Panrita.id

Menolak Khilafah di Bumi Pertiwi

Oleh: Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), Ph. D. (Profil)

Penerima 2 Ijazah Magister dan 2 Ijazah Ph.D. masing-masing di bidang Hukum Komersial dan Hukum Islam/Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Australia-New Zealand/Dosen Senior Monash Law School

Palu hakim pada Senin (7/5) sudah diketukkan. Pengadilan tata usaha negara (PTUN) menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap keputusan pemerintah yang membubarkannya.

Narasi paling dasar yang dikemukakan HTI adalah khilafah merupakan inti ajaran Islam yang sama dengan kewajiban salat, puasa, zakat, dan haji. Melarang HTI mempromosikan khilafah mereka anggap sama dengan menentang ajaran Islam. Ini gaya menakut-nakuti, seolah masalah politik pemerintahan bagian dari akidah Islam. Pada kenyataannya, tiga organisasi keislaman seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, Pancasila dan NKRI adalah bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bantahan terhadap narasi itu sebenarnya mudah. Mendirikan khilafah tidak ada dalam rukun Islam. Ini berbeda dengan kewajiban mendirikan salat dan lainnya, yang merupakan perintah dalam Alquran secara qat’i (pasti) dan berdasar hadis mutawatir. Menolak berdirinya khilafah ala HTI tidak akan membuat keislaman kita cacat. Buktinya, mayoritas kiai di pondok pesantren tegas menolak HTI.

Di samping itu, berbagai meme yang disebar pendukung HTI dengan mengutip keterangan ulama klasik akan kewajiban mendirikan khilafah tersebut juga tidak tepat. Yang dibicarakan para ulama klasik itu adalah kewajiban mengangkat seorang pemimpin, bukan kewajiban menganut sistem khilafah.

Imam al Mawardi, misalnya, dalam karyanya al-Ahkam as-Sulthaniyah menyatakan, kewajiban mengangkat pemimpin umat itu berdasar ijma’ (konsensus). Hanya itu yang disepakati. Namun, ketika sudah berbicara hal detail dan teknis sistem pemerintahan khilafah, Imam al Mawardi menguraikan berbagai ketidaksepakatan ulama: apakah kewajiban itu secara akal atau syar’i, syarat dan peranan ahlul ikhtiyar dan ahlul imamah, bagaimana memilih pemimpin apakah dengan penunjukan atau lewat ahlul aqdi wal halli, bagaimana bila ada dua pemimpin di daerah yang sama atau berbeda, dan seterusnya.

Imam al Mawardi (wafat 1058) yang menulis kitabnya pada periode akhir dinasti Abbasiyah mencoba melakukan teorisasi atas praktik sistem kekhilafahan yang terbentang dalam lintasan sejarah dari Khulafa ar Rasyidin sampai masa al Qa’im (khalifah ke-29 Abbasiyah). Setelah itu, masih ada sekitar 10 khalifah Abbasiyah lagi di Baghdad. Pada masa Al Mawardi, pemerintahan Abbasiyah dikuasai para amir dari Buwaihi. Khalifah tidak ubahnya simbol belaka tanpa kekuasaan yang nyata.

Beragamnya praktik khilafah diakomodasi Al Mawardi sehingga semua pihak merasa senang dan karena itu kitab ini menjadi melegenda dan djadikan rujukan standar. Berbeda halnya dengan HTI. Beragamnya sistem khilafah itu hendak dibakukan dan diseragamkan dalam bentuk undang-undang dasar (UUD) khilafah.

Pada satu sisi, HTI mengembangkan narasi seolah ulama klasik mendukung sistem khilafah. Namun, kenyataannya, sistem khilafah ala HTI berbeda dengan apa yang disampaikan para ulama klasik. Tidak cukup ruang untuk membahas hal ini dengan detail. Cukup kita tegaskan bahwa menolak berdirinya sistem khilafah ala HTI tidak berarti kita menolak pemahaman ulama klasik. Keduanya ternyata tidak sama.

Di samping itu, dengan membuat UUD khilafah yang bermaksud membakukan dan menyeragamkan sistem khilafah, jika suatu saat nanti khilafah ala HTI bisa terwujud, secara terang-terangan HTI dan para pendukungnya telah bermaksud mengganti Pancasila dan UUD 1945.

Pada titik ini, HTI kelabakan dan terpaksa berkelit membangun narasi berikutnya bahwa khilafah itu tidak bertentangan dengan Pancasila. HTI menyatakan, karena khilafah bagian dari ajaran Islam, itu sesuai dengan sila pertama Pancasila. Melarang HTI mendirikan khilafah sama dengan melanggar Pancasila.

Sikap pura-pura tersebut terus terang menggelikan. Sikap pemerintah bersama NU, Muhammadiyah, dan MUI sangat jelas: mendirikan khilafah berarti hendak mengganti ideologi Pancasila dengan sistem khilafah.

Namun, tiba-tiba HTI melakukan konter narasi bahwa mendirikan khilafah itu bagian dari mengamalkan sila pertama Pancasila. Padahal, semua tahu, kalau khilafah berdiri, Pancasila dan UUD 1945 serta NKRI menjadi lenyap dan bubar. Ini bertentangan dengan sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia.

Untung, hakim tidak bisa dikelabui dengan pemutarbalikan fakta serta konter narasi yang dilakukan HTI. Sebab, sistem khilafah dalam UUD khilafah itu merupakan bentuk satu pemerintahan tersendiri yang jelas berbeda dengan bentuk dan pemerintahan NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Pada titik ini, semua argumentasi hukum HTI gugur.

Pasca putusan PTUN, sekarang HTI membangun narasi ketiga. Yaitu, mereka dizalimi oleh putusan pengadilan dan karena itu menyatakan banding. Seharusnya, pimpinan HTI dengan tegas menerima pembubaran oleh pemerintah dan putusan PTUN. Bahkan, sebenarnya pasal 83 UUD Khilafah HTI dengan tegas menolak adanya peradilan banding.

Anehnya, dengan menempuh gugatan hukum dan kini mengajukan banding, HTI seolah tidak merasa bersalah dan masih menganggap sistem khilafah tidak bertentangan dengan NKRI.

HTI dibubarkan itu bukan sebuah bentuk kezaliman. Tapi sebuah upaya pemerintah dan PTUN mempertahankan NKRI, menghargai perjuangan para pendiri bangsa serta ulama dan syuhada yang telah memberikan segalanya untuk tegaknya NKRI. Generasi penerus tinggal mengisi kemerdekaan ini untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur, tidak malah hendak mengembalikannya ke titik nol.

Sumber: http://library.uinsby.ac.id/?p=4170