Hukum Menikah dengan Sepupu dan Tafsir QS. al-Ahzab/33: 50
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Saya mempunyai saudara perempuan, anak dari kakak perempuan ibu saya. Entah bagaimana saya jatuh cinta kepadanya dan saya sudah ingin beristri tetapi saya bingung, apakah boleh saya menikahi saudara perempuan saya tersebut. Akhirnya saya bertanya ke sana ke mari dan ada yang menjawab bahwa itu halal untuk dinikahi, hanya saja katanya pernikahan demikian biasanya kurang baik. Akhirnya saya buka al-Qur’an surah al-Ahzab/33: 50. Mohon bapak jelaskan makna ayat tersebut, khususnya kalimat “sebagai pengkhususan bagi-Mu”
Jawaban:
Jika anda membaca QS. an-Nisa/4: 23, anda akan menemukan di sana siapa-siapa saja yang haram dinikahi. Anda pasti tidak akan menemukan, “anak dari kakak perempuan”. Memang, dijelaskan bahwa “saudara perempuan” haram dinikahi, tetapi itu bukan dalam arti “anak dari kakak perempuan ibu anda” karena dia adalah sepupu anda atau dengan kata lain saudara senenek anda.
Dalam pandangan hukum Islam, yang demikian itu -seperti juga halnya dengan anak dari saudara bapak- kesemuanya boleh dikawini. Walaupun dia dinamai dalam istilah anda “saudara”, tetapi pada hakikatnya dia bukan saudara seibu atau seayah.
Sekali lagi, “saudara” yang diharamkan untuk dikawini adalah saudara sekandung, saudara seayah, saudara seibu, saudara sesusuan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan dengan sepupu kurang baik dari segi kesehatan. Bahkan ada riwayat yang mengisyaratkan hal tersebut, namun dinilai dha’if. Saya mengenal banyak orang yang kawin dengan sepupunya dan melahirkan anak-anak yang sehat. Bahkan putri Nabi saw., Fathimah, dikawinkan oleh Nabi saw. dengan ‘Ali bin Abi Thalib yang ayahnya bersaudara dengan ayah Nabi Muhammad saw.
Menyangkut ayat 50 surah al-Ahzab yang berbunyi, Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu beri maskawinnya, dan seterusnya, perlu dicatat beberapa butir berikut.
Pertama, ayat itu, pada dasarnya, ditujukan secara khusus kepada Nabi saw., walaupun di sana sini ada kesan, hukumnya yang berlaku untuk umatnya. Ayat tersebut berbicara tentang wanita-wanita yang boleh dikawini Nabi Muhammad saw. Nah, dalam konteks inilah harus dipahami redaksi ayat yang menyatakan “perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagi Nabi, dan bukan untuk semua orang Mukmin”.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “pengkhususan bagimu bukan untuk semua orang mukmin”. Ada yang berpendapat bahwa Nabi saw. boleh mengawini seorang wanita tanpa mahar dan tanpa wali, dan itu tidak dibenarkan bagi selain beliau.
Pendapat lain menyatakan “kebolehan perkawinan Nabi tersebut hanya berkaitan dengan maskawin” -dalam arti beliau dapat kawin tanpa maskawin.
Sedangkan pendapat ketiga dikemukakan oleh Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa ayat ini bermakna dibolehkan khusus bagi Nabi saw. saja untuk menggauli seorang wanita atas dasar penyerahan diri wanita itu, sebagaimana dibolehkan pula bagi beliau saja terjalinnya akad ijab dan kabul dengan menggunakan kata “menghibahkan atau menyerahkan”. Sedangkan selain beliau, kata yang harus digunakan hanya “menikahkan atau mengawinkan”.
Perlu disadari bahwa perkawinan bukannya hibah atau penyerahan diri, tetapi perkawinan adalah “pernikahan” yang arti harfiahnya adalah “penyatuan” (pikiran, hati dan badan) atau “mengawinkan” yang merupakan isyarat tentang kebersamaan dan kemitraan yang menjadikan masing-masing pasangan membutuhkan pasangannya, seperti halnya anak kunci dengan kuncinya.
Kedua, kekhususan bagi Nabi saw. ini yang terlihat sebagai satu keistimewaan, diimbangi oleh sekian banyak kewajiban di atas pundak beliau, dan yang tidak menjadi kewajiban umatnya, seperti shalat tahajud, shalat dhuha, keharaman menerima zakat, dan masih banyak lagi lainnya.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 549-551.