Dari Tawakal ke Taslim
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
KEPASRAHAN diri kepada Allah SWT bertingkat-tingkat. Ada yang pasrah dalam arti tawakal, yaitu pasrahnya seseorang kepada Allah SWT tetapi masih menggunakan logika dan perhitungan.
Misalnya, seseorang yang memasrahkan diri kepada Allah SWT setelah melakukan proses keamanan yang ketat, kemudian berdoa dan memasrahkan keamanan diri dan hartanya kepada Allah SWT. Kepasrahan seperti ini menampilkan diri dalam porsi lebih aktif ketimbang sifat hakikat kepasrahan itu sendiri.
Sikap pasrah dalam arti tawakal didukung Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam satu riwayat. Suatu ketika, Rasulullah SAW menerima beberapa tamu dari luar kota di Madinah.
Salah seorang di antara tamunya ditanya, “Di mana kamu menambatkan untamu?” Sang pemuda menjawab, “Saya tidak menambatkannya karena saya sudah bertawakal kepada Allah SWT.” Lalu ia memohon Rasulullah SAW mendoakan agar untanya aman.
Rasulullah SAW menegur pemuda itu dengan mengatakan tambatkan dulu untanya baru bertawakal kepada Allah SWT. Tawakal seperti ini juga pernah disinggung Allah SWT dalam Alquran, yakni: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Ma’idah/5:23)
Tawakal tidak bisa diartikan kepasrahan secara pasif, yang menyiratkan unsur kemalasan, keputusasaan, dan sikap minimalisme, tetapi kepasrahan secara aktif, sesuai dengan kapasitas manusia sebagai hamba dan khalifah yang menuntut tanggung jawab.
Jadi, tidak bisa berdiam diri dengan pasif saat kita didera penyakit, tetapi kita harus berusaha mencari cara penyembuhan. Rasulullah SAW bersabda: “Berobatlah wahai hamba Allah, karena Allah menciptakan penyakit dan obatnya.” (HR al-Tirmidzi)
Jika kita sudah berobat dengan berbagai cara, tetapi penyakitnya tetap berlangsung, baru kita tawakal dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah Sang Maha Penyembuh.
Bersabar dari penyakit merupakan suatu hal terpuji, bahkan akan berfungsi sebagai pengampunan dosa, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Demam satu hari menghapus dosa satu tahun.”
Namun, ada jenis kepasrahan lebih tinggi daripada kepasrahan dalam arti tawakal, yaitu taslim. Kepasrahan dalam arti taslim diumpamakan sebagai pasrahnya seorang bayi.
Seorang bayi menampakkan kepasrahan total di hadapan orangtua, khususnya kepada ibunya. Ia tidak perlu berkeringat mencari nafkah untuk makan. Ia juga tidak perlu memikirkan kebutuhan primer dan sekundernya karena sudah menjadi objek cinta paling sejati dari ibu dan keluarganya.
Sang bayi cukup memberikan isyarat berupa tangisan, maka semua orang di rumah itu, khususnya ibunya, berebutan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Ia dimanjakan betul oleh lingkungan sekitarnya. Ia lebih pasif dan Allah lebih proaktif.
Allah SWT akan selalu proaktif kepada hamba-Nya yang mencapai puncak kepasrahan tanpa dosa. Sang bayi adalah bersih dan luhur tanpa dosa. Karena itu, baunya pun harum meskipun tidak mandi dalam sehari.
Orang dewasa memang harus proaktif jika ia ingin meraih karunia Tuhan dan terbebas dari berbagai masalah karena dirinya sudah terkontaminasi banyak dosa dan maksiat.
Seandainya ada orang yang mampu mempertahankan kesucian dirinya, Allah SWT pun akan proaktif terhadapnya. Bacalah kisah sejumlah nabi dan wali Allah. Mereka banyak mendapatkan mukjizat dan karamah karena pada hakikatnya ia seorang bayi tanpa dosa.
Nabi pernah mengisyaratkan setiap orang berpotensi seperti bayi, mengundang proaktifnya Allah SWT, sebagaimana dikatakan: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesunguhnya (taslim), niscaya Allah memberi rezeki kepadamu, sebagaimana Allah memberi rezeki kepada burung yang keluar (dari sarangnya) pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore hari dengan perut kenyang. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doamu.”
Isyarat kepasrahan dalam arti taslim ini juga pernah diisyaratkan Allah SWT: “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS al-Baqarah/2:131). Mari kita berlatih meningkatkan kualitas kepasrahan diri kita kepada Allah SWT. Allahu A’lam.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/109360-dari-tawakal-ke-taslim