Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Bagaimana caranya menghajikan almarhumah ibu kami yang tercinta, sedang saya sendiri baru akan melaksanakan haji pertama? Apakah bisa dilaksanakan dua niat haji (untuk saya dan almarhumah) dalam satu musim haji? Kemudian, mana yang lebih afdhal, dihajikan oleh anak lelaki atau anak perempuan, mengingat bahwa saya dipesan oleh beliau untuk menghajikan bila beliau meninggal sebelum sempat menunaikan ibadah haji?
Jawaban:
Mayoritas ulama (kecuali Mazhab Malik) membenarkan menghajikan orangtua atau orang lain, jika yang dihajikan itu telah uzur (tidak mampu secara fisik) atau sudah meninggal dunia.
Mazhab Imam Malik hanya membenarkan menghajikan orang yang telah meninggal dunia kalau ada wasiat agar dia dihajikan. Inipun dilakukan dengan menggunakan biaya dari harta yang ditinggalkannya, sejauh tidak melebihi sepertiga. Selanjutnya, walaupun dinilai sah, pada saat yang sama hal ini dinilainya sebagai makruh.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i yang mewajibkan salah seorang ahli warisnya untuk menghajikan yang meninggal dan membayar utang-utangnya dari harta yang ditinggalkannya. Memang, tidak menjadi kewajiban bila yang bersangkutan tidak meninggalkan harta warisan. Akan tetapi, sah dia dihajikan oleh siapa pun, walau tidak ada pesan dari yang bersangkutan. Demikian pendapat Imam Syafi’i. Salah satu syarat bagi orang yang menghajikan adalah bahwa dia sendiri telah melaksanakan ibadah haji.
Kembali kepada pertanyaan dan kasus yang ditanyakan di atas, dapat dikemukakan bahwa para ulama sepakat tentang bolehnya menghajikan orangtua yang telah berpesan. Di sini, problemnya adalah bahwa penanya sendiri belum menunaikan ibadah haji dan baru akan melaksanakan haji. Sebab, hanya Imam Abu Hanifah saja yang membolehkannya, itu pun tidak sepenuh hati, dengan alasan pembenaran yang sangat lemah.
Nabi saw. pernah menegur seseorang yang menghajikan orang lain yang bernama Syibrimah. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah melaksanakan ibadah haji untuk dirimu?” Dia menjawab, “Belum”. Nabi pun bersabda kepadanya, “Berhajilah untuk dirimu dulu, baru kemudian untuk Syibrimah.”
Atas dasar ini, tidaklah dibenarkan melaksanakan haji untuk diri sendiri dan orang lain dalam satu musim haji. Siapa yang lebih utama (afdhal) menghajikan orangtua yang belum haji, anak lelaki atau perempuan? Menurut hemat saya, sama saja, sepanjang keduanya memenuhi syarat.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 236-238.
https://afsgsdsdbfdshdfhdfncvngcjgfjghvghcgvv.com