Ketika Poligami Diharamkan
Oleh: Ayang Utriza Yakin, DEA., Ph. D. (Profil)
MA Hukum Islam (Visiting Student) di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Kairo (2001-2002)/Visiting Research Fellow di Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS), University of Oxford, Inggris (2012)/Visiting Fellow di Islamic Legal Studies Program (ILSP), Harvard Law School, Harvard University, Amerika Serikat (2013)/Postdoctoral Fellow di University of Louvain, Belgium (2016-2020)/Wakil Ketua LTM-PBNU (2015-2020)/Direktur Indonesian Sharia Watch
Gugatan cerai Dewi Yull akhirnya dikabulkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Alasan perceraian itu karena ia tidak bisa menerima konsep poligami suaminya. Salahkah tindakan Dewi Yull tidak bisa menerima konsep poligami? Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami dalam Islam?
Para ulama klasik dari kalangan mufasir (penafsir) maupun fakih (ahli hukum) berpendapat, berdasarkan QS. al-Nisa/4: 3 pria Muslim dapat menikahi empat perempuan. Tafsir ini telah mendominasi nalar seluruh umat Islam. Tetapi, ulama seperti Muhammad Abduh (1849-1905) tidak sepakat dengan penafsiran itu.
Baginya, diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang.
Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat mati dalam peperangan antara suku, dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.
Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak keluarganya.
Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik.
Kini, keadaan telah berubah. Poligami, papar Abduh, justru menimbulkan permusuhan, kebencian, dan pertengkaran antara para istri dan anak. Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana kebencian karena konflik itu.
Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil. Pada akhir tafsirnya, Abduh mengatakan dengan tegas poligami haram qat’i karena syarat yang diminta adalah berbuat adil, dan itu tidak mungkin dipenuhi manusia. (lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Dar al-Fikr, tt, jilid IV, hlm. 347-350).
Pernyataan Abduh kembali ditegaskan dalam fatwanya tentang hukum poligami yang dimuat di Majalah al-Manar edisi 3 Maret 1927/29 Sya’ban 1345, Juz I, jilid XXVIII, yaitu poligami hukumnya haram. Adapun QS. al-Nisa/4: 3 bukan menganjurkan poligami, tetapi justru sebaliknya harus dihindari (wa laysa fii zaalika targhiib fi al-ta’diid bal fiihi tabghiid lahu)
Mantan Syekh Al-Azhar ini menjelaskan tiga alasan haramnya poligami:
Pertama, syarat poligami adalah berbuat adil. Syarat ini sangat sulit dipenuhi dan hampir mustahi, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS. al-Nisa/4: 129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil.
Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil.
Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain.
Pada akhir fatwanya ia meminta para hakim, ulama, dan pemerintah agar melarang poligami (lihat Muhammad ‘Abduh dalam al-A’maal al-Kaamilah lil Imaam al-Syeikh Muhammad ‘Abduh, (ed.) Muhammad ‘Imaarah, Kairo: Daar al-Syuruuk, 1993, Jilid II, hlm 88-93, lihat juga hlm. 76-87).
Abduh menjelaskan hanya Nabi Muhammad saw. saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri-istrinya. ‘Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri mandul. Fatwa dan tafsiran Abduh tentang poligami membuat hanya dialah satu-satunya ulama di dunia Islam yang secara tegas mengharamkan poligami.
Ulama asal Mesir yang pernah mengecap pendidikan di Paris ini juga melihat poligami adalah praktik masyarakat Arab pra-Islam. Dr. Najmaan Yaasiin dalam kajian mutakhirnya tentang perempuan pada abad pertama Hijriah (abad ke-7 Masehi) menjelaskan memang budaya Arab pra-Islam mengenal institusi pernikahan tak beradab (nikaah al-jaahili) dimana lelaki dan perempuan mempraktikkan poliandri dan poligami:
Pertama, pernikahan sehari, yaitu pernikahan hanya berlangsung sehari saja.
Kedua, pernikahan istibda’ yaitu suami menyuruh istri digauli lelaki lain dan suaminya tidak akan menyentuhnya sehingga jelas apakah istrinya hamil oleh lelaki itu atau tidak. Jika hamil oleh lelaki itu, maka lelaki itu bila suka boleh menikahinya. Jika tidak, perempuan itu kembali lagi kepada suaminya. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk mendapat keturunan.
Ketiga, pernikahan poliandri jenis pertama, yaitu perempuan mempunyai suami lebih dari satu (antara 2 hingga 9 orang). Setelah hamil, istri akan menentukan siapa suami dan bapak anak itu.
Keempat, pernikahan polandri jenis kedua, yaitu semua lelaki boleh menggauli seorang wanita berapa pun jumlah lelaki itu. Setelah hamil, lelaki yang pernah menggaulinya berkumpul dan si anak ditaruh di sebuah tempat lalu akan berjalan mengarah ke salah seorang di antara mereka, dan itulah bapaknya.
Kelima, pernikahan-warisan, artinya anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya yaitu menikahi ibu kandungnya sendiri setelah bapaknya meninggal.
Keenam, pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke suaminya.
Ketujuh, pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan.
Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafa al-Rashidiin (lihat Najmaan Yaasiin, al-Islaam wa al-Jins fi al-Qarn al-Awwal al-Hijri, Beirut: Dar ‘Atiyyah, 1997, h. 24-28).
Poligami yang termaktub dalam QS. al-Nisa/4: 3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karenanya tepat kiranya Thaha Husayn menyatakan dalam bukunya Fi Syi’r al-Jaahili yang menggemparkan dunia Arab tahun 1920-an hingga dia dipecat sebagai dosen Universitas Kairo, bahwa Al-Qur’an adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyah (pra-Islam) (Dar al-Ma’arif, Tunisia, tt, h. 25-33).
Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan Al-Qur’an merekamnya melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al-Qur’an merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial mayarakat saat itu.
Oleh karenanya QS. al-Nisa/4: 3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab Al-Qur’an adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al-Qur’an sesungguhnya respons Allah terhadap berbagai persoalan umat yang dihadapi Muhammad saw. saat itu. Sebagai respons, tentu Al-Qur’an menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu diisi budaya kelelakian yang dominan.
Untuk menurunkan ajaran etik, moral maupun hukum, Al-Qur’an membutuhkan waktu dan proses. Ambil contoh larangan meminum khamar, Al-Qur’an membutuhkan waktu hingga tiga kali. Dalam masalah poligami pun demikian. Poligami hanya hukum yang berlaku sementara saja dan untuk tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi (lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996. hlm 68-70). Al-Qur’an membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yakni monogami.
Penulis setuju dengan Mahmoud Mohamed Thaha, ulama Sudan yang dihukum mati pemerintah Numeiri, bahwa poligami akhirnya merupakan tahapan perkembangan transisional untuk membawa kesetaraan lelaki dan perempuan (lihat Mahmoud Mohamed Thaha, The Second Message of Islam: Syari’ah Demokratik, Surabaya: Elsad, 1996, hlm. 204-206).
Fatwa dan tafsir Abduh di atas dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan Undang-undang (UU) yang melarang poligami. Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegitimasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain (lihat Olivier Carre, L’Islam Lauique ou le retour a la Grande Tradition, Paris: Armand Collin, 1993, hlm. 110-113). Lalu di manakah posisi Indonesia berkaitan dengan poligami itu?
UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No. 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurus poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.
Keadaan ini tentu tidak menguntungkan perempuan Muslim Indonesia. Karena itu saatnya sekarang dibuat UU antipoligami untuk melindungi perempuan Muslim Indonesia. Kalaupun harapan ini tak kesampaian, setidaknya apa yang dilakukan Dewi Yull sangat tepat dan benar. Sudah saatnya wanita tegas di hadapan teks yang dipelintir mereka yang berkepentingan dengan poligami.
Sumber: Tulisan ini telah dimuat di Harian Kompas dengan judul “Islam, Poligami dan Perempuan” pada edisi 21 September 2004. Dikutip dari buku: Ayang Utriza Yakin, Islam dan Isu-isu Kontemporer: Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad (Jakarta: Penerbit Kencana, 2016), h. 146-151.