Panrita.id

Bahaya Pengafiran

Oleh: Prof. Dr. Syekh Ahmad ath-Thayyib

Grand Syekh Al-Azhar

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah, beserta segenap keluarga, sahabat, dan orang yang mengikuti petunjuknya.

Tidak diragukan lagi, bahwa masalah paling serius bagi bangsa Arab dan umat Islam pada saat ini adalah masalah kekacauan pengafiran kaum muslim dan fatwa yang menghalalkan tindakan membunuh dan memerangi mereka. Ini adalah bencana besar yang diderita oleh sebagian masyarakat kita. Kami pernah menduga bahwa orang-orang yang mengafirkan itu mau kembali kepada kesadaran dan pemahaman mereka yang benar terhadap agama, membebaskan diri dari penyakit ini, dan dampak-dampaknya yang menghancurkan sejak tahun sembilan puluhan dari abad lalu, di Mesir dan negara-negara lain. Akan tetapi, kita malah dikejutkan oleh kemunculan penyakit di negeri kita dengan wajah buruknya, lalu mengusik ketenangan semua bangsa Arab dan Islam  di Asia dan Afrika. Mereka membunuh, menghancurkan, dan mengebom masyarakat yang tak berdosa, serta mengubah hidup manusia menjadi neraka yang tak tertahankan.

Yang lebih menyakitkan lagi, bahwa kejahatan-kejahatan itu dilakukan atas nama Islam dan syariatnya yang toleran. Bahkan operasi-operasinya yang menghancurkan itu dieksekusi dengan iringan tahlil dan takbir karena dianggap sebagai jihad dan mati syahid di jalan Allah. Suatu hal yang kemudian di manfaatkan oleh media massa Barat untuk menistakan gambaran Islam dan menyajikannya kepada seluruh dunia sebagai agama biadab yang haus darah dan mendorong untuk melakukan tindak kekerasan serta saling benci dan dengki di antara para pengikutnya sendiri.

Fenomena pengafiran pihak yang berbeda pendapat ini—dan dampaknya yang menghalalkan darah—bukan hal baru dalam masyarakat islam, fiqihnya juga bukan fiqih baru bagi kaum Muslim. Kita semua pernah belajar sekte Khawarij dan kemunculannya yang cukup dini di awal sejarah Islam. Juga pernah belajar, bagaimana mereka terjerumus ke dalam bencana ini akibat penyimpangan mereka sebelumnya dalam konsep akidah dan fiqih. Yang saya maksudkan disini adalah pemahaman mereka yang salah terhadap konsep hubungan iman kepada Allah sebagai pokok, dan perbuatan sebagai cabang. Juga pernah belajar, bagaimana mereka tersesat ketika berpegang pada beberapa makna lahiriah teks dan mengabaikan beberapa makna lahiriah lain yang bertentangan dengan apa yang mereka pahami.

Sudah barang tentu, melalui sambutan seperti ini, kami tidak bisa memaparkan tema ini, secara terperinci, seperti bagaimana sekte itu muncul, apa saja sebab kemunculannya, juga seperti apa perkembangan selanjutnya, dan seperti apa akidah dan fiqihnya. Akan tetapi, rasanya tepat untuk memaparkan secara ringkas, kembalinya masalah pengafiran dan motivasi terdalam yang mendorongnya untuk kembali lagi dan memulai lagi kegiatannya yang menghancurkan.

Masyarakat kita di Mesir, dunia Arab, dan dunia Islam tidak pernah mengenal kemunculan kelompok yang meyakini prinsip pembolehan mengafirkan masyarakat dan menganggapnya jahiliyah, lalu mengharuskan pemisahan anggota-anggotanya, sebelum tahun 67 dari abad lalu. Kelompok-kelompok pengafiran modern itu lahir di penjara-penjara dan ruang-ruang tahanan, sebagai akibat dari politik kekerasan dan penyiksaan yang dialami oleh para pemuda yang berafiliasi kepada sejumlah gerakan Islam tertentu. Pada waktu itu ketika diminta untuk menyatakan dukungannya kepada pemerintah, sebagian besar mereka segera menuliskan kertas dukungannya, sementara sebagian kecil dari mereka menolak tawaran ini, lalu menganggap sikap teman-teman mereka ini sebagai sikap lemah dalam beragama.

Demikianlah, kelompok ini tetap menolak pernyataan, dan kukuh pada sikapnya. Tidak lama kemudian, mereka memulai membuat jamaah sendiri ketika shalat, dan menyatakan bahwa teman-teman mereka itu sudah kafir karena mendukung pemerintah kafir, sebagaimana juga menyatakan bahwa masyarakat dengan seluruh anggotanya telah kafir karena mendukung pemerintah kafir. Tidak ada gunanya shalat anggota masyarakat ini, tidak pula puasanya. Selanjutnya mereka menyerukan bahwa jalan satu-satunya untuk keluar dari kekafiran adalah bergabung dengan kelompok mereka dan membai’at imam mereka.

Peristiwa ini barangkali merupakan kemunculan pertama bagi kelompok pengafiran pada tahun 1967, setelah punahnya sekte khawarij dan sekte-sekte kebathinan lain yang sudah berada di pangkuan sejarah. Demikianlah, fenomena neo-pengafiran di tangan para pemuda yang memiliki keahlian ilmiah dan intelektual untuk memahami ajaran islam, selain semangat dan reaksi sembrono, serta balas dendam dari seorang lemah dan tertindas kepada seorang algojo lalim. Maka, hanya pengafiranlah redaksi yang paling ideal dan paling cepat untuk mengungkapkan realitas pahit mereka.

Dari sini pernyataan dan konsep mereka tidak mengikuti pemahaman yang tepat dan pemikiran yang rasional. Sebaliknya, konsep itu datang sebagai cerminan dan realitas yang penuh dengan penindasan dan tekanan, sehingga mendorong sebagian pendukung gerakan ini untuk menganggap pengafiran sebagai “pemikiran krisis”, bukan sebuah metode dalam gerakan Islam, meskipun ada sebagian lain yang menganggapnya demikian.

Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa paham pengafiran di zaman modern ini tidak lahir di tangan para pemuda yang mengafirkan para penguasa dan masyarakat dari penjara-penjara mereka pada pertengahan tahun enam puluhan dari abad lalu, tetapi lahir pada tahun 1968 dari penjara juga di tangan kelompok lain yang menamakan diri Jama’at al-Muslimin yang kemudian hari terkenal dengan Jama’at al-Takfir wa al-Hijrah, lalu memengaruhi banyak organisasi islam lain setelah itu.

Apa pun sebab lahirnya kelompok takfiri (pengafir) ini, tidak diragukan lagi, bahwa penjara dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalamnya pada saat itulah yang mendorong para pemuda, dengan dorongan kuat, untuk menganut ideologi-ideologi rusak dan konsep-konsep nyeleneh. Siapa saja yang merujuk kepada karangan-karangan yang ditulis dalam suasana pembredelan kebebasan dulu dan sekarang, akan menemukan di dalamnya banyak pandangan yang jika ditakdirkan ditulis pada suasana kebebasan akan berubah bentuk dan kandungannya.

Hanya saja penjara bukan satu-satunya sebab kembalinya paham ­takfiri pada zaman kita ini. Sebaliknya menurut hemat saya—ada sebab lain yang lebih mendalam, yang mendorong orang untuk mengafirkan orang lain, yaitu warisan pemikiran panjang dan bertumpuk yang bisa kita namakan dengan warisan pemikiran ekstrim dan radikal dalam pemikiran islam. Warisan pemikiran yang sejak kelahirannya sudah menggambarkan penyimpangan terang-terangan dari akidah umat. warisan tersebut berafiliasi dengan satu dan lain bentuk kepada warisan pemikiran sekte khawarij yang telah diwanti-wanti oleh Nabi saw. agar ditolak oleh mayoritas umat islam dulu dan sekarang.

Menurut hemat saya, letak perbedaan antara akidah kaum takfiri dalam akidah kaum muslim kebanyakan berada pada apa yang dinamakan, dalam tema pembahasan iman dan islam, dengan hubungan perbuatan dengan esensi iman.

Selanjutnya izinkan saya, wahai para pembaca yang budiman, untuk mengulangi perkataan yang meskipun bukan hal baru bagi anda sekalian, tetapi sering kali terlupakan oleh sekelompok pengkaji, pengamat, dan peneliti, mengenai masalah ini. Disamping itu, konteks pembicaraan kita pada kesempatan ini menuntut saya untuk menyampaikannya. Seperti telah dimaklumi saudara-saudara sekalian, bahwa konsep keimanan yang dipegang oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah terkait dengan hakikat iman adalah kepercayaan di dalam hati kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, Rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Demikian seterusnya sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis shahih yang menafsirkan iman dengan kepercayaan penuh didalam hati. Seperti diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah ra. dalam kitab shahihnya Nabi saw. sendiri mendefinisikan iman dengan sabdanya:

الإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَبِلِقَائِهِ، وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ (رواه البخاري)

Iman adalah bahwa kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, pertemuan dengan-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan beriman kepada kebangkitan” (HR. Al-Bukhari).

Adapun amalan seperti shalat, puasa, haji, zakat, melaksanakan kewajiban dan meninggallkan larangan sesuai dengan definisi Nabi tersebut tidak termasuk dalam subtansi iman. maksudnya, bukan unsur yang membentuk esensinya, sebaliknya ia merupakan syarat kesempurnaan dan ia memiliki peran dalam bertambah dan berkurangnya iman. Jadi amalan-amalan itu bisa menaikkan iman hingga ke derajat yang paling tinggi dan sebaliknya, juga bisa menurunkan iman ke derajat yang paling rendah. Konsekuensi dari itu, hilangnya perbuatan tidak akan menurunkan iman dari pokoknya, tetapi seorang mukmin tetap beriman meskipun teledor dalam  melakukan ketaatan, atau berbuat maksiat dan keburukan. Apapun keadaannya, dia tidak boleh dinyatakan kafir selama masih menyimpan keyakinan di dalam hati yang merupakan hakikat iman.

Poin inilah sebenarnya pemisah antara akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mencakup penganut paham Asy’ari, Maturudi, dan Ahli Hadis, dengan kelompok lain yang menganggap perbuatan termasuk dalam hakikat iman, kemudian menetapkan barang siapa melakukan dosa besar, maka imannya telah hilang dan berubah menjadi kafir, keluar dari agama. Di sinilah, pintu terbuka lebar bagi penumpahan darah dan perampasan harta.

Poin ini juga memisahkan antara akidah mayoritas umat dengan kelompok Muktazilah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukan Mukmin, bukan pula kafir, tetapi menempati posisi antara dua posisi (al-manzilah baina al-manzilataini), dan mereka namakan fasiq dalam uraian panjang lebar yang ditolak para ulama Ahlu Sunnah.

Yang perlu saya jelaskan disini adalah bahwa bagi sebagian penganut mazhab-mazhab itu, saat ini, telah terbentuk pemikiran ekstrem tentang iman; lalu berusaha mati-matian melalui pengajian, tulisan, karangan dan saluran-saluran televisi untuk menanamkan ke dalam pikiran para pemuda bahwa mazhab yang benar adalah mazhab yang menjadikan iman sebagai campuran antara keyakinan dan amal. Sementara keyakinan dan kepercayaan di dalam hati saja tidak cukup untuk mewujudkan iman.

Seandainya saja para penganut mazhab-mazhab ekstrem itu berhenti pada batas melontarkan mazhab mereka sebagai pandangan di antara pandangan-pandangan lain atau mazhab di antara mazhab-mazhab lain, maka urusannya akan ringan dan masalahnya akan gampang. Yang terjadi tidaklah demikian. Sebaliknya, mereka malah berusaha mempromosikan mazhab mereka ini sebagai kebenaran yang tidak ada kebenaran lain selainnya. Sedangkan mazhab Asy’ari adalah mazhab sesat, menyimpang tidak mewakili hakikat islam dalam hal ini. Mereka benar-benar mengatakan ini, meskipun lebih dari 90% dari mayoritas kaum muslim di belahan timur dan barat bumi adalah penganut Asy’ari dan meyakini bahwa iman adalah kepercayaan di dalam hati, dan amal perbuatan bisa menambah dan mengurangi iman, tetapi tidak menghilangkannya atau menguranginya dari pokoknya.

Kami, ketika menyerukan—melalui makalah ini—untuk mengembalikan kesadaran terhadap mazhab Asy’ari, Maturidi, dan Ahli hadis terkait dengan masalah ini, sesugguhnya kami sedang menyerukan kepada mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam dalam bentangan sejarahnya yang panjang, yaitu mazhab yang menyempitkan wilayah pengafiran. Wilayah yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berani secara terang-terangan menyatakan diri kafir, dengan mengingkari salah satu rukun iman atau mengingkari unsur agama yang sudah pasti diketahui.

Mazhab yang kaidah emasnya menyatakan, bahwasanya tidak akan ada yang mengeluarkanmu dari iman kecuali mengingkari sesuatu yang sebelumnya memasukkanmu ke dalamnya. Mazhab yang di dukung oleh ayat-ayat al-Qur’an yang memisahkan antara amal dan iman. Al-Qur’an telah menyandingkan amal dan iman sebagai dua hal yang berbeda dalam banyak tempat:

إِنَّ الَّذِينَءامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat baik”

Sebagaimana telah ditegaskan dalam banyak ayat, bahwa iman tetap bertahan  dalam hati seorang muslim yang melakukan maksiat dan dosa:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya” (QS. Al-Hujurat [49]: 9).

Seperti diketahui, pembunuhan adalah dosa terbesar, meski demikian, Allah tetap menyebut kedua belah pihak dengan mukmin. Hal serupa juga disebutkan dalam ayat lain:

 كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ (5) يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَ مَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ (6)

sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang beriman itu tidak menyukainya, mereka membantahmu (Muhammad) tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang), seakan-akan mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu)” (QS. Al-Anfal [8]: 5-6).

Dalam ayat ini, Allah swt. telah menyifati para sahabat Nabi dengan dosa besar, yaitu enggan berjihad dan mendebat Nabi saw., meskipun mereka mengetahui kebenaran. Kendati demikian Allah tetap menyebut mereka dengan sebagian dari orang-orang yang beriman.

Dalil lain dari Al-Qur’an mengenai masalah ini adalah firman Allah swt.:

 …إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ  …

…kecuali orang-orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” (QS. An-Nahl [16]: 106).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu menyatakan sesuatu yang tida kamu kerjakan? (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Barangsiapa (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?” (QS. At-Taubah [9]: 38).

Demikianlah, dan masih ada ayat-ayat lain yang berbicara kepada para pelaku maksiat dan dosa dengan sapaan: “wahai orang-orang yang beriman!” dan menyifati dengan iman. Suatu hal yang menegaskan bahwa pelaku dosa besar adalah mukmin dan tidak boleh dikafirkan, kecuali melakukan dosa kemusyrikan dan mengingkari unsur agama yang sudah pasti diketahui, maka dia telah kafir karena pengingkarannya dan penolakannya.

Mazhab Asy’ari—yang merupakan mazhab mayoritas—inilah mazhab yang tidak menutup harapan orang, para pelaku maksiat dan kaum mukmin untuk mendapatkan pengampunan dan penghapusan dosa dari Allah serta Rahmat-Nya. Suatu hal yang mencerminkan kemudahan agama ini dan sikap sayangnya kepada pengikut-pengikutnya.

Lebih dari itu, barangsiapa membaca mukadimah buku Imam kita, Abu al-Hasan al-Asy’ari yang berjudul Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Mushallin (Pendapat-pendapat para Islamis dan perselisihan-perselisihan para pelaku shalat).

Simaklah perkataan beliau dalam mukadimah buku tersebut berikut ini:

اختلف الناس بعد نبيهم صلى الله عليه وسلم في أشياء كثيرة ضلل فيها بعضهم بعضاً وبرئ بعضهم من بعض فصاروا فرقاً متباينين، وأحزاباً متشتتين، إلا أن الإسلام يجمعهم ويشتمل عليهم.

Manusia berselisih setelah Nabi mereka dalam banyak hal, dimana mereka saling menganggap sesat satu sama lain dan memutus hubungan satu sama lain, hingga menjadi sekte-sekte yang berbeda dan kelompok-kelompok yang terpecah-pecah: hanya saja mereka masih dihimpun oleh Islam”.

Ini adalah nas yang harus diletakkan oleh setiap orang yang berilmu di depan matanya ketika melihat perpecahan dan pertikaian yang melanda kaum Muslim pada hari ini.

Mazhab ini telah banyak memberikan sumbangsih dalam menghentikan pertumpahan darah kaum Muslim serta melindungi harta benda dan kehormatan mereka yang telah diharamkan oleh Nabi saw. dalam pernyataan-pernyataan tegas, seperti:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ  (رواه مسلم)

Setiap muslim atas muslim lain, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR. Muslim).

Juga sabda beliau kepada kaum muslim pada waktu Haji Wada’:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا (متفق عليه)

Sesungguhnya darah dan harta (sebagian) kamu haram bagi (sebagian) kamu (yang lain) seperti keharaman harimu ini” (Disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim).

Mazhab Asy’ari juga mazhab yang memiliki pandangan seimbang terhadap manusia yang mempunyai potensi bawaan untuk salah, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Nabi saw.:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Setiap anak Adam banyak salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang banyak bertobat” (HR. Tirmidzi).

Anda semua juga tahu, wahai para ulama yang terhormat, bahwa menurut mazhab Asy’ari, masalah pengafiran bukan wewenang seseorang, badan, jamaah, atau organisasi, tetapi ia merupakan kategorisasi syara’ yang memiliki aturan, syarat, dan tidak ada penghalang, sehingga wilayah dan ruangnya sangat sempit. Itu pun masih batal jika ada unsur keraguan. Selain itu, wewenang untuk menetapkannya ada pada pengadilan dan ulil amri, sehingga tidak ada yang dengan mudah menyatakannya, kecuali orang-orang bodoh. Dalam hal ini, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menyatakan: “Kesalahan dalam (bentuk) pembiaran terhadap kekafiran seribu orang kafir lebih ringan daripada kesalahan dalam (bentuk) penumpahan secangkir darah satu orang muslim.”

Senada dengan ini, Imam Muhammad Abduh juga menyatakan bahwa sikap menjauhkan diri dari pengafiran adalah salah satu prinsip hukum dalam Islam. Dia mengatakan: “Jika terucap sebuah perkataan dari seseorang, kemudian berpotensi mengandung kekafiran dari seratus sisi, dan berpotensi mengandung keimanan dari satu sisi, maka harus dipahami sebagai keimanan dan tidak boleh dipahami sebagai kekafiran.”

Saya disini—Allah Mahatahu—tidak ingin menyulut perselisihan di antara para ulama. Al-Azhar tidak mungkin menjadi lembaga pemecah belah. Semoga Allah melindungi dari itu. Al-Azhar telah hidup selama seribu tahun lebih–dan akan tetap hidup –untuk mengajarkan mazhab-mazhab fikih dengan segala perbedaan pandangannya, masalah-masalah kalam (teologi) dengan segala sekte-sektenya, dan ilmu-ilmu keislaman dengan segala corak dan alirannya. Hanya saja, Al-Azhar telah menemukan pilihannya—sejak dulu kala—pada mazhab Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan menjadikannya sebagai pelampung keselamatan bagi kaum Muslim setiap kali diterpa aneka bencana perpecahan dan penyakit fanatisme buta terhadap mazhab tertentu yang dianggap oleh pengikutnya sebagai Islam yang tidak ada Islam selainnya. Jalan Al-Azhar pada hari ini adalah jalannya yang kemarin; yaitu usaha terus menerus untuk mempersatukan barisan kaum Muslim di tengah terjangan aneka badai dan aliran.

Al-Azhar yang mengibarkan bendera “mempersatukan kata” di antara kaum muslim dan tidak membedakan antara satu mazhab dengan mazhab lain dalam melawan gelombang ateisme, westernisasi, dan perusakan budi pekerti, tidak akan menghemat tenaganya dalam melawan penyimpangan pengafiran yang bersifat insidental dan ditolak oleh mayoritas umat Islam, baik dulu maupun sekarang.

Untuk mencapai tujuan ini—para pembaca yang budiman—dihadapan kita tidak ada sesuatu selain meneruskan usaha secara tulus untuk menyatukan ulama-ulama kaum muslim dalam satu kata guna menghadapi semua bahaya yang mengancam seluruh masyarakat, mewujudkan kemaslahatn umat dan menangkis mafsadah yang akan menimpa mereka. Tanpa persatuan ini, hasilnya tidak akan mencapai seperti yang kita harapkan bagi umat kita dan tuntutan mereka di tengah situasi yang sedang dialami oleh dunia saat ini.

Sejak hari pertama mengemban tanggung jawab di Al-Azhar, saya sudah menyatakan bahwa kesatuan umat adalah salah satu tujuan umum syariat, dan kesatuan kata para ulamanya mengenai masalah-masalah krusial—terutama masalah-masalah pengafiran—adalah salah satunya jalan untuk menjaga keamanan internal dan wujud kita di dunia, bahkan menjaga perdamaian dunia secara keseluruhan. Akan tetapi satu hal yang menimbulkan tanda tanya adalah inisiatif saya yang berulang-ulang untuk menyatukan umat, saling memahami antara mazhab-mazhabnya, dan interaksi antara ulama-ulamanya, belum mendapatkan sambutan dalam kadar yang dapat membangkitkan harapan untuk menghadapi tantangan-tantangan umat.  Harapan yang saya mohonkan kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa agar mewujudkannya di tangan-tangan anda sekalian, berkat ketulusan dan niat baik anda sekalian.

Umat kita—sebagaimana ditegaskan dalam agama kita – adalah umat terbaik, dan posisinya yang layak adalah di bagian depan barisan. Sementara al-Azhar yang selalu membuka pintu dan menyambut semuanya, menghargai kondisi tempat dan waktu, serta menghormati perbedaan para ulama, menyerukan kembali kepada seluruh umat, baik penguasa maupun rakyat, untuk berpegang pada jalan tengah dalam pemahaman, akidah dan amal. Yaitu jalan yang diserukan oleh Al-Qur’an dan Sunah untuk menjaga masa kini umat dan masa depannya. Juga sebagai pengamalan terhadap firman Allah swt:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Shadaqallahu al-‘Azhim

24 Jumadalula 1425/25 Maret 2014

Dikutip dari buku : “JIHAD MELAWAN TEROR Meluruskan Kesalahan tentang Khilafah, Takfir, Jihad, Hakimiyah, Jahiliyah, dan Ekstremitas.”

Oleh                      : Prof. Dr. Syekh Ahmad ath-Thayyib et. al.

Cetakan                 : I, Februari 2016

Terbit kerjasama : PSQ, Lentera Hati, Muslim Council of Elders, The World Association for Al-Azhar Graduates.

Penerjemah            : Baba Salem

Editor                    : Muchlis M. Hanafi

Halaman                : 97-115.