Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Imam Malik yang menilai bahwa anjing sebagai hewan yang tidak najis, namun bekas jilatannya harus dibasuh karena ta’abbudi. Bagaimana cara membasuhnya menurut Imam Malik? Apakah kewajiban itu menurut beliau mengakibatkan dosa saja bila tidak dilakukan atau lebih jauh dari itu, yakni mengakibatkan juga batalnya shalat bila bekas jilatan itu menganai bagian anggota tubuh?
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan anda, perlu dikemukakan bahwa para ulama berbeda paham tentang bekas jilatan anjing.
Abu Hanifah berpendapat bahwa anjing tidak najis kecuali mulutnya, atau liur dan kotorannya. Atas dasar itu, Nabi saw. memerintahkan untuk mencuci bejana akibat airnya diminum oleh anjing, dan mencucinya sebanyak tujuh kali, sekali (yang pertama) dengan tanah.
Imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa anjing sama dengan babi, ia najis, termasuk bekas minuman, dan juga keringatnya. Bekas jilatannya harus dicuci sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan tanah.
Sementara itu, Imam Malik berpendapat bahwa anjing apapun -baik yang dijadikan penjaga maupun liar-adalah thahir atau suci. Hanya apabila ia memasukkan lidahnya dan menggerakkannya untuk minum, dalam satu bejana, maka bejana itu harus dicuci sebanyak tujuh kali, seperti tersebut di atas. Ini -menurut pandangan Imam Malik- tidak diketahui apa sebabnya.
Oleh karena itu, pelaksanaan perintah tersebut dilakukan atas dasar ta’abbudi atau ibadah mengikuti tuntunan Nabi saw. tanpa menetapkan apa sebabnya. Oleh karena itu pula, jika anjing memasukkan kakinya di bejana yang penuh air, atau bahkan lidahnya tanpa menggerakkannya, tidak ada kewajiban -dalam pandangan Imam Malik- untuk mencucinya.
Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatul Mujtahid, menjelaskan, “perintah untuk menumpahkan air bekas/sisa minuman anjing serta mencuci wadahnya akibat anjing meminum darinya merupakan ibadah yang tidak dapat diberi ‘illat atau sebab”.
Sekalai lagi -menurut pandangan Imam Malik- kalau anjing dinilai najis, ini bertentangan dengan ayat yang mengizinkan untuk memakan binatang hasil buruan yang digigit oleh anjing yang telah diajar. Maksudnya, kalau memang anjing najis, tentu najis pula binatang buruan yang digigitnya. Memang, Imam Malik menilai bahwa hadis-hadis tentang kenajisan anjing, yang diterima dan dinilai kuat oleh ulama-ulama bermazhab Syafi’i dan Hanbali, adalah hadits yang lemah.
Atas dasar itulah, Imam Malik berpendapat bahwa (sisa) air yang diminum oleh anjing tidak najis, (namun harus dibuang sesuai perintah) dan karena itu pula hal-hal selain air itu (yang terdapat dalam bejana), tidak harus dibuang. Nah, jika demikian itu halnya, shalat tetap sah -dalam pandangan Imam Malik- walaupun ada anggota badan yang telah dijilat anjing, dan dengan demikian pula tidak mengakibatkan dosa.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 802-803.