nabi Ibrahim menjadi hanif: santun dan lembut, setelah meletakkan dasar-dasar ibadah haji. Para sahabat Nabi Muhammad menjadi kreatif untuk menjawab persoalan keagamaan dan kepolitikan, setelah haji wada’. Pelajaran yang dapat dipetik dari sini bahwa ibadah haji dipandang sebagai titik awal perubahan dalam sikap keberagaman seseorang atau satu kelompok.
Tentu, perubahan sikap keberagamaan, setelah menunaikan ibadah haji, bisa bermacam-macam. Sekembalinya dari Tanah Suci, seseorang bisa memiliki sikap “hanifiyyah”, yaitu sikap keberagamaan yang santun dan lembut, tetapi bisa juga berakhir pada sikap “haruriyyah”, yaitu sikap keberagamaan merasa paling baik dan benar sendiri. Sikaphanifiyyah dapat disebut sebagai sikap keberagamaan yang moderat, sementara sikapharuriyyah sebagai sikap keberagaman yang radikal.
Dalam sejarah Islam di Nusantara, para haji yang kembali ke kampung halamannya menjadi agen perubahan di tengah masyarakatnya. Untuk menggerakkan perubahan tersebut, ada yang menggunakan sikap hanifiyyah/moderat. Sikap moderat diwujudkan dalam bentuk penghargaan terhadap budaya dan kebiasaan setempat dengan cara menghapus secara perlahan unsur yang bukan-Islam, namun secara bersamaan memasukkan unsur keislaman. Ini yang dilakukan oleh para Wali-Songo di Jawa dan penyebar Islam awal di Sumatera dan daerah lainnya di Nusantara. Dengan jalan ini, Islam tersebar dan diejawantahkan ke dalam kehidupan keseharian dengan jalan damai.
Kendati demikian, ada yang tidak sabar dalam melakukan perubahan perlahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, setelah kembali ke daerahnya, ada yang mengedepankan sikap haruriyyah/radikal dalam mendakwahkan pemahaman keislamannya. Para haji itu ingin menerapkan apa yang mereka lihat selama ibadah haji di Tanah Suci sebagai suatu kebenaran. Inilah yang terjadi di dalam beberapa fase sejarah Islam di Nusantara. Jemaah haji Nusantara saat tiba di Tanah Suci melihat prilaku ibadah, cara berpakaian, dan pola hidup orang-orang Arab sebagai suatu rujukan yang harus dijadikan contoh dan teladan. Pada saat yang sama, mereka menilai apa yang dilakukan umat Islam di daerahnya adalah salah, keliru, dan menyimpang. Dengan demikian, hal itu harus dibenarkan dan diluruskan. Cara pandang seperti ini terbukti telah menimbulkan konflik dalam sejarah Islam di Nusantara. Contoh-contoh di bawah ini membuktikan hujjah tulisan ini.
Pertama, apa yang terjadi di Banten pada abad ke-17. Sultan Abdul Kahar Abu Nasar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji (k. 1682-1687) dari Kesultanan Banten, sikap keberagamaannya berubah setelah pulang haji. Saat menjadi putera mahkota, Sultan Haji berangkat haji pada 1674 dan kembali pada 1676. Saat kembali dari Tanah Suci, ia berpakaian ala orang Arab, yaitu menggunakan jubah dan turban, seperti para mullah/syaikh (baca « Mémoires sur la prise de Bantan par les Hollandais », 7 avril 1682, dans Bénigne Vachet, “Mémoire de Mr. Bénigne Vachet,” Paris: Archives des Missions Etrangers de Paris (AMEP), microfiche, vol. 112B, 7e jaquette, pp. 377-8). Perubahan sikap keberagamaannya menjadi kebijakannya saat itu. Sultan haji memerintahkan penduduk Banten saat itu menggunakan jubah dan memanjangkan jenggot. Sultan Haji mengambil jalan radikal untuk mendakwahkan Islam di Banten. Ia menggunakan kekuasaan untuk menerapkan syariah, tanpa memedulikan kebudayaan setempat.
Sultan Ageng Tirtayasa (k.1651-1682), ayah Sultan Haji, resah dengan sikap anaknya yang dinilai menumbuhkan nilai-nilai fundamentalisme di tengah masyarakat Banten. Sebab, Sultan Haji menerapkan apa yang dianggapnya sebagai satu kewajiban agama setelah melihat apa yang ada di Tanah Suci. Ia tidak dapat membedakan antara budaya dengan ajaran agama. Sultan Ageng berupaya membantenkan Islam, sementara Sultan Haji ingin mengarabkan Banten. Sultan Ageng menjunjung nilai dan adat setempat, sementara sang anak dihinggapi perasaan rendah diri terhadap kebudayaan luar, sehingga perlu mengadopsinya. Tentu, perubahan sikap keberagamaan Sultan Haji yang menjadi radikal menimbulkan konflik. Perselisihan itu terjadi bukan saja antara bapak dan anak, tetapi juga antara Sultan Haji dengan para pembesar kerajaan dan punggawa serta rakyat Banten secara umum.
Kedua, apa yang terjadi di daerah Minangkabau, sekarang Sumatera-Barat, pada awal abad ke-19. Ketiga haji, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik, setelah kembali dari Tanah Suci berhaji, menerapkan ajaran yang tengah berkembang di Semenanjung Hijaz saat itu, yaitu Wahabisme. Ajaran ini merupakan tafsiran yang sangat puritan dalam Mazhab Sunni yang ingin membasmi apapun yang dianggap sebagai penyimpangan akidah, seperti bidah, tahayyul, dan khurafat. Terjadi perubahan sikap keberagamaan ketiga haji tersebut setelah pulang dari Haramayn. Mereka melihat bahwa ajaran Wahabi yang tengah diterapkan itu sebagai suatu ajaran yang mutlak benar. Tiga haji ini pun mendakwahkan keislaman mereka ala Wahabi dengan jalan radikal. Pada gilirannya, ajaran ketiga haji ini telah memicu terjadinya perang Padri pertama (1821-1825), perang antara para pendukung penerapan syariah ala Wahabi yang keras dengan kaum Adat saat itu.
Menurut Jeffrey Hadler (2008) dalam bukunya “Muslim and Matriarchs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism” perang Padri adalah jihad neo-Wahabi yang penuh kekerasan. Perang Paderi meletus akibat sikap radikal yang diterapkan oleh para pemimpinnya, yaitu Harimau Nan Salapan, yang tidak lain adalah murid langsung maupun murid ideologis tiga haji tersebut. Pemimpin dan pengikut ajaran ketiga haji itu, tulis Hadler, menyerang lembaga-lembaga matriarkat, membakar rumah gadang, membunuh kepala adat, dan membunuh pemimpin dan pendukung suku. Mereka menuntut ketaatan mutlak terhadap apa yang mereka tafsirkan sebagai jalan kehidupan yang diharuskan di dalam Alquran.
Kampung-kampung Padri, masih menurut Jeffrey Hadler, menerapkan hukum Islam secara kaku dan ketat. Kaum laki-laki menggunakan pakaian ala Arab, yaitu jubah putih dan turban dan menumbuhkan dan memanjangkan janggut. Kaum perempuan diwajibkan memakai jilbab dan burka yang menutupi seluruh badan, kecuali mata mereka. Sikap keberagamaan dan pemahaman keislaman ala wahabi yang radikal dari tiga haji itu diserap oleh murid mereka. Jalan radikal dalam mendakwahkan Islam diambil oleh mereka. Hal itu telah menimbulkan perang berdarah di Tanah Minangkabau.
Apa yang telah terjadi dalam sejarah Islam di Nusantara, hal itu pun terjadi pada masa kini dan itu kita rasakan. Di abad yang lalu, ke-20, dan sekarang, ke-21, kita telah menyaksikan betapa banyak orang yang berhaji dari Indonesia dan setelah sekembalinya ke kampung halaman, mereka mulai mendakwahkan ajaran yang tidak ramah terhadap budaya setempat. Mereka melihat dan langsung menilai bahwa apa yang dipraktikkan di Tanah Suci sebagai sesuatu rujukan mutlak yang harus diikuti. Kebanyakan dari mereka tidak tahu dan tidak mendalami agama secara khusus. Karena kedangkalan pengetahuan keagamaan mereka, maka apa yang mereka lihat sudah dianggap sebagai yang benar. Setibanya di Tanah Air, mereka menilai apa yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia tidak islami dan karenanya sesat dan kafir. Sikap keberagamaan inilah yang banyak menimbulkan permusuhan di tengah masyarakat.
Dengan demikian, untuk menghindari hal-hal tersebut di atas, maka manasik haji menjadi syarat mutlak bagi siapapun jauh hari sebelum ia berangkat. Salah satu materi pelajaran yang harus diajarkan adalah identitas Islam Nusantara. Hal ini penting untuk mencegah pemahaman yang salah dan keliru sepulang dari Tanah Suci. Pelajaran keislaman dan kebangsaan menjadi penting guna mengokohkan jati diri Muslim Indonesia dan menghindari pemahaman yang tidak tepat tentang apa itu yang benar di dalam Islam. Perubahan keagamaan harus ke arah yang lebih baik. Kembali dari Tanah Suci harus justeru memberikan gambaran betapa banyak ragam cara ibadah umat Islam. Mekkah menjadi laboratorium pembelajaran tentang kemajemukan penafsiran ajaran agama Islam. Ke sinilah seharusnya muara perubahan sikap setelah pulang haji mengarah: sikap keberagamaan yang santun dan moderat.***
Sumber: Koran Tempo, Jumat 25 September 2015, h. 14. https://indonesianshariawatch.or.id/haji-dan-perubahan-sikap-keberagamaan/