Panrita.id

Memanjangkan Usia

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

Pertanyaan:

Apakah benar bahwa usia manusia dapat diperpanjang? Atau apakah benar bahwa kematian dapat dihambat? Bukankah al-Qur’an menyatakan apabila ajal datang, ia tidak dapat ditunda tidak pula ajal dapat diajukan?

Jawaban:

Terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa secara tegas al-Qur’an melarang pembunuhan yang tidak sah, termasuk di dalamnya membunuh diri sendiri. Jangankan membunuh diri sendiri, mengangan-angankan kematian yang bukan pada tempatnya pun tidak dibenarkan. Kematian, oleh al-Qur’an, antara lain dinamai musibah atau malapetakan (QS. al-Ma’idah/5: 106).

Ada manusia yang ingin dihidupkan seribu tahun (QS. al-Baqarah/2: 96), bahkan Nuh as. diinformasikan oleh al-Qur’an hidup di tengah kaumnya selama 950 tahun (QS. al-‘Ankabut/29: 14)- walaupun tidak jelas apakah ini berdasar perhitungan Syamsiah atau Qamariah atau musim.

Memang, “kekekalan” amat didambakan manusia, dan melalui pintu inilah setan masuk menggoda Adam (manusia) sehingga dia memakan buah terlarang (buah kekekalan) (QS. Thaha/20: 120). Akan tetapi, di sisi lain, harus pula disadari bahwa kematian merupakan proses yang dibutuhkan manusia menuju kesempurnaan evolusinya, dan menghambat hal ini merupakan hambatan terhadap kesempurnaan tersebut, sekaligus menghambat regenerasi. Dari sini, al-Qur’an menilai kematian sebagai rahmat.

Kalau di atas dikatakan bahwa fitrah manusia ingin hidup selama mungkin, persoalan lain yang muncul adalah apakah itu mungkin dan dibenarkan agama?

Tidak dapat disangkal bahwa ajal bila datang tidak dapat ditampik. Ajal adalah “batas akhir sesuatu”. Ayat populer tentang ajal, menginformasikan bahwa bila batas akhir itu datang, ia tidak dapat diajukan atau diundur. Namun, kapan batas itu datang dan siapa yang menentukannya, tidak dijelaskan oleh ayat tersebut.

Kita yakin bahwa Allah swt. menetapkan ajal. Hanya saja, apakah ada keterlibatan manusia atau tidak di dalamnya?

Kalau merujuk kepada kaidah yang menyatakan bahwa kata “kami” yang menunjuk kepada Allah, digunakan al-Qur’an untuk mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah seperti manusia atau malaikat dalam aktivitas yang ditunjuk oleh kata “kami” itu, maka ditemukan bahwa ketika al-Qur’an berbicara tentang perpanjangan umur manusia, redaksi yang digunakan-Nya ada yang berbentuk pasif, yaitu yu’ammaru (diberi umur) (QS. al-Baqarah/2: 96), dan ada juga berbentuk aktif dengan menggunakan kata “kami”, yaitu Wa man nu’ammirhu (dan barang siapa yang kami panjangkan usianya) (QS. Yasin/36: 68).

Ini bermakna -bila kaidah di atas diterima- bahwa ada keterlibatan manusia, sedikit atau banyak, dalam upaya menetapkan umurnya. Hal ini akan lebih jelas lagi jika dikaitkan dengan beberapa hadis Nabi saw., antara lain, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah, “Siapa yang ingin diperluas rezekinya dan ditambah umurnya, hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturrhami).”

Ada ulama yang memahami “penambahan” tersebut dalam arti majazi, yaitu berupa nama baik -setelah kematian- dan ada juga yang memahaminya sebagai penambahan secara hakiki.

Betapapun, yang diinformasikan oleh hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya upaya manusia untuk meningkatkan harapan hidup atau “memperpanjang usianya”, dan bahwa salah satu cara untuk itu adalah hidup harmonis dan menghindari stres.

Yang dikemukakan Nabi saw. di sini merupakan salah satu contoh upaya tersebut sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya cara-cara lain yang ditemukan manusia, baik untuk memperpanjang usianya maupun memperlambat proses ketuaannya.

Persoalan lain dalam konteks ini akan muncul jika dikaitkan dengan upaya menghambat kematian. Terlepas apakah manusia dapat berhasil atau tidak, namun yang harus menjadi bahan pertimbangan untuk menilai upaya ini adalah menyangkut pandangan Islam tentang evolusi manusia yang harus berkelanjutan guna mencapai kesempurnaannya, dan itu tidak dapat dicapai kecuali setelah kematian.

Ini sama halnya dengan anak ayam dalam telur, ia baru mencapai kesempurnaannya jika meninggalkan dunianya (dunia telur) menuju dunia yang lebih luas.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, h. 905-907