Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Bapak seputar anjing (segala sesuatu yang sering terjadi perselisihan pendapat). Betulkah pendapat bahwa jilatan anjing pada selain bejana, kalau tidak dicuci tidak mengapa, dan benarkah mencuci jilatan anjing hanya ta’abbudi? Bagaimana jika ada seseorang yang bingung dan ditambah rasa malas akhirnya tidak mencuci bekas jilatan anjing itu?
Jawaban:
Ajaran Islam tentang binatang termasuk anjing sangat apresiatif. Al-Qur’an misalnya menceritakan tentang Ashabul Kahfi, yakni sekian banyak pemuda (tujuh orang) yang menghindar dari kekejaman penguasa bersama seekor anjing mereka dan berada dalam gua selama tiga ratus sembilan tahun (QS. al-Kahfi/18: 9-26). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa tidak ada larangan memakan binatang halal hasil buruan anjing yang telah diajar berburu (QS. al-Ma’idah/5: 4)
Dalam literatur hadis ditemukan riwayat bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Seorang wanita tunasusila di satu hari melihat seekor anjing yang berkeliling di sumur sambil mengulurkan lidahnya karena kehausan. Dia kemudian membuka untuknya selopnya (dan mengisinya air), maka Allah mengampuni dia (karena kasih sayangnya pada anjing itu)” (HR. Malik, al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud , melalui Abu Hurairah -lihat Jaami’ al-Fawaa’id, jil. II, hlm. 428, hadits no. 8294)
Persoalan muncul dari sekian banyak hadis yang berbicara tentang jilatan anjing. Salah satu hadis tersebut adalah yang bersumber dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kamu, maka hendaklah ia (menumpahkan airnya, kemudian) menyuci bejana itu tujuh kali.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Malik, al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i. Abu Daud menambahkan, “Pada awalnya dengan tanah.” Ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa yang ketujuh dibasuh dengan tanah. at-Tirmidzi meriwayatkan, “Tujuh kali awalnya atau akhirnya dengan tanah, dan kalau kucing dicuci sekali.”
Masalah yang muncul dari hadis semacam ini, antara lain, menyangkut kandungannya. Dengan dimunculkannya pertanyaan, “Mengapa demikian?” Mengapa dengan tanah, dan apakah yang demikian wajib hukumnya? Ada yang berpendapat bahwa “akal sulit menjangkau latar belakang perintah ini; ia adalah ta’abbudi sehingga teks hadis ini harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana adanya”
Argumentasinya, antara lain, “Kalau anjing menjilat bejana harus dicuci. Kalau bukan anjing dan bukan bejana maka tidak harus.” Ada juga yang berpendapat bahwa kandungannya bukan ta’abbudi, melainkan ta’aqquli (dapat dijangkau oleh nalar), sehingga baik bejana maupun bukan, selama anjing yang menjilat, ia harus dicuci. Ini disebabkan air liur anjing mereka nilai najis, dan selama air liurnya najis, itu berarti mulutnya pun najis -bahkan seluruh badannya pula.
Mazhab Abu Hanifah juga menilai bahwa anjing najis, tetapi najisnya dianggap sama dengan najis yang lain. Sehingga cara membersihkan atau menyucikan najis anjing sama dengan cara menyucikan najis-najis yang lain. Adapun dengan tujuh kali, maka itu, menurut mereka, hanya berupa anjuran, bukan wajib.
Mazhab Malik, lain lagi. Menurut satu riwayat, beliau berpendapat bahwa jilatan anjing tidak najis. Alasannya anatar lain, firman Allah yang membolehkan memakan binatang hasil buruan anjing (QS. al-Ma’idah/5: 4).
“Tentu”, katanya, “sang anjing menggigit mangsanya, dan ketika itu pastilah air liurnya menyentuh bekas gigitannya. Namun demikian, Allah tidak memerintahkan kita untuk membersihakn dan menyucinya secara khusus.”
Pendukung Imam Malik juga berpegang pada beberapa hadis, antara lain, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim yang menyatakan, “Anjing-anjing hilir mudik di masjid pada masa Rasulullah saw. Mereka (kaum Muslim) tidak menyiram bekasnya sedikit pun.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, melalui Ibnu ‘Umar. Dalam riwayat Abu Daud, pernyataan serupa dengan tambahan, “Anjing kencing dan hilir-mudik di masjid” (lihat hadis-hadis di atas pada Jaami’ al-Fawaa’id karya Imam Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman, jil. I, hadis ke-406 hingga 412).
Riwayat ini -walaupun dinilai sahih- ditolak oleh banyak ulama guna dijadikan argumentasi karena yang dilukiskan itu terjadi pada awal masa Islam, dan masjid, ketika itu, belum lagi berlantai sebersih masa kini. Dan karena itu pulalah kaum Muslim tidak dilarang shalat sambil mengenakan alas kaki mereka. Dapat juga dikatakan bahwa kenajisan anjing yang mengenai masjid itu tersucikan oleh sengatan panas matahari dan udara, yang oleh sementara ulama dijadikan sebagai salah satu sarana penyucian najis-najis atau barang-barang tertentu.
Seorang yang bingung tentang persoalan anjing, hendaknya menghilangkan kebingungannya dengan mempelajari argumentasi atau bertanya kepada ulama yang dia percayai. Apabila yang dipilihnya paham Imam Malik, tidak ada masalah baginya. Akan tetapi, jika paham Syafi’i, maka keliru, bahkan berdosa bila dia tidak mengindahkannya hanya karena malas.
Saya pribadi dapat memahami paham Imam Malik, namun -demi kesempurnaan dan amannya- saya menganut paham yang menajiskan anjing dan menganjurkan untuk mencuci bekas jilatannya, baik di bejana maupun tidak dengan tujuh kali, dan salah satu di antaranya dengan tanah, dan enam lainnya dengan siraman air.
Demikian, wallahu a’lam.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 812-815.