Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya memelihara anjing di rumah?
Jawaban:
Sebelum Eropa mengenal organisasi-organisasi pencinta binatang, al-Qur’an dan Sunnah sudah sangat menganjurkan untuk memelihara dan menyayanginya. Yang demikian itu merupakan salah satu aspek dari kedudukan manusia sebagai khalifah.
Khusus menyangkut anjing, ditemukan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw. yang membicarakannya dalam konteks yang sangat “manusiawi”. Al-Qur’an surah al-Kahfi, misalnya, menguraikan bagaimana sekelompok pemuda yang amat taat beragama mengungsi ke satu gua untuk mempertahankan akidah agamanya dengan ditemani oleh seekor anjing (baca QS al-Kahfi/18: 9-26)
Al-Qur’an juga membolehkan menggunakan anjing dan binatang buas lainnya yang diajar untuk berburu dan hasil buruannya -selama tidak dimakannya walau sedikit- halal dimakan oleh siapa pun (baca QS. al-Ma’idah/5: 4).
Di sisi lain, Nabi saw. juga menegaskan bahwa ada seorang yang bergelimang dalam dosa yang diampuni Allah dosanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Ulama berbagai mazhab membolehkan seseorang memelihara anjing, antara lain untuk menjaga dari berbagai bahaya yang dapat mengancam.
Demikian secara umum. Namun persoalannya, adalah jika anjing tersebut masuk-keluar rumah. Di sini masalahnya adalah najis-tidaknya anjing itu.
Dalam Mazhab Abu Hanifah, anjing pada dasarnya tidak najis dengan alasan, antara lain agama membolehkan kita memeliharanya dalam rangka berburu atau penjagaan. Yang najis menurut penganut mazhab ini hanya mulutnya saja atau dengan kata lain liur dan kotorannya, sehingga dari sini Nabi saw. bersabda, “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian -bilan anjing minum darinya- adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama di antaranya dengan tanah” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Adapun dalam pandangan para pakar dan penganut mazhab Malik, anjing secara mutlak -baik yang dijadikan sebagai penjaga, pemburu atau dijadikan apa saja- adalah suci, tidak najis. hanya bila ia minum dari satu bejana atau menggerakkan lidahnya di dalam bejana maka bejana tersebut menjadi najis. Dengan demikian, bila anjing itu, memasukkan kakinya, atau lidahnya tanpa menggerakkan lidah itu, atau terjatuh liurnya ke dalam bejana, maka semua ini tidak mengakibatkan najis menurut mazhab Imam Malik.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali amat ketat dalam persoalan anjing. Menurut mereka, anjing dan babi atau yang lahir dari salah satu dari keduanya adalah najis, termasuk keringatnya. Kata mereka, “Kalau telah terbukti melalui hadis di atas bahwa mulutnya najis, maka tentu bagian-bagian lain dari badannya juga najis”.
Saya cenderung mendukung mazhab Syafi’i dalam rangka kehati-hatian, walaupun -dalam konteks belajar- pandangan mazhab Maliki dapat dijadikan pegangan.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 812-815.