Dari Tahmid ke Syukur
Oleh: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA (Profil)
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Guru Besar Tafsir UIN Syarif Hidayatullah/Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an
SEMUA syukur adalah tahmid, tetapi tidak semua tahmid adalah syukur.
Tahmid hanya salah satu bagian kecil dari syukur meskipun dalam pembahasan lebih mendalam nanti ada ulama menganggap justru tahmid lebih luas daripada syukur (akan dibahas secara tersendiri).
Tahmid secara populer diartikan sebagai ungkapan spontanitas seseorang yang baru saja merasakan nikmat dan karunia Allah SWT dengan mengucapkan lafaz Alhamdulillah.
Kata itu berasal dari akar kata hamida-yahmadu, berarti memuji atau menyanjung, yakni memuji kepada Allah SWT.
Tahmid lebih merupakan reaksi batin yang diungkapkan mulut.
Pengucapannya sering berulang-ulang dan ditambahkan kalimat-kalimat pendukung lainnya, seperti al-hamdu lillah wa al-syukru lillah, walahaula wala quwwata illa billah.
Sementara itu, syukur lebih dari sekadar bertahmid dengan melontarkan pujian-pujian lisan.
Syukur berasal dari kata syakara-yasykuru berarti bersyukur, berterima kasih, yakni mensyukuri nikmat dan karunia Allah SWT.
Selain dengan mengucapkan kalimat tahmid, syukur dilanjutkan dan disempurnakan dengan mengeluarkan hak-hak orang lain dari nikmat Allah yang kita peroleh.
Misalnya seseorang yang meraih keberuntungan harta dan uang, setelah melafazkan kalimat syukur, meneruskan dengan segera mengeluarkan zakat minimal 2,5% sebagai zakat ditambah dengan sedekah, jariah, wakaf, dan berbagai bentuk pemberian lainnya kepada mereka yang berhak.
Kalangan arifin mengartikan syukur sebagai penyandaran segala nikmat kepada sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah SWT, dengan sikap rendah diri dan penuh ketulusan.
Atas dasar pengertian inilah Allah mempunyai nama asy-syakuur dalam al-asma’ alhusna’.
Allah SWT menjanjikan balasan kepada para hamba-Nya atas kesyukurannya. Al-Junaid mengatakan syukur ialah engkau tidak memandang dirimu sebagai pemilik nikmat.
Harta dan kenikmatan yang ada pada diri kita pemilik sejatinya ialah Allah SWT.
Karena itu, harta kekayaan, jabatan, dan berbagai kenikmatan lainnya tidak hanya menyatakan kalimat tahmid, tetapi harus dilanjutkan dengan memanifestasikan rasa syukur itu dengan berbagi dengan orang lain.
Kiat untuk mempertebal rasa syukur, menurut Al-Syiblii, ialah kita harus melihat kepada pemberi nikmat dan bukan kepada nikmatnya.
Jika kita hanya fokus melihat pada wujud nikmat, tidak menghubungkan apalagi melupakan sang Pemberi Nikmatnya, di sinilah muncul masalah sehingga nikmat itu menjadi tidak berkah.
Sebaliknya jika konsentrasi kita tertuju kepada Sang Pemberi Nikmat (Allah SWT), pasti wujud kenikmatan itu tidak membuat seseorang mabuk dan silau.
Syukur ada tiga macam; syukur dengan lisan, inilah yang populer; syukur dengan hati, yaitu menyadari sepenuhnya atas segala apa yang disaksikan di bumi yang luas dan tetap konsisten menjaga kehormatan; serta syukur dengan aktualisasi diri. Syukur kedua mata ialah menahan dan menghindari dari segala yang diharamkan Allah atas keduanya dan dari segala aib orang.
Syukur kedua telinga ialah menyumbat keduanya dari segala aib orang dan yang tidak halal didengarnya.
Syukur kedua tangan ialah menahan untuk tidak mengambil hak orang lain.
Syukur kedua kaki ialah tidak menjalankannya pada arah yang menuju kemaksiatan.
Abu Utsman al-Maghribii mengatakan syukurnya orang-orang awam ialah terhadap makanan dan minuman dan sejenisnya, dan syukurnya kaum khawash ialah mendatangkan dalam hatinya makna ketuhanan (Rabbaniyyah).
Ada yang mengatakan syukur terhadap syukur ialah syukur yang paling sempurna.
Syukur seseorang itu adalah kesadaran karena itu milik dan taufik Allah SWT.
Oleh karena itu, seseorang harus meyakini bahwa bersyukur dengan taufik itulah yang merupakan syukur yang paling sempurna.
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/108762-dari-tahmid-ke-syukur